Home » » Menodai Bidadari Kampus 2

Menodai Bidadari Kampus 2


Bandar Taruhan - Aku sempat bingung saat membuka mata dan menemukan diriku berbaring di sofa. Rupanya semalam aku ketiduran di ruang tamu sementara Deni, Roy, dan Evan melanjutkan pesta kecil mereka bersama Harumi. Sial, berarti aku kelewatan berbagai acara seru semalam! Segera aku berlari menuju kamar tempat aku memperkosa Harumi kemarin. Saat kubuka pintunya, ternyata mereka semua masih ada di sana. Harumi tampak tertidur pulas dengan tubuh yang masih telanjang bulat, kedua tangannya terikat di atas kepalanya. Penis karet yang kemarin kugunakan untuk menyiksanya, tampak masih tertancap di dalam kemaluannya yang kelihatan agak membengkak, sementara di sekitarnya tampak bekas sperma kering.

Di sebelah kiri dan kanannya ada Deni dan Roy yang juga belum bangun, sementara Evan tidur di lantai, entah bagaimana ceritanya. Melihat sang bidadari dengan tubuh molek yang tidak tertutup sehelai benang pun, penisku langsung mengeras seketika. Aku naik ke atas ranjang itu pelan-pelan supaya tidak ada yang bangun. Kutindih tubuh Harumi yang telentang, lalu mulutku menerkam buah dadanya. Ketika kugigit puting susunya, Harumi tersentak kaget dan mengangkat kepalanya. Sebelum ia sempat mengeluarkan suara, langsung kulumat bibirnya supaya tidak berisik. Lidahku mulai menerobos masuk ke dalam mulutnya yang mungil, kemudian menari-nari di dalamnya. Sementara itu kedua tanganku kembali meremas-remas payudaranya yang tidak pernah membuatku bosan. Nafsuku kembali memuncak, aku harus memperkosa gadis ini sekali lagi! Saat aku hendak mencabut penis karet dari vaginanya, tiba-tiba para cewek masuk ke ruangan itu.

"Gila Dim sampe pagi masih aja lu entotin itu lonte?" canda Mita.

"Apaan, enak aja lo, semalem gue ketiduran di sofa weh, ini gue baru mau mulai, eh lo pada masuk," jawabku dengan ketus.

"Gantian dong sama kita, kan kita juga mau maen sama dia," ujar Rina yang membawa tali kekang dan kalung yang biasa digunakan untuk anjing peliharaan.

"Tolong dong gue capek banget nih, baru juga tidur satu jam," kata Harumi lirih, dengan muka yang benar-benar memelas.

"Lo masih mau pulang ke rumah apa pengen mati di sini, hah? Kalo masih pengen pulang, ikutin perintah kita!" bentak Deni yang ternyata sudah bangun, mungkin karena percakapan kami yang gaduh.

Rina menyuruh Harumi untuk bangun dan merangkak ke arah pintu. Kemudian ia memasang kalung itu di leher Harumi, mengencangkannya sampai leher Harumi tampak tercekik, lalu menyambungkannya dengan tali kekang.

"Karena lo orangnya anjing, udah pantes lo kita jadiin anjing peliharaan nih," ujar Rina sambil menarik-narik tali kekangnya dan menuntun Harumi merangkak keliling kamar. Untuk melengkapi peran anjingnya, Devi mengambil cambuk pinjamanku yang tergeletak di lantai, lalu memasukkan gagangnya ke lubang pantat Harumi. Gadis itu merintih kesakitan ketika Devi memaksakan gagang cambuk itu supaya masuk seluruhnya ke dalam anus Harumi.

"Nah kan sekarang lengkap ada ekornya juga," kata Devi, disambut tawa anak-anak yang lain. Harumi benar-benar merasa terhina diperlakukan seperti itu, kepalanya tertunduk malu menghadap lantai sambil mulai menangis tersedu-sedu.

"Gue dari bangun belom kencing nih, WC-nya jauh, gue kencing di sini aja ya," kata Roy.

Cowok-cowok yang lain menyetujui ide Roy. Kami berdiri mengelilingi anjing cantik yang bertumpu dengan kedua tangan dan lututnya di atas lantai. Kami arahkan penis kami yang tegang biasanya orang menyebut ereksi penis di pagi hari dengan istilah "morning boner" ke arah Harumi, lalu kami mulai mengencingi gadis malang itu. Harumi berusaha menutupi wajahnya supaya tidak terkena air kencing kami, namun kami menendang-nendang tubuhnya hingga jatuh telentang sehingga kami bisa mengencingi seluruh bagian tubuhnya. Muka Harumi tampak menahan jijik yang teramat sangat, mungkin karena kencing cowok di pagi hari biasanya berbau lebih pesing dan jumlahnya sangat banyak.

"Kebetulan kan dia belom mandi dari kemaren, sekalian kalian mandiin pake aer kencing ya guys," ledek Mita, disambut dengan tawa kami semua.

"Sekarang gantian, elo yang kencing!" perintah Devi.

Melihat Harumi yang masih dalam posisi menungging tanpa memberi respon apapun, Evan dan Roy berinisiatif untuk menggelitiki ketiak Harumi dengan brutal, sementara aku dan Deni menggelitiki telapak kaki Harumi.

"Duh geliii..! Ampunnn ga tahannnn...."

Ternyata dugaan kami benar, orang yang kegelian lama-lama pasti tidak dapat menahan kencingnya. Sebelum Harumi sempat mengompol, kami mengangkat pahanya yang sebelah kiri, sehingga ketika pipisnya keluar, ia benar-benar mirip anjing yang sedang buang air. Kami semua pun menertawakan adegan memalukan tersebut, sementara Devi merekamnya di HP. Sesudah itu, kami menyuruh Harumi untuk menyeka air kencingnya di lantai dengan rambutnya yang indah, lalu menjilati sisanya hingga benar-benar bersih.

Kemudian Devi menyeret Harumi ke luar pondok, diikuti oleh kami semua di belakangnya. Ternyata semalam turun hujan, sehingga tanah di luar agak becek. Saat diseret menuju ke halaman, Harumi enggan untuk merangkak ke luar, nampaknya ia tidak mau menyentuh tanah yang kotor itu.

"Sok bersih banget sih lo, meki lo aja lebih kotor dari tanah itu!" bentak Mita. Karena Harumi bersikeras untuk tidak menginjak tanah dengan tangan dan lututnya yang telanjang itu, aku pun mengambil tindakan. Aku mengambil sebilah papan yang tergeletak di teras, bentuknya mirip penggaris kayu yang biasa dipakai di sekolah, namun lebarnya sekitar 10 cm. Kugunakan kayu itu untuk memukul pantat Harumi sekeras-kerasnya.

"Aaaaaakh! Sakittt!" pekik Harumi. Pukulan yang kuberikan cukup keras hingga tubuhnya terdorong ke depan, beranjak dari teras hingga menyentuh tanah. "Plakkk!" kali ini papan kayu itu menghantam bulatan pantat Harumi yang sebelah kanan. Pukulan-pukulan itu terbukti efektif memaksa Harumi untuk terus merangkak ke depan, sehingga Devi menyuruhku untuk terus memukuli pantat Harumi, yang tentu saja kulakukan dengan senang hati.

Rombongan kami terus berjalan menyusuri hutan yang sepi, dipimpin oleh Devi di barisan paling depan yang menuntun Harumi yang merangkak di belakangnya, layaknya majikan yang sedang menuntun anjing peliharaannya berjalan-jalan. Tangan dan lutut Harumi yang tadinya putih bersih kini dikotori oleh tanah yang becek. Setiap beberapa langkah sekali, kuayunkan papan kayu itu ke pantat Harumi, sehingga kedua belah pantatnya kini berwarna merah padam. Jeritan yang keluar dari mulutnya tiap kali kupukul pantatnya memecah kesunyian hutan itu. Gagang cambuk yang menancap di anusnya kelihatan sangat menyiksanya setiap kali ia merangkak ke depan. Tidak hanya itu, Devi juga memaksa Harumi untuk memungut ranting-ranting yang ia temukan sepanjang perjalanan dengan menggunakan mulutnya, persis seperti anjing. Ranting-ranting itu kemudian dikumpulkan ke dalam kantong plastik yang dibawa Mita.

Setelah berjalan (dan merangkak) beberapa jauh, kami mencium bau yang agak menyengat. Ternyata bau itu berasal dari sebuah kubangan lumpur, mungkin lumpur itu bercampur dengan kotoran binatang, entahlah.

"Gue mau liat anjing kita guling-guling di lumpur dong," pinta Rina. Harumi menggelengkan kepalanya, lalu berusaha untuk berpijak kuat-kuat di atas tanah supaya tidak diseret masuk ke dalam kubangan lumpur yang menjijikan itu. Namun usahanya sia-sia ketika Roy menendang pantat Harumi sekuat tenaga, hingga gadis malang itu terjerembab ke dalam kubangan lumpur tersebut. Kemudian kami menendang-nendang tubuh Harumi hingga seluruh tubuhnya yang tadinya putih bening kini berlumuran lumpur. Aku dapat melihat ekspresi puas para cewek yang baru saja membuat gadis paling cantik di kampus kini terlihat seperti seonggok kotoran yang menjijikkan.

Setelah puas, kami mengeluarkan Harumi dari lumpur, lalu membaringkannya di atas tanah. Devi menyuruh Deni dan Evan untuk merentangkan paha Harumi hingga vaginanya terpampang jelas. Kemudian Mita berjongkok tepat di hadapan selangkangan Harumi, kemudian mengeluarkan ranting-ranting dari kantong plastik yang ia bawa.

"Sekarang kita mau liat meki lo bisa dilebarin seapa sih, biar kita tau berapa banyak kontol yang bisa masuk ke sana!" kata Devi.

"Jangan please, rantingnya kan kotor.." ujar Harumi memelas, saat Mita memasukkan ranting pertama ke dalam liang kemaluan Harumi. Lima ranting pertama dimasukkan ke dalam vagina Harumi tanpa kesulitan yang berarti, sembari kami terus memegangi tubuh Harumi kuat-kuat supaya ia tidak memberontak. Harumi mulai merintih kesakitan ketika ranting yang keenam dimasukkan, demikian juga dengan ranting yang ketujuh dan kedelapan. Saat ranting yang kesembilan dimasukkan, vaginanya terlihat penuh sesak oleh delapan ranting sebelumnya, sehingga Mita harus sedikit memaksakan ranting tersebut supaya bisa masuk. Ranting yang kesepuluh membutuhkan usaha ekstra, sehingga Harumi menjerit kesakitan saat Mita menyodok-nyodok ranting tersebut dengan brutal ke dalam vagina Harumi. Permukaan ranting yang kasar pasti melukai dinding vagina Harumi, sehingga gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil membanting-bantingkan pantatnya di atas permukaan tanah. Walaupun nampaknya sudah tidak muat lagi, Mita tetap memaksakan ranting yang kesebelas untuk masuk ke dalam vagina Harumi.

"Ampunnnn sakit banget, please udahan dong!"

"Ini baru ranting loh, Har. Kan lo harus siap buat nerima dua tiga kontol sekaligus, kan pasti lebih gede dari ranting," ujar Mita dengan nada yang dibuat seolah-olah menggurui, sambil terus berusaha untuk memasukkan satu lagi ranting ke dalam kemaluan Harumi. Dengan susah payah, akhirnya ranting yang kesebelas masuk ke dalam. Vagina Harumi terlihat melar hingga ke titik maksimalnya, seolah sedikit lagi hampir sobek. Dapat kulihat tetesan darah mengalir ke luar dari vaginanya, apabila tidak segera diobati, gadis itu mungkin bisa meninggal karena iritasi pada organnya yang paling sensitif. Namun itu bukan urusanku, yang penting aku dapat merasa senang melihat sang bidadari kampus ini meronta-ronta kesakitan di hadapanku, dengan tubuh molek yang telanjang bulat dan berlumuran lumpur.

Tiba-tiba permainan kami diganggu oleh tetes-tetes hujan yang membasahi tubuh kami. Gerimis yang turun memaksa kami untuk menyudahi keseruan kami.

"Mau kita apain nih jablaynya?" tanya Rina.

"Kita gantung aja di pohon depan pondok, sekalian biar badannya dicuci air hujan. Kan entar kita mau pake lagi, mesti bersih lah," usul Deni. Semua menyetujui ide Deni. Kami menyeret Harumi kembali ke depan pondok, lalu mengikat kedua tangannya ke atas, kemudian menggantungkannya ke dahan sebuah pohon di depan pondok. Kakinya terangkat beberapa senti dari permukaan tanah, sehingga tubuhnya terayun-ayun karena tertiup angin yang cukup kencang.

Saat yang lainnya kembali masuk ke dalam pondok untuk berteduh dari hujan yang semakin deras, aku tetap berdiri memandangi tubuh Harumi yang sempurna itu. Dengan bantuan air hujan, kuusap-usap badan Harumi untuk membersihkan lumpur yang masih menempel di badannya, hingga kulitnya kembali terlihat putih mulus. Gadis itu masih saja menangis karena rasa sakit pada vaginanya. Air matanya masih turun mengalir membasahi pipinya, bercampur dengan tetesan air hujan. Entah mengapa aku ingin membuatnya lebih menderita lagi. Kuambil sebatang rotan yang kemarin dipakai untuk mencambuki Harumi, lalu kuayunkan ke tubuhnya yang basah kuyup.

"Ctarrrr!"

"Awwhhhh! Cukup dong Dim.."

Jeritan kesakitan Harumi semakin membuatku bernafsu. Dengan tempo cepat kucambuki sekujur tubuh Harumi, mulai dari payudaranya yang montok, perutnya yang rata, pahanya yang sekal, punggungnya yang mulus, hingga pantatnya yang kenyal. Suara pukulan rotan yang mendarat di tubuh Harumi bergantian dengan suara jeritan yang keluar dari mulutnya, diiringi dengan bunyi hujan yang semakin lebat. Ketika jeritan Harumi semakin lama semakin melemah, aku takut dia pingsan lagi. Kuhentikan cambukan-cambukanku, lalu kuhampiri gadis itu dan kupeluk tubuhnya untuk memastikan dia masih sadar. Kuelus-elus punggungnya yang dihiasi garis-garis merah bekas cambukanku barusan, rasa ibaku perlahan mulai timbul saat gadis cantik di dekapanku ini kembali menangis tersedu-sedu sambil menggigil kedinginan. Bagaimana tidak, aku yang berpakaian lengkap saja merasa angin dingin pagi ini menusuk tulangku, apalagi Harumi yang telanjang bulat.

Untuk memberikannya sedikit "kehangatan", kuputuskan untuk menyetubuhi Harumi sekali lagi. Kukeluarkan ranting-ranting dari kemaluannya; ujung ranting-ranting tersebut sedikit berlumuran darah akibat luka pada bagian dalam vagina Harumi. Tanpa basa-basi, kugantikan posisi ranting-ranting itu dengan penisku yang sudah tegang sedari tadi.

"Akhhhh perihhh..." Harumi merintih kesakitan. Gesekan antara penisku yang sudah sangat keras dengan dinding vaginanya yang terluka pasti terasa sangat menyakitkan. Kupeluk tubuh Harumi erat-erat supaya dadaku menempel dengan payudaranya, sementara tanganku meremas-remas pantatnya. Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan cepat; aku tidak mau berlama-lama bercinta sambil kehujanan seperti ini, walaupun batinku ingin supaya penisku tidak akan pernah lepas dari jepitan vagina Harumi yang meskipun sudah dimasuki bermacam-macam benda dari kemarin, namun masih terasa sangat sempit. Otot-otot vaginanya seolah mengurut batang penisku, membuatnya tidak dapat menahan cairan di dalamnya lebih lama lagi. Hanya dalam beberapa menit, penisku menyemburkan banyak sekali sperma ke dalam rahim Harumi. Setelah kemarin hanya bisa menikmati mulut dan anusnya, akhirnya penisku seolah mengucapkan terima kasih karena telah berhasil menuntaskan misinya di dalam vagina sang bidadari kampus.

Walaupun penisku mulai kembali menyusut dan keluar dengan sendirinya dari liang senggama Harumi, aku tidak melepaskan pelukanku pada tubuh gadis jelita itu. Kupandangi wajahnya yang meskipun tampak kelelahan dan menderita, namun masih memancarkan kecantikannya.

"Dim, gue laper. Dari kemaren belom makan.." ujar Harumi tiba-tiba. Mukanya yang memelas kembali membangkitkan rasa kasihanku.

"Oke bentar gue ambilin makanan yah kalo ada sisa di dalem. Be right back, cantik.."

Aku meninggalkan Harumi yang masih tergantung di pohon. Ternyata teman-teman yang lain sedang sarapan bersama di dalam pondok. Setelah ikut makan bersama-sama, aku pun lupa ada gadis yang kedinginan dan kelaparan di luar sana yang masih menungguku membawakan makanan.

Kututup buku catatan Dimas tersebut. Wajahku menunjukkan ekspresi yang campur aduk antara menahan nafsu akibat cerita petualangan seks anak-anak muda itu, serta rasa kasihan terhadap gadis cantik yang masih duduk di sampingku, nampaknya ia tertidur karena kelelahan.

"Saya rasa barang bukti ini sudah cukup untuk menahan kamu dan teman-teman kamu," kata pak polisi dengan nada tegas.

Dimas hanya menunduk lemas, argumen apa lagi yang harus ia sampaikan untuk membela dirinya, semua cerita kriminalnya sudah diketahui berkat tulisannya sendiri. Pasti ia sangat menyesal karena telah mencatat semua kejadian itu, entah apa tujuannya.

"Kek, kakek boleh pergi dari sini. Terima kasih banyak atas bantuannya ya."

"Baik pak polisi, saya senang bisa membantu orang yang tertimpa musibah seperti neng Harumi ini. Semoga pelakunya dihukum yang setimpal ya Pak."

Aku pun melangkah keluar dari kantor kecil itu. Sambil berjalan pulang, aku terus terngiang-ngiang wajah cantik Harumi. Kapan lagi aku bisa melihat gadis secantik dia? Namun lamunanku dibuyarkan oleh sebuah jeritan yang berasal dari kantor polisi yang baru saja kutinggalkan jeritan yang sangat tidak asing di telingaku. Jeritan sang gadis malang yang kelihatannya masih akan menderita selama beberapa waktu ke depan.

"Aaaaaaaaaa tolonggg Pak, cukup, jangan lagiiii!"

Aku bergegas memakai jas hujan untuk mengetahui asal suara mencurigakan yang kudengar berkali-kali di pagi hari ini. Sudah bertahun-tahun aku tinggal sendirian di tengah hutan ini, jadi aku tidak takut akan suara hantu atau semacamnya, aku yakin suara tersebut adalah suara manusia. Sumber suara tersebut menghilang sebelum aku menemukannya, sehingga pencarianku pun semakin sulit. Untungnya, sebelum aku putus asa, aku melihat bayangan sebuah objek yang tergantung di sebuah pohon. Aku terperanjat saat kudekati objek yang ternyata merupakan seorang gadis yang telanjang bulat. Kulitnya putih bening, namun sayangnya dinodai oleh luka-luka mirip bekas pecutan serta bercak-bercak lumpur. Payudaranya bergantung dengan indah, dibasahi oleh tetesan air hujan. Demikian juga dengan pantatnya yang sekal. Rambutnya yang hitam panjang tampak basah sehingga menempel di punggungnya. Namun yang paling menarik perhatianku adalah wajah orientalnya yang sangat menawan, agak mirip dengan tipikal cewek-cewek Chinese yang dulu sering kujumpai di kota, namun sekilas wajah itu juga mengingatkanku akan aktris film bokep Jepang. Sudah lama sekali aku tidak melihat sosok sesempurna ini. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini, pikirku.

Sebelum gadis itu sempat berteriak minta tolong, kubekap mulutnya dengan tanganku yang keriput.

"Psssttt... saya bisa tolongin kamu, tapi kamu jangan berisik!"

"Mmmphhh..." suara gadis itu tertahan bekapan tanganku, namun ia mengangguk tanda setuju. Kulepaskan ikatannya dari cabang pohon tersebut, lalu dengan keadaan tangan yang masih terikat, kutuntun sang bidadari menuju tempat tinggalku.

"Kek, jangan ke kamar. Di ruang tamu aja, boleh?" tanya gadis itu saat kubawa ia menuju kamarku.

"Selimutnya ada di kamar, Neng. Kasian kamu kedinginan."

"Oh begitu.. terima kasih Kek.." jawabnya dengan sopan, sambil menarik selimut di atas ranjangku untuk menutupi tubuhnya.

"Ehh, siapa yang suruh pakai selimutnya? Selimut itu untuk alas kita bercinta. Biar ranjang Kakek gak kotor sama badan kamu."

"Kek, jangan dong, aku mohonnn... Aku udah berkali-kali diperkosa dan disiksa dari kemaren, aku capek banget Kek, sakit banget.."

"Kalo kamu mau Kakek balikin ke tempat tadi lagi juga boleh kok. Tapi kalo kamu mau nurut sama Kakek, Kakek antar kamu ke kantor polisi. Terserah kamu maunya gimana."

Gadis itu menghela napas panjang, sembari matanya yang cantik melirik ke kanan dan ke kiri. "Oke lah Kek, tapi janji jangan bohong ya, Kek. Aku mohon sebesar-besarnya."

"Kamu juga janji sama Kakek ya, jangan laporin perbuatan Kakek ke polisi."

"Iya Kek aku janji."

"Sekarang balikin selimutnya ke atas ranjang, trus Kakek mau liat kamu ngangkang."

Ajaib, gadis itu melakukan persis seperti yang aku perintahkan. Aku terkagum-kagum melihat vagina gadis itu yang gundul, walaupun bentuknya agak tidak karuan, pasti para pemerkosanya telah merusak benda keramat tersebut. dengan sangat brutal. Anehnya, melihat vagina yang terluka itu malah membuatku semakin terangsang. Kumasukkan jari tengahku ke dalamnya, disusul oleh jari telunjukku. Dapat kurasakan bagian dalam vaginanya yang masih becek, mungkin bekas cairan sperma para pemerkosanya, bercampur dengan cairan kewanitaan dan darah.

"Akhhh... Pelan-pelan Kek, masih sakit banget," ujar sang gadis, antara kesakitan atau kenikmatan yang ia rasakan, aku juga sulit menebak.
Penasaran dengan liang senggama itu, aku memasukkan satu lagi jariku ke dalamnya, kemudian satu lagi, hingga akhirnya kelima jariku berada di dalam vaginanya. Aku agak kaget betapa melarnya vagina gadis ini, entah benda sebesar apa yang sebelumnya masuk ke dalam sana, sehingga seluruh kepalan tanganku dapat masuk dengan cukup mudah. Kumainkan jariku di dalam vaginanya dengan gerakan menguncup dan mengembang, seolah aku akan mencabut keluar sebuah organ di dalam sana. Si cantik menjerit-jerit kesakitan, tubuhnya meronta-ronta, namun ia tidak bisa ke mana-mana selagi kepalan tanganku masih berada di dalam vaginanya. Kumajumundurkan kepalan tanganku keluar masuk vaginanya, semakin lama semakin cepat hingga dapat kurasakan cairan vaginanya mulai membasahi tanganku. Saat kukeluarkan tanganku dari liang penuh nikmat itu, tanganku berlumuran cairan kewanitaanya, yang kemudian kuusapkan ke wajahnya.

Sementara itu, penisku serasa memberontak ingin keluar dari kandangnya. Segera kulepas celana jeans dan kolorku, lalu aku naik ke atas ranjang dan berdiri tepat di depan gadis itu.

"Gimana punya Kakek, walaupun udah keriput tapi gak kalah kan sama cowok-cowok yang merkosa kamu?"

"I-i-iya Kek.."

"Kamu mau kan dientotin sama penis Kakek?"

Si cantik hanya diam saja memandangi penisku.

"Jawab, kalo enggak kamu aku gantung lagi di luar sana ya, nanti siangan dikit bakal lebih banyak orang yang lalu lalang, biar kamu diperkosa rame-rame aja yah kalo ada orang yang lewat."

"Jangan Kek.. Iya deh Kakek boleh.."

"Boleh apa? Bilang yang jelas.."

"K-k-kakek boleh entotin aku.."

"Emang kamunya mau apa enggak? Jawab sejelas mungkin."

"Iya Kek, aku m-mau dientotin Kakek, buruan Kek, aku udah g-g-gak sabar," ucapnya terbata-bata, sambil menahan malu. Aku yakin ucapannya itu sangat bertentangan dengan kata hatinya, namun aku sangat puas melihat penyerahan dirinya. Langsung saja kudorong penisku yang sudah mengeras mendobrak vaginanya yang agak menganga. Namun gadis itu hanya merintih pelan saat seluruh batang penisku berhasil masuk ke dalamnya, mungkin penisku yang sudah uzur ini tidak ada apa-apanya dibandingkan siksaan yang diberikan para pemerkosanya. Masa bodoh, aku tetap merasakan kenikmatan yang luar biasa. Jepitan vagina gadis belia ini memberiku sensasi yang sudah lama tak kurasakan, ditambah dengan udara dingin di luar akibat hujan yang sangat mendukung suasana itu. Tanganku bertumpu pada payudaranya yang lumayan montok, kuremas-remas bukit kembar itu dengan buas.

Tidak mau rugi, aku juga ingin merasakan lubang yang satunya lagi. Sebelum aku sempat orgasme, segera kucabut penisku dari liang vaginanya, lalu kubalikkan tubuhnya hingga menungging. Dengan sekali sentak, batang penisku kini menghujam anusnya sebuah lubang kecil dengan kerutan di sekitarnya.

"Aaaaaakhh sakit Kek..! Udahan dong, perihhh..."

"Pssssttt.. diem ah, pantat kamu enak banget sih, montok lagi.."

Kedua belah pantatnya yang kenyal menghantam pinggangku setiap kali aku mendorong penisku masuk ke dalam anusnya. Bongkahan daging itu terasa begitu dingin dan lembut walaupun terdapat garis-garis merah bekas cambukan, ingin rasanya kujadikan bantal setiap malam. Aku tidak tahan lagi, aku akan segera orgasme. Cepat-cepat kutarik penisku dari anusnya, lalu kumasukkan lagi kali ini ke dalam vaginanya. Kukeluarkan seluruh spermaku ke dalam vagina gadis cantik yang sedang menungging di hadapanku ini, sembari tanganku mencengkeram pinggul dan pantatnya. Setelah kucabut penisku dari sana, si sexy itu langsung terjatuh ke atas ranjangku. Kakinya meringkuk hingga lututnya menyentuh payudaranya, lalu ia mulai menangis tersedu-sedu.

"Kok malah nangis Neng? Enak kan dientotin Kakek?"

"Aku takut hamil Kek.."

"Kamu tau dari mana?"

"Terakhir kali aku mens sekitar sepuluh hari yang lalu. Kalo kata orang ini lagi masa-masa suburnya. Aku pasti hamil, Kek! Gimana dong?

"Belum tentu lah. Lagian apa yang perlu ditakutin? Orang tua kamu juga pasti ngerti kok kalo kamu korban pemerkosaan."

"Gak mungkin Kek. Papa Mama orangnya strict banget. Mereka pernah ngancem mau usir aku dari rumah kalo sampe aku hamil di luar nikah. Mereka mana mau ngertiin kalo aku diperkosa, bisa aja mereka nuduh aku main sama pacarku.."

Aku duduk di sebelahnya, lalu kubelai punggungnya. "Yang tabah ya Neng.."

"Udah gitu pasti pacarku mutusin aku. Mana mau dia sama cewek yang udah gak perawan lagi, malah lebih parahnya miss V aku udah rusak kayak gini??" ujarnya dengan nada yang semakin tinggi, sementara air matanya bercucuran sederas hujan yang mengguyur di luar.

" Terus aku tau dari mana ini anak siapa? Yang perkosa aku banyak. Aku mesti minta tanggung jawab siapa? Kenapa aku, Kek? Kenapa harus aku??"

"Abisnya kamu cantik banget sih Neng.."

"Emangnya salah aku lahir cantik? Kalo tau begini, aku milih jadi jelek aja, Kek. Buat apa cantik kalo akhirnya aku mesti mengandung anak haram dan diusir dari rumah??!"

"Cup..cup..cup.. udah neng, udah. Kamu bikin Kakek merasa bersalah ikut perkosa kamu. Kakek minta maaf ya.."

"Iya Kek gapapa. Sekarang aku ngerti, semua cowok juga mau perkosa aku kan? Aku lahir emang buat dinikmatin dan disiksa kan?"

"Bukan begitu, Neng.. Udah deh sebaiknya Kakek anter kamu ke kantor polisi sekarang."

Kuambil sarung dari lemari, lalu kulilitkan di tubuh gadis malang itu. Kubuka ikatan tali yang sedari tadi masih mengikat tangannya.

"Yuk, jalan. Jangan marah-marah lagi, gak bakal membalikkan keadaan kok. Ngomong-ngomong terima kasih buat semuanya ya Neng.."

Kutuntun tangan lembut itu menyusuri jalan setapak yang sunyi senyap. Sesekali kupandangi wajah gadis yang walaupun nampak sangat lelah dan kesakitan, namun masih memancarkan kecantikannya; kecantikan yang belum pernah aku temukan semasa enam puluh tahun aku menghembuskan napas. Langkahnya terseok-seok, mungkin karena kakinya yang telanjang itu kesakitan saat menginjak jalan yang berkerikil. Dari balik sarung yang membungkus tubuhnya, kuintip belahan dadanya yang sangat merangsang siapapun yang melihatnya. Ingin rasanya kusetubuhi gadis itu sekali lagi, namun aku sudah terlanjur berjanji membawanya ke kantor polisi di desa terdekat.

Agen Cbo855 - Bandar Taruhan

Bandar Taruhan
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger