Home » » Terjebak Hutang budi 5

Terjebak Hutang budi 5


Bandar Taruhan - “Abi, bangun bii..”

“Hemm..”

Perlahan kubuka kedua mataku. Kulihat Arum istriku, tersenyum manis kepadaku. Akupun tersenyum padanya, meraih kepalanya dan mencium keningnya. Akupun bangkit, dan kulihat jam dinding sudah jam setengah 6 pagi. Biasanya jam segini Arum sudah mandi, dan memang benar, dia sudah terlihat segar.

“Abi semalem pulang jam berapa?”

“Hmm, jam 10an lewat kayaknya mi. Waktu abi pulang, umi udah pules tidurnya. Kayaknya capek gitu mi, kemarin banyak kerjaan di kantor ya?”

“Iya bi, maaf ya, umi jam berapa gitu udah ketiduran semalem, jadi nggak sempet nungguin abi pulang, nggak sempet masak juga buat abi.”

“Iya nggak papa, abi udah makan diluar kok. Lha umi sendiri semalam nggak makan dong?”

“Enggak bi, tapi sore pulang kantor umi udah makan duluan. Ya udah sana mandi, itu udah umi siapin sarapan.”

“Makasih ya sayang.”

Akupun bergegas bangkit dari tempat tidurku menuju ke kamar mandi. Kulihat disana sudah ada rendaman baju kotor, dan sepertinya itu seragam istriku. Entah baru saja atau sudah dari kemarin, semalam waktu mandi aku juga tak memperhatikan. Tapi kalau memang sudah dari kemarin, mungkin Arum yang kecapekan tak sempat mencucinya.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian aku menyusul Arum ke meja makan. Dia masih belum berganti dengan seragam dinasnya, hanya memakai piyama seperti yang dia pakai semalam. Kami sarapan bersama pagi ini. Menunya sih sederhana, hanya nasi goreng dan telor mata sapi. Tapi buatku, apapun yang dimasak oleh istriku selalu istimewa. Ini bukan asal memuji, karena memang masakan Arum itu enak. Bahkan saudara atau teman-teman kami yang pernah datang kemari dan makan disini, mereka memuji masakan Arum.

“Gimana kemarin bi auditnya? Lancar?”

“Yaah, kalau di bagian abi sih lancar mi, tapi kemarin ada masalah di bagian lain,” jawabku terpaksa berbohong kepada Arum, hal yang jarang sekali aku lakukan.

“Oh ya? Kenapa emangnya?”

“Ada dokumen yang terselip, jadi data yang dikasihkan kacau. Makanya, mungkin minggu depan bakal ada audit ulang mi.”

“Oh gitu. Tapi kan di bagian abi aman, berarti nggak perlu repot dong minggu depan?”

“Ya mungkin sih mi, tapi tetep aja kalau ada audit kita semua harus stand by di kantor sampai selesai, umi taulah gimana kalau audit.”

“Iya juga sih bi, kudu nunggu closing meetingnya ya?”

“Iya mi, soalnya kan itu kesimpulan dari audit sehariannya.”

Aku benar-benar merasa bersalah pada Arum. Aku harus menutupi kebohonganku dengan membuat kebohongan-kebohongan lainnya. Tapi tak apalah, ini semua juga demi dia. Setelah ini semua selesai, aku akan ceritakan semua kepadanya.

“Oh iya, umi nanti mau berangkat bareng apa nggak? Kok belum ganti baju sekalian?”

“Hmm, kayaknya enggak bi, umi hari ini berangkat sendiri aja.”

“Beneran?”

“Iya bi bener kok, umi pake motor aja entar, soalnya kalau jadi, pulangnya mau ke tempat Sarah dulu.”

“Oh gitu, ya udah kalau gitu entar hati-hati ya mi.”

“Iya bi.”

Setelah selesai sarapan, beberapa saat kemudian aku berangkat ke kantor. Istriku sendiri saat aku berangkat tadi baru mau berganti baju. Yang kutahu dia memang cukup akrab dengan Sarah, karena Arum bilang hanya Sarah yang seumuran dengannya. Sebenarnya ada beberapa lagi yang umurnya tak terlalu jauh selisihnya, tapi Arum bilang dia lebih cocok dengan Sarah. Ya tidak masalah sih, aku malah senang Arum punya kawan dekat di kantor, siapa tahu bisa berbagi dan saling bantu pekerjaan di kantornya.

Sepanjang hari ini pekerjaan yang harus kubereskan lumayan banyak, karena memang kemarin kutinggal cuti tidak ada yang mengerjakan. Mungkin karena aku hanya cuti sehari. Padahal biasanya, kalau cuti agak lama, pasti ada saja yang membantu mengerjakannya.

Tak terasa hari sudah cukup sore, pekerjaanku juga sudah rampung semua. Tapi memang belum waktunya pulang, dan kulihat teman-temanku yang lain, yang juga sudah beres kerjaannya hanya ngobrol ngalur ngidul. Saat aku mau bergabung dengan mereka, tiba-tiba handphoneku berdering. Kulihat di layar, ternyata Iing menelponku. Karena ini adalah hal yang penting, aku segera berpindah tempat, mencari tempat yang sepi dan aman.

“Halo Ing.”

“Iya halo Kris.”

“Gimana Ing?”

“Beres Kris, ini aku mau berangkat kesana.”

“Oh gitu? Kamu dapet ijin berapa hari kesini?”

“Ijin resminya sih seminggu, tapi gampanglah itu. Yang penting urusan istrimu bisa cepet kita bereskan.”

“Oh ya udah kalau gitu. Kamu kesini naik apa? Dan nanti nginepnya dimana?”

“Aku naik mobil. Kalau soal nginap, ya paling di hotel.”

“Oh gitu ya? Hmm, udah cari hotelnya?”

“Belum sih.”

“Ya udah, biar aku cariin aja Ing.”

“Oke, makasih ya Kris. Kurang lebih 4 jam lagi aku sampai sana.”

“Oke, nanti kabarin aja.”

Setelah menutup telpon, aku kembali ke mejaku. Teman-temanku masih ada disana, masih ngobrol nggak jelas. Aku malah yang sekarang bingung. Kalau aku pulang, terus nanti malam keluar lagi buat nemuin Iing, pasti Arum bakal banyak nanya. Ah kalau gitu aku pulang entar aja sekalian. Aku segera menghubungi Iing. Tapi beberapa kali kutelpon tak diangkatnya. Kulihat jam, ah ini jam dia pulang kerja. Jangan-jangan masih di jalan. Kalau gitu ku kirim pesan saja lah.

‘Mi, udah pulang ya? Atau masih di jalan? Abi cuma mau ngabarin kalau hari ini abi harus lembur lagi, ada rapat mendadak sama boss, soal audit kemarin. Mungkin entar abi juga sekalian makan di kantor, jadi umi makan duluan aja nggak papa.’

Setelah ku kirim, beberapa saat kemudian ku tunggu tak ada balasan. Akupun mencari hotel dari aplikasi di handphoneku. Aku pilihkan hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor Arum, biar Iing lebih mudah memantau si Jamal. Beres mencarikan hotel untuk Iing, tiba-tiba masuk balasan pesan dari Arum.

‘Iya bi, tadi lagi di jalan. Ini masih di tempatnya Sarah, tapi nggak lama kok, bentar lagi juga pulang. Ya udah, abi jaga kondisi ya, jangan sampai nggak makan lho.’

‘Iya mi. Nanti umi hati-hati pulangnya.’

Tak ada balasan lagi dari istriku, mungkin dia sedang ngobrol dengan Sarah. Akupun memutuskan untuk menunggu sebentar di kantor, sampai jam pulang. Setelah teman-temanku pada pulang semua, sekarang aku bingung, mau menunggu dimana. Iing juga masih lama sampainya.

Akhirnya kuputuskan untuk keliling-keliling saja. Sudah lama aku tidak keliling kota ini. Tapi kuhindari jalur dari rumahku ke rumah Sarah, supaya tidak berpapasan dengan Arum di jalan. Bisa kacau kalau dia tahu ternyata aku berbohong.

Setelah cukup lama berkeliling dengan kemacetan kota ini karena memang jam pulang kantor, lalu aku mampir ke sebuah kafe untuk ngopi dan browsing internet, tiba-tiba Iing mengabari kalau dia sudah sampai di kota ini. Lalu kusuruh dia untuk menuju hotel yang sudah aku pesan. Akupun segera menyusul kesana.

Baru aku sampai di parkiran hotel itu, Iing mengabari kalau dia sudah menunggu di lobby, akupun menghampirinya.

“Hei Ing, sorry ya nunggu.”

“Halah, baru juga aku sampai Kris. Kamu pesanin aku disini?”

“Iya, kenapa emang?”

“Ini bukannya hotel mahal Kris?”

“Ya lumayan sih, hehe.”

“Kok malah jadi ngerepotin gini sih? Kenapa nggak nyari yang agak murah aja hotelnya?”

“Udah, nanti aja kita bahas, sekarang check in dulu aja.”

“Ya udah kalau gitu.”

Setelah mengurus check in, aku dan Iing menuju ke kamar yang sudah dipesan, di lantai 5 hotel ini. Setelah masuk kamar dan aku melihat pemandangan dari jendela di kamar ini, wah beruntung sekali karena kamarnya menghadap ke kantor Arum, bisa makin mudah untuk Iing mengawasi si Jamal dari sini.

“Tuh kan Kris, kamar ini terlalu mewah deh buatku, apalagi aku nginepnya 7 malem lho.”

“Nggak papa Ing. Gini lho, kenapa aku pesanin disini, karena hotel ini deket banget sama kantor istriku. Coba kamu kesini.”

“Masak sih?”

Iing menghampiriku, lalu kutunjuk keluar jendela.

“Nah itu kantornya Arum, jadi dari sini aja kamu bisa ngawasin mereka kan?”

“Hmm, bener juga sih. Oh iya, tapi aku belum tau yang namanya Jamal itu seperti apa, kamu ada fotonya?”

“Ada. Kemarin aku udah nyari-nyari. Bentar ya... nah ini dia yang namanya Jamal.”

Kutunjukkan ponselku ke Iing. Dia melihatnya, lalu hanya mengangguk saja.

“Ya udah, kirimin ke aku, mulai besok biar aku intai dia.”

“Terus, rencanamu gimana Ing?”

“Ya mulai besok aku bakal ngikutin dia.”

“Pake mobil? Apa nggak repot?”

“Ya enggaklah, nanti aku pake motor, ada rental motor kan disini?”

“Aku kurang tau sih, entar coba nanya sama orang hotel aja.”

“Ya udah, gampang kalau gitu.”

“Oh iya, kamu udah makan Ing?”

“Belum sih, kamu?”

“Belum juga. Hmm, kita makan disini aja gimana?”

“Haha, pasti kalau makan diluar takut ketauan ya? Ya udah, terserah kamu aja, you’re the boss.”

“Hehe ya begitulah.”

Akhirnya kami memesan makan malam dan diantar ke hotel ini. Sambil menunggu, dan akhirnyaa makanan datang dan kami santap, kami hanya ngobrol basa-basi saja. Tapi dia kemudian cerita tentang calon suaminya dulu yang tewas itu. Dia bilang sudah sangat dekat dengannya, dengan keluarganya juga. Tapi namanya nasib, tidak pernah ada yang tahu.

“Terus, sejak itu kamu beneran nutup diri gitu Ing?”

“Iya. Hmm, gimana ya, aku masih nggak rela aja dia pergi dengan cara kayak gitu. Itulah yang ngebuat aku jadi seperti ini sekarang Kris.”

“Maksudnya?”

“Dulu, aku ditempatin di bagian polantas, terus dipindahin ke perlindungan anak dan perempuan, ya gitu-gitu lah. Tapi sejak kematian dia, aku jadi dendam banget sama para penjahat, terutama begal, rampok dan pemerkosa.”

“Nah, kalau begal sama rampok, okelah, aku paham. Tapi pemerkosa? Karena kamu juga wanita gitu?”

“Itu salah satunya. Tapi kamu tau nggak, kawanan begal yang digerebek waktu itu? Mereka itu kawanan yang nggak cuma sadis. Kalau ketemu korban laki-laki, biasanya dilukai, nggak sedikit yang dibunuh. Kalau ketemu korbanya perempuan, itu si korban dibawa dulu sama mereka, terus diperkosa rame-rame, kadang ada yang sampai dibunuh juga.”

“Ooh jadi gitu? Tapi mereka akhirnya bisa ditumpas kan?”

“Iya, tapi ya itu, dari polisi harus ada korban jiwa juga.”

“Terus, itu yang ngebuat kamu sampai berlatih keras gitu? Soalnya, kamu kan yang aku tau tuh cewek feminim, malah kadang cenderung manja. Kamu masuk polisi aja aku kaget, apalagi kamu jadi kayak gini sekarang.”

“Haha, ya gitu Kris, semua orang bisa berubah. Sejak itu aku yang dendam terus berlajar beladiri, sampai bisa jadi kayak gini. Aku juga yang minta dipindahin ke bagian kriminal, gatal rasanya tanganku pengen nangkepin penjahat itu.”

“Emang kamu nggak takut Ing?”

“Ya takut sih pasti ada lah, tapi gimana lagi, namanya tugas, dan dendam juga. Malah karena aku cewek, aku jadi lebih mudah buat nangkap mereka.”

“Loh kok gitu?”

“Iya. Seringnya aku nyamar. Para penjahat itu, yang kebanyakan pria, kan suka lengah kalau sama cewek.”

“Ya iyalah, lha kamunya cantik gitu, pasti gampang buat ngelabuhin musuhmu.”

“Haha mungkin juga sih. Tapi kadang aku juga duel sama mereka. Karena aku cewek, jadi mereka nganggap remeh gitu. Ujung-ujungnya, mereka babak belur juga sama aku.”

“Haha bener-bener nggak bisa dipercaya. Iing yang aku kenal, jadi kayak gini sekarang.”

“Makanya, sekarang bisa kan aku bantuin kamu, hehe.”

“Iya, hehe. Hmm Ing, aku makasih banget lho sama kamu, udah mau bantuin aku.”

“Simpen makasihmu kalau semua ini udah beres. Kita belum tau kan kedepannya kayak gimana. Dan nantinya Kris, kalau ternyata Jamal ini punya komplotan atau apapun yang jumlahnya besar, aku terpaksa harus minta bantuan juga lho.”

“Iya Ing, kalau itu memang diperlukan. Tapi kalau bisa, usahain buat ngeringkus si Jamal itu sendirian aja ya?”

“Iya, aku pasti bakal usahain.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku sudah sampai sejauh ini merepotkan sahabat lamaku, dan kalau nantinya memang dia kesulitan dan harus minta bantuan orang lain, mungkin memang itu jalan yang harus diambil. Tak apalah, yang penting Arum bisa segera terbebas dari si Jamal itu.

Waktu sudah cukup malam, akhirnya aku berpamitan pada Iing. Dia mengatakan kepadaku kalau akan sering-sering menghubungiku, memberitahu sampai dimana hasil penyelidikannya. Aku percayakan saja semua padanya.

Sesampainya di rumah, kulihat sepi sekali. Mungkin Arum juga sudah tidur, sama seperti kemarin. Aku langsung ke kamar, dan ternyata benar, dia sudah tidur. Wajahnya juga lelah, sama seperti kemarin. Entah apa yang dia kerjakan 2 hari ini.

Tapi tiba-tiba aku berpikir, apakah mungkin 2 hari ini terjadi sesuatu diluar pekerjaannya? Apakah Jamal mulai mengganggunya lagi? Aku jadi teringat kata-kata Iing tempo hari, kalau memang ada kejadian lagi, mungkinkah Arum tetap akan menceritakannya kepadaku? Apakah ini bukan lagi sebuah pemerkosaan, tapi menjadi perselingkuhan? Ah aku tidak yakin, meskipun kemungkinan itu tetap ada.

Aku tak mau memikirkannya lebih jauh lagi, yang penting mulai besok Iing akan mulai menyelidiki si Jamal. Akupun menuju kamar mandi. Sampai disana, kulihat lagi ada pakaian kotor yang direndam oleh Arum, dan itu adalah seragam dinasnya. Aku jadi heran. Sudah 2 hari ini Arum selalu merendam pakaian kotornya. Padahal seingatku, selama ini dia hanya menumpuknya saja, dan baru mencucinya di akhir pekan. Apa yang membuat Arum melakukan itu?

Sial. Apakah ini untuk menutupi sesuatu dariku? Ah aku jadi terpikirkan lagi hal itu. Benarkah terjadi sesuatu dalam 2 hari ini?

Aku coba untuk melihat cucian yang direndam itu. aku cek satu persatu, mulai dari pakaian dinas, pakaian dalam sampai jilbabnya. Tapi percuma, sudah basah juga, tidak bisa aku menemukan apapun. Akupun bergegas untuk mandi. Setelah itu aku kembali ke kamar dan mencari handphone Arum. Aku ingin melihat apa saja isinya.

Selama ini aku tak pernah membuka-buka handphonenya, begitupun dia tak pernah membuka handphoneku. Kami saling percaya satu sama lain, apalagi selama ini kami selalu cerita kalau ada apa-apa. Kecuali komunikasiku dengan Iing yang memang aku rahasiakan dari Arum. Lalu, apakah Arum juga merahasiakan sesuatu dariku?

Setelah mengambil handphonenya, aku keluar kamar menuju ruang keluarga. Kubuka satu persatu akun sosial media milik Arum. Aku juga semua aplikasi pesan singkatnya. Lalu kubuka galeri foto dan videonya. Tapi tidak ada satupun yang mencurigakan. Bahkan, tidak ada catatan dia komunikasi dengan Jamal, kecuali pesan yang didapat beberapa minggu lalu, sebelum Arum diperkosa oleh Jamal.

Aku jadi bingung, dan entah kenapa aku jadi curiga. Kulihat jam dinding, baru jam 10 lewat. Biasanya, jam segini aku dan Arum belum tidur. Tapi sudah 2 malam ini dia tidur begitu pulas dengan wajah yang kelelahan. Dan oh iya, tadi dia menolak untuk berangkat bersamaku. Apakah memang ada tujuan lain selain ke kantornya?

Dia tadi juga bilang kalau pulangnya mau mampir ke rumah Sarah. Apakah benar dia ke rumah Sarah? Apa aku harus bertanya langsung pada Sarah? Tapi itu akan menunjukkan kalau aku sedang tidak mempercayai Arum. Dan kalau sudah begitu, bagaimana pula kalau nanti Sarah malah tanya macam-macam kepadaku? Tidak mungkin aku menceritakan apa yang terjadi pada Arum ke Sarah.

Huft, aku jadi bingung, apa yang harus kulakukan. Besok, Iing juga baru akan mulai menyelidiki Jamal. Kalau memang 2 hari ini Arum bersama Jamal, atau mungkin dipaksa untuk bersama dengan Jamal, aku sudah melewatkan bukti penting. Apa iya besok bakal keulang lagi?

Ah sialan, bagaimana ini? Aku benar-benar bingung. Akhirnya aku masuk lagi ke kamar. Terlihat Arum masih begitu pulasnya tertidur. Aku merebahkan diri disampingnya, tapi tak bisa segera tertidur. Aku benar-benar penasaran, apa yang terjadi pada Arum dalam 2 hari belakangan ini?

Iseng aku goyangkan tubuh Arum, dia tak bereaksi. Aku goyangkan agak keras lagi, dia diam saja. Hmm, sepertinya, kalau tidak bertanya langsung pada Arum, aku harus melihat langsung buktinya, yaitu kemaluan Arum. Kebiasaan Arum, kalau tidur dia jarang memakai pakaian dalam, harusnya ini akan lebih mudah.

Akupun bergerak perlahan ke bawah, ke arah kaki Arum. Perlahan kusingkat daster tidurnya. Sudah kusingkap sampai ke pinggang, tapi paha Arum tertutup rapat. Aku coba lagi goyangkan tubuh Arum dengan lebih keras, dan dia masih tetap terlelap. Akhirnya aku gerakkan paksa kakinya membuka agak lebar. Dan betapa terkejutnya aku melihat selangkangan istriku.

Sepertinya agak memerah, seperti memar begitu. Kulihat bahkan bukan hanya di lubang kemaluannya, tapi di lubang anusnya juga, agak memar juga. Benar, ini pasti benar. Telah terjadi sesuatu pada Arum selama 2 hari terakhir ini. Tapi kenapa Arum tidak cerita? Apakah dia takut? Atau apa? Atau karena kesibukanku yang selalu pulang malam 2 hari ini, jadi dia tidak ingin menambah beban pikiranku?

Ah, tiba-tiba penyesalan datang menghantuiku. Kalau saja aku tidak berbohong, pasti tidak akan begini kejadiannya. Pasti aku bisa menjaga Arum dari tangan biadab si Jamal. Sial sial sial!!! Aku kecolongan lagi.

Keesokan paginya, kembali Arum membangunkanku seperti biasa. Kulihat wajahnya tersenyum menyambutku saat membuka mata. Aku yang dari semalam agak susah tidur karena berpikir, mengira-ngira apa yang terjadi pada Arum, hanya bisa membalas senyumannya. Dia bersikap biasa saja, jadi aku juga harus bersikap biasa padanya. Tapi hari ini, aku punya rencana untuknya.

“Umi, hari ini bisa berangkat sendiri aja nggak? Abi harus buru-buru nih mi.”

“Oh bisa kok bi. Emang ada apaan kok buru-buru?”

“Iya, jadi rapat semalam itu belum beres, mau dilanjutin pagi ini. Semalam umi udah tidur waktu abi mau cerita.”

“Oh gitu. Ya udah kalau gitu. Yang penting jangan lupa makan ya bi.”

“Iya mi, tenang aja.”

Selesai sarapan, aku langsung berangkat. Tak lupa kucium kening dan bibir istriku sebelumnya. Aku melajukan mobilku, tapi tidak segera ke kantor. Aku menghentikan mobilku di depan sebuah toko, menunggu Arum keluar dari gang perumahanku. Setelah agak lama menunggu, kulihat Arum dengan mengendarai sepeda motor maticnya keluar dari gang dan langsung berjalan menuju kantornya. Aku mengikutinya dengan sedikit menjaga jarak.

Dia sepertinya tak menyadari kalau sedang aku ikuti. Baguslah, memang itu tujuanku. Aku ingin benar-benar memastikan, apakah dia hari ini pergi ke kantor atau tidak. Motor yang dikendarai Arum akhirnya masuk ke kantornya. Aku masih menunggu beberapa saat, sampai jam kantornya mulai. Sebelumnya, aku sudah mengabari kantorku kalau aku ijin tidak masuk kerja hari ini karena sakit. Setelah memastikan Arum benar-benar masuk kerja, aku mengambil handphoneku untuk menghubungi seseorang.

“Halo.”

“Halo, kamu dimana?”

“Di rumah mas.”

“Ya udah, aku kesana ya?”

“Iya.”

Akupun menutup telpon dan langsung mengarahkan mobilku ke rumah orang yang ku telpon tadi. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di rumahnya. Dia menyambutku di depan pintu. Akupun turun dari mobil dan menghampirinya. Kami bersalaman, kemudian dia mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. Dia agak ketakutan, terlihat dari ekspresi wajahnya.

“Mau minum apa mas?” tawarnya.

“Hmm apa aja deh.”

“Kopi atau teh?”

“Kopi aja.”

Diapun kemudian masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawakan secangkir kopi untukku.

“Jadi, mas Krisna mau bicarain apa sebenarnya? Sampai nyuruh aku buat nggak masuk kerja hari ini?”

“Ini soal Arum Sar.”

Ya, wanita itu adalah Sarah, teman sekantor istriku. Setelah semalam aku mengecek kemaluan istriku, aku menghubungi Sarah. Dia sempat kaget karena aku menelponnya malam-malam. Aku bilang ingin membicarakan hal yang sangat penting, menyangkut masa depan pernikahanku dengan Arum. Aku bahkan memaksanya untuk tidak masuk kerja hari ini. Awalnya dia menolak, tapi aku terus memaksanya hingga akhirnya diapun mau.

“Soal Arum? Emang Arum kenapa?”

“Kemarin Arum kesini nggak?”

“Kemarin? Emang kenapa sih mas?”

“Jawab aja dulu.”

“Aku bukannya nggak mau jawab mas. Tapi ini sebenarnya ada apa? Ada masalah apa antara mas Krisna sama Arum?”

“Aku curiga, terjadi sesuatu.”

“Maksud mas Krisna? Sesuatu apa?”

“Maaf Sar, aku nggak bisa, hmm, aku belum bisa ceritain semuanya ke kamu. Yang penting aku pengen tau, Arum sebenarnya kemarin kesini apa enggak?”

Sarah tak segera menjawab. Dia tampak sedang berpikir, atau mungkin menebak-nebak sebenarnya apa yang kusembunyikan darinya.

“Jadi mas Krisna maksa aku sampai nggak masuk kerja, cuma buat nanyain kemarin Arum kesini atau enggak? Itu doang mas? Kalau cuma itu, kenapa nggak semalem aja pas telpon? Bisa kan? Ini pasti ada apa-apanya! Apa yang sebenarnya terjadi mas?”

Tiba-tiba Sarah malah memberondongku dengan banyak pertanyaan, bahkan dengan nada sedikit emosi. Memang benar, kalau hanya menanyakan Arum kesini atau tidak, bisa lewat telpon semalam. Tapi entah kenapa, rasanya aku ingin membicarakan ini langsung dengannya.

“Hmm, maaf Sar, aku bener-bener nggak bisa cerita sekarang ini.”

“Apa ini soal pak Jamal?”

Deg. Kenapa Sarah bisa menebak ke arah sana? Aku benar-benar sangat kaget mendengar pertanyaannya itu, sampai tak bisa menjawabnya.

“Jadi bener kan, ini soal pak Jamal?” tanyanya lagi, setelah aku hanya diam.

“Gimana kamu bisa tau soal pak Jamal?”

Sarah tak menjawabnya, dia malah menundukkan kepala. Bahkan tak lama kemudian terlihat badannya sedikit bergetar dan dia terisak. Dia menangis. Loh, ada apa ini sebenarnya? Malah sekarang aku yang bingung.

“Sar, kamu kenapa kok malah nangis? Ada apa sebenarnya?”

Dia masih tak menjawab, bahkan tangisannya semakin kencang. Aku yang bingung reflek mendekatinya. Kusentuh bahunya, kuelus perlahan. Dia menatapku, dan tiba-tiba saja menghambur ke arahku, memeluk tubuhku dan tangisnya semakin pecah.

Aku benar-benar terkejut dengan situasi ini. Aku merasa ada yang salah dengan dia. Aku jadi teringat, Arum pernah cerita kalau selain dia, ada wanita lain yang menjadi korban si Jamal. Apakah Sarah salah satunya?

“Aa.. aku,, hiks,, aku juga mas.. hiks,, aku juga sama kayak Arum..”

Ucapnya di sela tangisnya ini benar-benar mengejutkanku. Ternyata benar, dia adalah salah satu korban kebejatan si Jamal. Aku mendadak merasa iba kepadanya. Apalagi yang aku tau, Sarah tinggal berjauhan dengan suaminya, yang hanya pulang kesini seminggu sekali, kadang 2 minggu sekali kalau suaminya sedang banyak kerjaan.

Reflek saja tanganku bergerak membalas pelukannya. Aku mengusap punggungnya perlahan, mencoba untuk menenangkannya. Tapi dia masih terus menangis. Kubiarkan saja sampai mereda. Mau tanya macam-macam juga percuma kalau dia masih menangis seperti ini.

Setelah 10 menit lebih dia menangis, akhirnya tangisnya mulai reda, tapi dia masuk terus memelukku. Aku biarkan saja, mungkin dia memang butuh tempat untuk berbagi, dimana saat ini hanya ada aku, tidak ada suaminya.

“Aku juga sama mas, aku diperkosa juga sama pak Jamal, dan aku dijadiin budak nafsunya, sama kayak Arum.”

“Budak nafsu? Sama kayak Arum? Maksudmu?”

Sarah mengangkat wajahnya, dan sedikit mengendurkan pelukannya. Dia menatapku. Entah bagaimana tanganku bergerak sendiri untuk mengapus air mata di pipinya.

“Arum nggak cerita sama mas Krisna?”

“Enggak. Cerita apa?”

“3 hari yang lalu, aku dan dia baru sama-sama tau, kalau kami ini sama-sama udah diperkosa oleh pak Jamal. Akhirnya kami saling cerita, gimana kami bisa masuk dalam perangkapnya.”

Akhirnya malah Sarah menceritakan dari awal bagaimana dia bisa masuk dalam perangkap Jamal, sampai sekarang menjadi budak nafsu bejatnya. Aku yang mendengarnya semakin geram, semakin marah pada Jamal.

“Arum juga bilang ke aku, kalau dia udah ceritain peristiwa itu ke kamu mas. Dan katanya kamu mau balas dendam sama pak Jamal. Aku setuju banget mas, dan aku mendukung apapun yang kamu lakuin. Aku pengen bisa lepas dari bandot tua sialan itu.”

“Kamu sendiri nggak cerita sama suamimu Sar?”

“Nggak mas, aku nggak berani buat cerita. Lagian mas Krisna kan tau, suamiku nggak disini. Disana dia kerjanya kayak gitu, aku takut malah nambahin beban pikirannya. Baru sekarang aku bisa cerita ini ke orang lain selain Arum kemarin mas.”

Aku hanya terdiam, mendengar apa yang dibilang oleh Sarah. Malah sekarang, kuusap kepalanya yang tertutup jilbab, diapun merebahkan kepalanya di dadaku.

“Mas..”

“Iya Sar, kenapa?”

“Tolongin aku mas, tolongin kami. Bebasin kami dari pak Jamal.”

“Iya Sar, pasti. Pasti aku akan tolongin kalian. Tapi sabar ya, aku juga butuh waktu.”

“Iya mas. Tapi kalau boleh tau, apa yang mau mas Krisna lakuin?”

Dengan gamblang aku menceritakan apa yang akan aku lakukan, termasuk bagaimana aku minta tolong pada Iing. Aku juga berpesan kepada Sarah, untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk kepada Arum.

“Lho kenapa Arum nggak boleh tau mas? Harusnya kan dia dikasih tau soal ini, biar dia juga semakin tenang.”

“Temanku yang minta Sar. Menurut Iing, kalau Arum dikasih tau malah takutnya dia ngerasa nggak terima karena dijadiin umpan. Jadi biar kami bergerak diam-diam saja, dan langsung ngegerebek kalau Jamal udah mau macem-macem sama Arum.”

“Ya udah, terserah mas Krisna aja. Yang penting, mas bisa cepet bereskan bandot tua itu mas. Aku udah nggak tahan jadi budaknya.”

“Iya, kamu doain aja semoga semua ini cepat beres.”

“Iya mas.”

“Ya udah, sekarang kamu jawab pertanyaanku. Kemarin Arum kesini nggak?”

“Aku nggak tau kemarin dia kesini atau enggak. Tapi yang jelas, kemarin dia nggak masuk kantor mas. Apa dia nggak bilang apa-apa sama mas Krisna?”

“Nggak ada Sar. 2 malam ini aku pulang malem terus. Dan setiap aku pulang, Arum udah tidur dan wajahnya kayak capek banget gitu. Hari pertama sih aku nggak ada mikir macem-macem, tapi semalam kok kayak gitu lagi, aku jadi mikir, emang apa sih yang kalian kerjain di kantor sampai harus secapek itu.”

“Lagian, aku nemuin dia ngerendem pakaian dinasnya yang dipake kemarin dan 2 hari yang lalu. Nggak biasanya Arum kayak gitu. Dia biasanya cuma naruh di bak pakaian kotor, dan baru dicuci di weekend, kadang aku bantuin juga nyucinya. Makanya aku mikir semalam pasti ada yang nggak beres.”

“Aku juga ingat kalau dia kemarin sempet bilang kalau mau ke rumahmu sepulang kerja, makanya semalem aku langsung nelpon kamu itu.”

“Memang mas, setahuku memang terjadi sesuatu sama Arum, tapi itu 2 hari yang lalu. Kalau yang kemarin, aku nggak tau dia kemana dan ngapain aja.”

“Emangnya 2 hari yang lalu ada apa Sar?”

“2 hari yang lalu, waktu aku masih di kantor, sehabis makan siang pak Jamal menghubungiku, memaksaku untuk segera ke rumahnya saat itu juga. Dia bilang kalau Arum sudah tidak sanggup lagi melayani mereka.”

“Mereka? maksudmu, bukan hanya Jamal?”

“Iya mas, ada satu orang lagi, namanya pak Bonar.”

“Bonar? Kayaknya aku pernah denger nama itu.”

“Dia itu temannya pak Jamal, temen yang kerjaannya sama kayak pak Jamal, menjerat para wanita, setelah itu mereka bertukar koleksi.”

Bangsat si Jamal. Dia tak hanya memperkosa istriku, tapi membaginya dengan orang lain juga. Tapi siapa itu Bonar? Rasanya aku pernah mendengarnya, tapi kapan ya?

“Aku nggak punya pilihan buat nolak mas, akhirnya siang itu juga aku ke rumah pak Jamal. Dan ternyata bener, waktu aku sampai, Arum udah terkapar nggak berdaya lagi diperkosa pak Bonar. Akhirnya aku dan Arum dipaksa untuk melayani mereka sampai sore. Setelah itu aku anterin Arum pulang.”

“Aku juga sempet nitip pakaian dinasku buat dicuciin sama Arum, karena udah lengket banget sama sperma 2 orang itu, sama kayak punya Arum.”

Ooh jadi gitu. Pantas saja Arum langsung merendamnya, mungkin dia ingin menghilangkan jejak.

“Tapi kenapa dia nggak cerita sama aku ya?”

“Mungkin dia takut mas. Dan mungkin kamunya juga lagi sibuk, dia nggak mau nambahin beban pikiranmu.”

Hmm, benar juga kata Sarah. Lagi-lagi ini salahku, kalau saja aku tidak berbohong, kalau saja aku tidak menemui Iing di luar kota dan menemuinya di hotel semalam, pasti Arum akan cerita semuanya. Maafin aku Arum, udah membuat kamu jadi kayak gini sekarang.

Sampai disini aku masih tak menyadari bagaimana posisiku dan Sarah saat ini. Tiba-tiba aku baru sadar saat kurasakan Sarah sedikit bergerak. Aku memperhatikan posisi kami, dan ternyata kami masih duduk berpelukan dengan erat. Apalagi sekarang Sarah seperti sedang menggesekkan bagian tubuhnya, yaitu buah dadanya di badanku. Seketika aku tersadar bahwa ini salah. Ini nggak boleh. Aku sudah punya Arum. Sarah juga sudah punya suami. Apalagi Sarah adalah sahabat Arum di kantor.

“Sar, hmm, lepas Sar, kita nggak boleh kayak gini.”

Aku mencoba untuk melepaskan pelukan Sarah, tapi yang ada dia malah memelukku semakin erat, tubuhnya makin menempel di tubuhku.

“Sarah..”

Dia menatapku dengan tatapan sendu. Matanya masih agak merah bekas menangis tadi.

“Mas, maaf. Aku tau ini salah. Tapi,, tapi aku sedang butuh sandaran, aku butuh pelukan mas. Aku butuh seseorang buat membagi beban ini. Sekali ini aja mas, aku mohon.”

“Tapi Sar, kita ini...”

“Mas, please...”

Entah kenapa tatapan sendunya membuat rasa ibaku kembali muncul. Memang benar, Sarah butuh tempat untuk berbagi. Dia sama seperti Arum, mengalami hal yang pasti menyakiti hatinya. Hanya saja bedanya, Arum punya aku, yang selalu ada untuknya. Sedangkan Sarah, suaminya ada di kota lain, tidak bisa setiap saat ada dan memeluknya seperti ini. Terlebih Sarah tahu kalau aku sudah tahu apa yang menimpa Arum, dan dia sudah tahu tentang rencanaku. Mungkin itu yang membuatnya percaya aku sehingga menceritakan semuanya kepadaku.

Aku tak bisa membantah lagi, aku ikuti kemauannya. Sarah memang sedang butuh seseorang, dan saat ini hanya aku yang paling memungkinkan untuk itu. Tanganku yang tadi melepas tubuhnya, kini memeluknya lagi. Tak ada niat macam-macam dariku, hanya ingin menenangkan Sarah saja.

Kami bertahan cukup lama dalam posisi itu. Sarah juga sejak tadi tak hanya diam, beberapa kali tubuhnya bergerak yang membuat buah dadanya menggesek di badanku. Apa dia tidak menyadarinya? Atau memang sengaja melakukan itu? Tapi untuk apa?

Aku ingin melarangnya, tapi aku merasa tak enak. Aku juga tak bereaksi apapun, takutnya dia salah paham dan berpikir aku sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi, berkali-kali badan kami bergesekan, mau tak mau pikiranku mengarah ke bagian itu juga. Besar, dan kenyal. Bahkan aku kadang merasa, ada semacam tonjolan kecil yang ikut bergesekan dengan tubuhku. Apakah mungkin itu...

Aku iseng mengusap punggungnya. Selain ingin membuatnya tenang, aku ingin membuktikan apakah perkiraanku benar atau salah. Dan ternyata benar, aku tak bisa merasakan ada tali bh di punggung Sarah. Padahal tadipun aku sudah mengusap punggungnya seperti ini, tapi baru sekarang aku menyadarinya. Tapi, kenapa dia tidak memakai penutup dadanya itu?

Saat aku sedang memikirkan hal itu, gerakan Sarah makin menjadi. Tidak hanya menggesekan dadannya, wajahnya juga bergerak dari dadaku menuju ke daerah leherku. Dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya, yang sepertinya agak tidak normal.

Aku benar-benar tak ingin berpikir macam-macam, tapi apa yang dilakukan Sarah ini sudah kelewatan menurutku. Tapi aku juga belum berani menegurnya, takutnya dia malah menyangka aku yang punya pikiran mesum kepadanya. Tapi ini... Ah kenapa malah begini jadinya?

Lama-lama aku tak bisa berpikir jernih juga. Hembusan nafas Sarah yang terus terasa di leherku, gesekan buah dadanya di badanku, dan aroma tubuh Sarah yang tercium hidungku, semuanya membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak. Aku bahkan tak menyadari kalau ternyata tanganku di punggung Sarah sudah tak diam lagi, tapi bergerak terus mengusapnya.

Dia kemudian menarik kepalanya, tanpa melepas pelukan. Aku menolehkan wajahku, menatap wajahnya. Saat itu kurasakan wajahnya mendekat, dan tanpa bisa kutahan lagi bibir kami bertemu. Awalnya hanya saling bersentuhan, tapi kemudian bibir Sarah mulai bergerak melumat bibirku dengan perlahan. Dia bahkan mulai menutup matanya, sedangkan mataku masih terbuka lebar.

Aku masih terkejut dengan keadaan ini, dan aku hanya diam mematung. Perlahan, aku mulai membalas pagutan bibirnya. Lembut, begitu lembut dan hangat bibirnya. Bibir lain pertama yang kucium sejak aku berkenalan dan menikah dengan Arum hingga sekarang. Entah kenapa aku seperti tak ingin melepaskannya, tak ingin menghentikannya.

Bibir kami masih berpagut dengan lembut. Kadang lidahnya berusaha menyeruak masuk, namun kemudian ditarik lagi. Begitu diulangi beberapa kali, hingga membuatku penasaran. Akhirnya justru lidahku yang melakukan hal itu, sampai lidah kami bertemu dan saling mengait. Ciuman kami terasa semakin panas. Nafas Sarah semakin tak karuan, begitu juga dengan nafasku. Sampai di titik ini, aku melupakan semua hal lainnya, termasuk istriku sendiri.

Mataku akhirnya ikut terpejam, menikmati bibir Sarah yang terus melumat bibirku. Aku menyandarkan tubuhku di kursi, membuat Sarah sedikit bergerak naik, hingga kurasakan buah dadanya semakin menempel dan menggesek di dadaku. Aku bisa merasakan Sarah kembali bergerak, dan kali ini dia sudah mendudukiku. Astaga, dia menduduki selangkanganku, yang ternyata sudah ada yang mengeras disana. Akupun langsung menarik bibirku untuk menghentikan perbuatan kami ini.

“Sarah, udah Sar, kita nggak boleh kayak gini. Ini udah kelewat batas.”

“Mas Krisna, please.. selama ini aku hanya menjadi budak nafsu pak Jamal, dia memperlakukanku hanya sebagai pemuasnya saja. Suamiku juga sudah 2 minggu nggak pulang mas. Tolong bantu aku mas, aku mohon..”

“Tapi Sar, ini nggak boleh, ini...”

“Mas...”

Dia kembali menatapku dengan tatapan sendunya. Aku terdiam, dia juga. Tapi posisi kami tak berubah. Bahkan kurasakan dia sedikit bergerak di bawah sana, membuat batangku sedikit ngilu karena posisinya yang menekuk.

“Mas Krisna, aku mohon, bantu aku.. beri aku kasih sayang, kelembutan mas..”

Tak sempat aku menjawab, bibirnya kembali menyerangku, kali ini lebih ganas dari sebelumnya. Aku lemah. Entah mengapa aku sama sekali tak bisa menghentikannya. Aku kembali menerima, dan membalas ciumannya. Bahkan tanganku juga kembali memeluk tubuhnya, menekan agar dada kami kembali bergesekan. Sesaat kemudian dia melepaskan ciumannya lagi.

“Anggep ini ucapan terima kasihku mas. Meskipun kamu belum bisa bebasin aku dan Arum dari pak Jamal, tapi semoga dengan ini semua usahamu akan segera berhasil. Ini adalah awal, kalau kamu benar-benar berhasil, apapun yang kamu minta dari aku, pasti akan aku penuhi, apapun itu.”

Kembali tanpa sempat menjawab, bibirku sudah dilumat lagi oleh Sarah. Aku benar-benar sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Aku terima semua itu, dan aku membalasnya dengan hal yang sama. Bibir kami terus berpagutan, penuh dengan gairah. Tapi aku juga bisa merasakan kalau Sarah ingin diperlakukan lembut, diberi kasih sayang, yang tidak dia dapatkan semenjak menjadi korban kebejatan Jamal.

Aku sudah tak ingat apa-apa lagi saat ini, tak menyadari apa yang sedang kami perbuat. Aku tersadar ketika Sarah menghentikan ciumannya dan sedikit menarik tubuhnya dari tubuhku. Aku baru menyadari kalau Sarah sudah membuka kemejanya, dan kedua tanganku saat ini berada di buat dadanya yang besar dan kenyal itu, lebih besar dari milik Arum.

“Mas Krisna, mau aku tetep pake ini apa dibuka aja?” tanyanya sambil memegang jilbabnya.

“Buka Sar,” jawabku spontan.

Dia tersenyum, kemudian menarik lepas jilbabnya, membuat rambut ikal sepunggungnya terlihat olehku. Kini bagian atas tubuh Sarah sudah tak tertutup apa-apa lagi. Aku hanya bisa terpaku. Selama ini hanya tubuh Arum saja yang aku lihat, dan sekarang, Sarah, oh seksi sekali dia.

Aku kembali hanya terdiam saat kedua tangannya dengan lincah melepasi kancing kemejaku, lalu melepaskannya dari tubuhku. Kaos dalam yang kupakai juga ditariknya sampai lepas. Kondisi kami sekarang sama, sama-sama telanjang dada. Dia kembali tersenyum, lalu menyerang bibirku lagi, tapi tak lama. Dia menaikkan posisinya hingga gunung kembarnya berada tepat di depan mukaku.

Tanpa dikomando, kuraih salah satu buah dadanya, dan yang sebelahnya langsung kuciumi.

“Ssshhh aaahh mas Krisnaaa, teruss maaaas...”

Bagaikan disiram minyak, api gairahku makin membawa dengan desahan Sarah itu. Suaranya yang serak-serak basah, membuat desahannya begitu erotis terdengar di telingaku. Aku terus mencumbui kedua buah dada Sarah bergantian. Kuremas juga dia dengan lembut. Aku tak ingin mengasarinya, karena aku ingin memberinya kelembutan.

Dalam posisi itu, ketika aku sedang mencumbu gunung kembarnya, Sarah berusaha membuka celana panjangnya sendiri. Sampai akhirnya dia menarik tubuhnya, membuat cumbuanku di payudaranya terlepas. Sekilas kulihat, dia sudah telanjang bulat.

Sarah kemudian bergantian menciumiku, mulai dari wajah, bibir, leher, hingga ke dadaku. Tak berhenti disitu, cumbuannya semakin turun menuju perutku. Uuh rasanya geli sekali, tak pernah aku mendapatkan yang seperti ini dari Arum. Biasanya Arum tak pernah seaktif ini ketika bercinta, dia lebih banyak diam dan akulah yang aktif. Sekarang sebaliknya, aku hanya diam membiarkan Sarah melakukan apapun yang dia mau.

Bahkan aku membantu dengan sedikit mengangkat pantatku ketika dia menarik turun celana panjang dan celana dalamku sekaligus. Aku sudah telanjang bulat sekarang, sama seperti dia. Sarah sempat melirik sebentar ke arahku dengan senyuman yang menurutku sangat sensual, tak menunggu lama dia langsung mencaplok batang penisku yang sudah mengeras.

“Aaaahh Saraaahhhh...”

Aku hanya bisa melenguh membiarkan penisku dia cium, dia jilati dan dia kulum. Dihisap-hisapnya penisku, dijilatinya kepala penis dan lubang kencingku yang ada di dalam mulutnya. Ooh ini luar biasa. Tak pernah Arum seperti ini kepadaku, dan ini rasanya nikmat sekali. Sarah benar-benar membuatku tak berdaya.

Beberapa saat Sarah mengoral penisku dengan luar biasa, membuat pertahananku hampir jebol. Aku langsung menarik kepalanya, aku tak ingin kalah duluan. Tujuanku adalah menolongnya kan, bukan malah dipuaskan olehnya. Tapi tak bisa kupungkiri, apa yang dilakukan oleh Sarah benar-benar telah membiusku. Apalagi sudah hampir sebulan aku tak berhubungan badan dengan Arum, sejak dia mengalami pemerkosaan itu.

Aku tarik tubuh Sarah ke atas dan kuciumi lagi bibirnya, yang beberapa saat lalu menservis penisku dengan begitu ganasnya.

“Kenapa ditarik mas? Mau keluar ya?” tanyanya saat ciuman kami terlepas, sambil tersenyum menggodaku.

“Emutanmu luar biasa Sar, aku hampir nggak bisa bertahan tadi. Aku nggak mau kalah duluan.”

“Hehe, itu baru mulutku lho mas, belum yang ini,” ucapnya sambil menunjuk ke arah selangkangannya.

“Oh ya? Coba buktikan.”

Aku merasa tertantang dengan ucapan Sarah. Aku juga penasaran, bagaimana rasanya liang surgawi milih sahabat istriku itu. Oh iya, di titik ini, aku sudah benar-benar melupakan status kami. Aku sudah benar-benar melupakan apa tujuanku yang sebenarnya datang kemari. Aku melupakan Arum, aku melupakan Jamal, bahkan aku melupakan Iing yang sedang membantuku menyelidiki Jamal. Yang ada di pikiranku saat ini adalah Sarah, hanya Sarah, yang sedang memegang penisku, dan bersiap memasukkannya ke dalam vaginanya.

“Oouhhh...”

Sarah melenguh saat tubuhnya bergerak turun, membuat kepala penisku tertelan bibir vaginanya. Dia tak berhenti, tubuhnya terus bergerak turun, membuat batangku sedikit demi sedikit mulai hilang ditelan vaginanya. Aku hanya bisa menahan nafas, meresapi pijatan dinding vagina Sarah di penisku.

“Aaaaaaahhhhhh...”

Kami berdua mendesah bersama saat penisku sudah hilang semua ditelan vagina Sarah. Kami saling berpandangan, saling tersenyum, kemudian saling berciuman. Ciuman yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.

Perlahan Sarah mulai menggerakkan badannya naik turun, tanpa melepas ciuman kami. Hal itu membuat desahan kami tertahan. Aku tak mau tinggal diam. Tanganku bergerak ke payudaranya, meremasnya dengan kombinasi lembut dan kasar. Hal itu rupanya membuat syahwat Sarah semakin tak terkendali, terbukti dari gerakannya yang semakin liar.

Aku benar-benar kewalahan menghadapi Sarah. Aku yang hampir sebulan tak mendapat jatah dari Arum, dan ditambah dengan betapa menggairahkan dan binalnya Sarah membuat pertahananku begitu tipis. Aku sudah tak kuat lagi. Aku raih tubuh Sarah, kupeluk erat dan kugerakaan pinggulku sendiri dengan cepat.

“Saraaah aaahh aakhuu,,, aku nggak tahaaan lagiiihh...”

“Tahan bentar maass, keluar bareeng... iya terusss maass aaaahh cepertiiinn...”

“Saraaahhh aku keluaaaarrrr...”

“Aaaahhh maaaassss...”

Crot.. crot.. crot..

Tanpa bisa kubendung, cairan spermaku yang tertahan hampir sebulan lamanya kukeluarkan semua di dalam vagina Sarah. Tubuhku sampai kelojotan saking nikmatnya. Begitupun Sarah. Kurasakan vagina Sarah juga berkedut dan keluar cairan hangat yang menyiram penisku. Diapun juga beberapa kali mengejang tubuhnya, diapun orgasme.

Aku merasa senang, karena buatku tak begitu memalukan, karena aku hanya tahan sebentar saja, mungkin tak sampai 2 menit. Tapi meski begitu, aku bisa membuat Sarah orgasme juga. Tubuh Sarah menimpa tubuhku, dan kami sama-sama lemas. Kami sedang mengatur nafas kami masing-masing. Tak ada kata apapun yang terucap. Hanya saja sebersit penyesalan muncul di hatiku, bahwa aku telah menghianati pernikahanku dengan Arum.

Meskipun tubuh Arum juga sudah pernah dirasakan oleh orang lain, bahkan bukan hanya satu orang, tapi Arum melakukannya dalam keadaan dipaksa. Sedangkan aku, apa? Terpaksa? Aku rasa sama sekali tidak. Lalu apa? Pelampiasan? Pelarian? Entahlah, yang jelas alasan untuk membantu dan memberi Sarah kelembutan hanyalah sebuah alibi yang terbentuk di pikiranku sendiri. Tapi dibalik itu aku tahu, alasan itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Intinya, aku telah menyeleweng, selingkuh, dan ini lebih parah daripada yang dialami oleh Arum.

“Mas Krisna, maaf ya udah maksa mas buat kayak gini. Aku tau ini semua salah, tapi aku nggak bisa nahan diriku sendiri mas. Aku,, aku butuh ini, dan hanya mas Krisna yang bisa melakukannya. Aku juga merasa bersalah sama Arum, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku butuh ini semua mas.”

Aku tak menjawab kata-kata Sarah. Aku tahu, dia tak punya niat buruk. Semua ini murni karena dia haus akan kasih sayang, yang jarang sekali didapat dari suaminya. Apalagi sejak menjadi budak Jamal, bukan kasih sayang dan kelembutan yang didapat, tapi hanya dijadikan pelampiasan nafsu, dijadikan tempat buang sperma saja.

Aku hanya bisa memeluk dan mencium kepala Sarah. Diapun membalas dengan memelukku semakin erat. Cukup lama kami dalam posisi itu, sampai kurasakan penisku mulai mengeras lagi. Oh tidak, haruskah terulang? Haruskah aku melakukannya lagi?

Rupanya Sarah menyadari hal itu, dan bangkit dan tersenyum. Dia meraih tanganku dan menarikku menuju ke sebuah kamar. Kami berjalan dengan telanjang bulat, meninggalkan pakaian kami di ruang tamu. Begitu sampai di dalam kamar, dia langsung menyerangku dengan ganas, akupun tak kalah ganasnya.

Aku sudah memutuskan, untuk mengesampingkan apapun hari ini. Aku sudah putuskan, aku masuk ke dalam lembah perselingkuhan dengan Sarah. Aku tak memikirkan hal yang lainnya dulu. Urusan Arum dengan Jamal, sudah ada Iing yang membantuku. Untuk hari ini saja, sehari ini saja, aku ingin melakukannya dengan Sarah.

Maafkan aku Arum sayang, bukannya aku ingin membalas apa yang terjadi padamu dengan melampiaskannya ke Sarah. Tapi, entahlah, aku tak tahu harus menyebut ini sebagai apa. Aku tahu ini salah, dan aku hanya bisa minta maaf kepadamu. Untuk sehari ini saja, aku hanya ingin bersama Sarah. Semua ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Maafkan aku Arum.

Agen Cbo855 - Bandar Taruhan - Agen Bola - Bandar Bola - Taruhan Bola - Judi Bola - Agen Sbobet - Agen Maxbet - Agen 368bet - Agen Sabung Ayam


Bandar Taruhan
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger