Home » » Ritual Sex di Gunung Kemukus 1

Ritual Sex di Gunung Kemukus 1


Bandar Taruhan - Namaku Ujang, pemuda berusia 21 tahun yang berprofesi penjual mie ayam keliling dengan sistim bagi hasil. Aku berasal dari sebuah desa terpencil di kabupaten Bogor. Merantau ke kota Bogor karna ada temanku yang mengajakku kerja jadi penjual mi ayam. Maka tak heran, aku tinggal di kontrakan bareng teman temanku sesama penjual mi ayam. Di sebelah kontrakan yang aku tempati, ada sepasang suami istri dari jawa, suaminya Mas Gatot, adalah teman seprofesi, usianya sekitar 40 tahun, sedang istrinya Mba Wati berjualan jamu gendong, usianya mungkin 30an. Mereka hanya tinggal berdua, karna anak anaknya tinggal di kampung dengan, neneknya.
"Istriku umurnya 35" kata mas gatot, saat kami ngobrol.
Sekilas tentang Wati, manis, khas wanita jawa, kulinya sawo matang, tapi yang paling mencolok adalah tubuhnya yg montok dengan buah dada yang sangat besar. Apalagi saat dia berjualan jamu dengan memakai kebaya, maka dada dan pantatnya yang besar selalu menjadi pusat perhatian lelaki. Suatu hari aku sedang malas jualan, kulihat mas gatot sedang duduk di teras kontrakan.

"Jang, sini, kita ngopi di dalem." mas Gatot memanggilku.
Tanpa pikir panjang, aku mengikuti mas Gatot ke dalam kotrakan, hanya satu ruangan berukuran 3x4, tanpa sekat, sehingga aku bisa melihat Mba Wati yang sedang tiduran. Mba Wati tersenyum, bangun dari tempat tidur, lalu berjongkok menyalakan kompor untuk memasak air.
"Kamu mau cepat kaya? Datang saja ke Gunung Kemukus," kata temanku, mas Gatot.
Mas Gatot adalah teman sesama penjual mie ayam keliling, Kami satu bos.
"Gunung Kemukus? Tempat apa, itu ?" tanyaku, heran. "Apa di sana ada dukun hebat?"
"Gunung Kemukus itu tempat pesugihan, biar.... ". Jawabnya.
Ucapannya terhenti saat melihat istrinya datang. membawa kopi.
"Kopinya, mas." Mba Wati istri mas Gatot datang membawa kopi.
Tubuhnya membungkuk meletakkan 2 gelas kopi ke atas lantai beralas tikar. Lalu Mba wati duduk di samping, Mas Gatot. Sekilas, aku melihat wajah Mba Wati, manis, khas wanita jawa. Hidungnya bangir, bibirnya mungil, dan matanya yang menurutku agak nakal. Yang paling menarik adalah tubuhnya yang agak gemuk, berisi, sehingga tonjolan dadanya terlihat besar, membuatku suka melihatnya secara diam diam.

"Pada asik ngomongin Gunung Kemukus, ya ? Tanya Mba wati membuyarkan lamunanku.
"I..iya, mba !." jawabku gugup.
"Kalo kamu mau tau tentang Gunung Kemukus, istriku akan menjelaskannya ke kamu, Jang. Sekarang aku mau ke pasar, dulu. Kamu santai aja, di sini. Dek, aku ke pasar, dulu." Kata Mas Gatot, tanpa menunggu jawaban dariku, dia pergi.
Berdua dengan Wati, membuaku gugup dan jengah, walau kami sudah kenal dan bertetangga cukup lama,. Hampir tiap hari kami bertemu dan bertegur sapa, tapi kami tidak pernah ngobrol berdua seperti sekarang berhadapan.
"Gunung Kemukus itu tempat orang nyari pesugihan tanpa tumbal, untuk melakukan ritual pesugihan di Gunung Kemukus, kita harus datang dengan pasangan selingkuh sebanyak 7x malam jum'at pon. Di sana kita harus zina, agar semua keunginan kita untuk cepat kaya, terkabul." Penjelasan Wati.
"Maksudnya dengan zina, gimana, Mbak? Trus kalo kita zina di sana, beneran bisa kaya, Mba ? " tanyaku.

Memang aku sudah pernah dengar tentang Gunung Kemukus, karna pernah diberitakan di televisi dan beberapa temanku.
"Maksudnya zina, ya ngentot dengan istri orang." Wati menjawab vulgar, bibirnya tersenyum menggoda.
"Mmmmba, pernah ke sana ? " tanyaku gugup.
"Belom pernah, tapi banyak temen mba di klaten, kampungku yang pernah ke sana, banyak mereka yang udah sukses. Makanya aku dan mas Gatot punya rencana ke sana. Tapi masih bingung nyari pasangan ngentotnya. Kamu mau nemenin aku ke Gunung Kemukus ? " tanya Wati, membuat jantungku berdengup sangat kencang.
"Aku dan mas Gatot capek hidup gini gini, aja. Tiap hari Mas Gatot keliling jualan mi ayam, aku keliling jualan jamu, tapi uangnya selalu habis buat makan dan ngirim uang ke kampung buat biaya makan dan sekolah anak anak. Aku pengen kaya, makanya Mas Gatot nyuruh aku ke Kemukus, pesugihan di sana, tidak pake tumbal, cukup ngentot." wati menatapku tajam, bicara tanpa rasa nalu, seolah itu hal yang biasa buatnya atau mungkin karna dia sudah benar benar nekat, pengen nyari pesugihan.
"Dijamin berhasil, gak ?" tanyaku lagi.
"Salah satu diantara kita akan berhasil, yang berhasil harus bantu pasangannya agar mereka bisa sama sama kaya, kalau tidak, yang berhasil akan jatuh bangkrut. Kamu mau ya, nemenin mbak, ke Kemukus? Di sana kita bisa ngentot sepuasnya. ' ajak wati tanpa basa basi membuatku semakin gugup dan tak mampu bicara.
"iiii iya, saaaya pikkkir, dulu." kataku, berusaha menenangkan diri. Akupun pamit, pulang

Sejak, kejadian dan obrolanku dengan Wati, di kontrakan Mas Gatot, aku agak malu setiap kali bertemu Mas Gatot. Seperti mengerti dengan keadanku, mas Gatot meyakinkan aku untuk pergi ke Kemukus dengan istrinya, ahirnya setelah dibujuk bujuk oleh mas Gatot, akupun mau. Pada waktu yang telah ditentukan, tepatnya hari senin kami janjian ketemu di stasion Tanah Abang, sengaja kami tidak berangkat bareng dari rumah, agar tidak ada tetangga yang curiga. Aku tiba terlebih dahulu, 30 menit kemudian Wati datang dengan diantar suaminya, Gatot. Hampir saja aku tidak mengenal Wati karena penampilannya yang jauh berbeda, dengan menggunakan gamis lebar yang menyembunyikan kesintalan tubuhnya dan jilbab warna pink, senada dengan baju gamis yang dikenakannya. Ternyata Wati istri mas Gatot ini kalo sudah dandan, terlihat lebih cantik. Usianya yang menginjak 35 tahun, tertutupi oleh kecantikannya. Mas Gatot menepuk pundakku dan berbisik
"Aku titip istriku ya, Jang. Santai aja, ga usah tegang. Di Kemukus ritualnya nikmat, kamu boleh ngentotin istriku sampe puas, dijamin kamu akan ketagihan memek istriku, bisa empot ayam." lalu Mas Gatot pun meninggalkanku, yang bengong dan wajah merah padam karna malu. Aku kaget, ketika mba Wati menepuk pundakku, menyadarkanku.

"Kita masuk, Jang ; " kata Mba Wati.
Aku mengangguk, mengikuti Mba Wati dengan membawa ranselku dan juga tas pakaian mba Wati, memasuki stasion. Kami harus bergegas memasuki kereta agar dapat tempat duduk. Tidak seperti sekarang, jumlah penumpang disesuaikan dengan jumlah bangku yang ada. Saling berebutan naek kereta agar dapat tempat duduk. Ternyata benar apa yang dikhawtirkan Mba Wati, kami tidak dapat tempat duduk. Terpaksa kami duduk di pintu dekat dengan toilet yang bau. Mba Wati menyuruhku mengunci pintu kereta agar tidak ada yang masuk dan membuat kami terganggu. Kami duduk berdempetan beralaskan koran. Mba Wati tersenyum menatapku, digenggamnya tanganku.
"Tangan kamu dingin, Jang! Jangan tegang, jang. Emang kamu belim pernah ngentot, ya ? "
"Jangankan ngentot, megang tangan perempuan aja, ga pernah, mba." ujarku, mulai tenang.
"Wah, aku beruntung dong, bisa dapet perjaka kamu." Mba Wati mengecup pipiku.
Kereta pun mulai jalan, pelan lalu semakin cepat meninggalkan stasion Tanah Abang. Tubuh kami terguncang, Mba Wati semakin merapatkan tubuhnya, bersandar padaku. Tak lama, Mbak Wati tertidur di sampingku.

Keesokan harinya kami pun tiba di stasion Solo Balapan, lalu kami meneruskan perjalan naek becak ke terminal bis, dari sana kami naek bis jurusan purwodadi. Aku yang tidak biasa dengan perjalanan jauh ditambah selama di kereta tidak bisa tidur, begitu duduk di bangku bis, aku langsung tertidur.
"Jang, Ujang, bangun, sudah mau sampai.!" ujar Mba Wati sambil menggoyangkan pahaku.
Mba Wati menyuruhku minum air mineral agar aku lebih segar. Dalam sekejap, air mineral yang tinggal separuh, habis kuminum. Kami pun turun dari bis, lalu naek ojek ke Gunung Kemukus. Sesampai di lokasi kami langsung masuk ke sebuah warung yang menyediakan kamar kamar untuk menginap.
"Bu, kopinya satu dan teh manis!" kata mba Wati ke pemilik warung. "Ko, sepi, bu ?" tanya mba wati, lagi.
"Di sini ramenya malam Jumat pon dan Jumat kliwon, mbak. Sampeyan dari mana, mbak . sudah brapa kali ke sini ?" tanya pemilik warung.
"Baru skarang, bu. Saya dari Bogor, Jawa Barat. "

Setelah selesai ngopi, kami pun masuk kamar yang hanya berukuran 2 x 2, tanpa ranjang, kasur tergeletak di lantai.
"Kita langsung mandi di sendang Ontrowulan, Jang. Setelah itu kita ziarah ke makam, Pangeran Samudra"
Aku hanya mengangguk, melihat Mba Wati yang mengeluarkan handuk.
"Ga bawa sabun, mbak?" tanyaku heran, melihat sabun yang diletakkan di atas meja, hanya sikat gigi dan odol yang dibawa.
"Mandi kembang ga boleh pake sabun, Jang."
Yang dimaksud sendang, ternyata hanya sebuah sumur di dalam kamar mandi, Mba wati membeli kembang, lalu kami masuk ke dalam bilik kamar mandi, tempat sendang ontrowulan.

Aku melotot kaget saat Mba Wati dengan cueknya membuka seluruh pakaiannya hingga bugil, buah dadanya yang besar dan kendor dengan pentilnya coklat kehitaman terlihat indah. Memeknya yang tanpa jembut, terselip di pangkal pahanya, mungkin jembutnya selalu dicukur.
"Jang, jangan melotot, buruan buka baju, kita mandi." Mba Wati menarik kaos yang aku kenakan, terlepas dari badanku melewati kepala.
Dengan tergesa gesa mba watipun membuka celanaku, seperti seorang ibu yang menelanjangi anaknya yang nakal dan gak mau mandi. Aku benar benar pasrah, terkesima dengan tubuh bugil wanita yang baru sekarang aku lihat. Bahkan aku tidak sadar saat celana dalamku pun terlepas.
"Jang, kontol kamu gede amat!" ucap Mba Wati mengagetkanku. Reflek aku menutup kontolku yang sudah ngaceng.
"Gak usah ditutup, Jang. Bentar lagi kontol kamu masuk memekku, nanti malah kamu yang pengen selalu bugil, di depanku. Hihihi" mbak Wati tertawa geli.

Setelah mandi, kami berjalan menaiki tangga menuju makam Pangeran Samudra yang terletak di atas bukit. Sekali lagi kami harus membeli kembang dan menyan. Kembang dan menyan kami serahkan ke kuncen.
"Nama dan kamu, mba ?" tanya kuncen ke mba Wati.
"Wati binti ...!" mba Wati menjawab.
"Kamu ? " kuncen menoleh ke arahku.
"Ujang bin Jalu" aq menjawab lirih, bau menyan begitu tajam membuatku merinding, dan semakin merinding saat kuncen membaca mantra.
Kulihat Mba Wati menundukan wajah dengan khusuk. Selesai membaca mantra, kuncen memberikan kembang yang sudah diasapi menyan, menyuruh kami masuk ke dalam cungkup makam. Hanya kami berdua di dalam cungkup, bersila dan berdoa dengan khusuk agar semua keinginan kami terkabul. Keheningan itu pecah saat Mba Wati terisak lirih, air mata mengalir di pipinya yang cuby dan mulus, tanpa sadar, akupun ikut menangis. Teringat dengan nasibku, umur 8 aku sudah menjadi yatim, umur 15 tahun, aku sudah harus memberi nafkah ibu dan adikku, membiayai sekolah adikku. Suara isak kami seperti mantra yang mengetuk alam ghaib, menghiba agar semua hajat kami terkabul. Kami bersujud tanpa sadar, dahi kami menyentuh marmer makam yang dingin, semua tangis dan kesusahan yang dialami semuanya, seakan tertumpah saat itu. Ahirnya kesadaranku pulih, saat Mba Wati mengguncang pundakku, tersenyum dengan mata yang sembab.

Tanpa bersuara kami meninggalkan makam Pangeran Samudra, menuju kamar penginapan, walau tidak pantas dusebut penginapan, hanya bilik kamar berdinding triplek yang temaram tanpa jendela. Kami berjalan menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan. Ritual selanjutnya akan dimulai, tanganku menggenggam erat tangan Mba Wati, sebentar lagi aku akan merasakan kenikmatan yang sebenarnya. Sampai kamar, Mba Wati memesan kopi pahit, kopi manis, susu dan air putih. Piring kosong untuk tempat bunga, semuanya diletakkan di meja. Dari dalam tas, Mba Wati mengeluarkan lisong, rokok klobot dan juga daun sirih.
"Untuk sesaji, " kata Mba Wati menjelaskan, melihat tatapanku. Senyumnya tidak lepas dari bibir mungilnya.
Kemudian Mba Wati membuka jilbab dan baju gamisnya, sekali lagi aku melihat tubuh bugilnya yang menurutku sangat sexy. Walau agak gemuk, tapi payudaranya yang besar seperti pepaya, perutnya yang berlemak dan pinggulnya yang besar, kembali membuat kontolku ngaceng sempurna.
"Jang, jangan diliatin terus. Kamu juga buka baju." kata Mba Wati sambil mencium pipiku.
Tidak perlu disuruh 2x, aku melucuti pakaianku hingga bugil.
"Jang, kontol kamu gede dan panjang, berapa panjangnya, Jang ? " Mba Wati menggenggam kontolku.
"Kita sila berhadapan, Jang. Kita baca mantra dulu sebelom kita ngentot, kamu ikut bacaan Mba, ya!"
Aku menggangguk, dan mulai mengikuti bacaan Mba Wati, walau aku tidak bisa kosentrasi.

Bagaimana aku bisa kosentrasi, bila dihadapanku ada wanita manis yang bersila bugil, dengan kedua tangan kami saling berpenganggan. Beberapa kali aku salah mengucapkan mantra dan harus diulang lagi, ahirnya mantra selesai dibaca.
"Jang, kamu telentang. Mba mau nyepong kontol kamu dan minum pejuh kamu sebagai sarat pesugihan."
Seperti kerbau dicocok hidung, aku tidur telentang, Mba Wati mulai mencium bubirku dengan ganas. Sekaligus menjadi ciuman pertamaku, rasanya tak bisa aku gambarkan. Sementara pentil dadaku diplintir lembut, geli dan nikmat. Lalu ciuman Mba Wati turun ke leherku, aku terkikik geli, turun ke puting dadaku, menggigit pelan. Mak, bulu kudukku merinding, nikmat skali. Sementara kontolku diremas lembut.
"Mba, enak." gumamku.
Aku yang hanya seorang pemula, hanya bisa pasrah dan pasif menerima perlakuan wanita dewasa yang merangsang titik titik sensitifku. Mba Wati begitu lihai mempermainkanku yang pasrah seperti boneka, diam dan mendesis nikmat.

"Kamu benar benar perjaka tingting, ya Jang ? Mba Wati menatapku sambil tersenyum. Tangannya terus membelai kontolku yang sudah sangat tegang. "Panjang kontol kamu, brapa Jang ?"
"19 cm, mba." ya ¹8 cm, karna aku pernah iseng iseng ngukur kontol dengan penggaris, cuma aku gak tau, brapa diameternya. Cuma lebih gemuk dibanding kontol teman temanku. Karna sering mandi di sungai kalo di kampung, makanya kami suka iseng ngukur kintol siapa paling besar dan panjang." Aku menahan nafas, saat Mba Wati menjilati kepala kontolku, geli geli nikmat, tubuhku semakin merinding, terlebih saat kontiku mulai diemut mulut Mba Wati, kontiku terasa hangat dan basah.
"Mba, aduh !!" aku benar benar melayang, untuk pertama kalinya kontolku diemut wanita, rasanya sulit diucapkan.
Mba Wati begitu lihai memompa kontolku di mulutnya sambil dihisap hisap. Kadang kepala kontiku dijilati lidahnya yang hangat. Aku tidak mampu menahan hentakan kenikmatan, ini. Magma yang terpendam sudah sampai puncaknya. Ini pengalaman pertamaku, wajar kalo aku tidak bisa tahan lama.

"Mba, aku mau keluar.....!!!" ujarku.
Mba Wati malah semakin menghisap kontolku yang menembakan pejuh dengan derasnya. Tanganku mencengkram kasur, tubuhku mengejang nikmat, tanpa dapat aku tahan, menjerit lirih mengiringi puncak orgasme. Nikmatnya melebihi orgasme saat onani. Aku terhempas lemas, mataku menatap sayu melihat mba Wati yang terus menyedot kontolku. Perlahan rasa nikmat berganti ngilu.
"Mba, udah. Kontolku ngilu." mba Wati menatapku, senyumnya membuat wajah cubynya semakin manis. Ditelannya spermaku.
"Mba, ko pejuhku ditelen ? " tanyaku heran.
"Inikan sarat ritual." ujar Mba Wati.
Suara mba Wati terdengar samar, tubuhku sudah terlalu lelah, hanya tidur 1 jam, ditambah orgasme yang aku alami membuatku lemas seperti tidak bertenaga. Akupun tertidur.
"Och, nikmat Jang, kontol kamu gede, panjang dan keras banget. Memek mbak, enak." Mba wati terus memacu kontol dengan liar.
Dengan posisi WOT, membuatnya begitu leluasa memacu kontolku. Rambutnya yang panjang, kusut, tubuhnya basah oleh keringat, membuatnya terlihat cantik dengan penerangan lampu yang temaram. Toketnya yang besar ikut bergoyang, dengan gemas aku meremasnya. Begitu kenyal dan hangat.

Tiba tiba aku terbangun dari mimpiku, aku merasa kontolku seperti keluar masuk lobang sempit yang lunak, lembut, hangat dan basah. Ada yang menindih tubuhku. Betapa terkejutnya aku saat melihat Mba Wati sedang asik jongkok di atas kontolku. Tubuhnya naek turun dengan liar ternyata yang aku impikan tadi, ternyata nyata.
"Mba Wati !!!"
"Ahirnya kamu bangun juga, Jang. Dari tadi Mba ngentotin kamu, gak bangun bangun, juga." mba Wati tersenyum, sambil terus memacu kontolku.
"Jang, mba keluar lagi" teriak mba Wati. Memek Mbak Wati berkedut kedut meremas kontolku. "Mba, cape jang. "
Setelah orgasmenya selesai, mba Wati tersenyum menatapku, kontolku masih tertanam di dalam memeknya. Mba wati mencium bibirku dengan lembut, lalu merebahkan tubuhnya d sampingku.
"Mba, aku belom keluar !" protesku.
"Ya udah, masukin lagi kontol kamu ke memek, mba. Gantian kamu yang diatas." kata mba Wati. Pahanya mengangkang.

Aku segera menindih tubuh Mba Wati yang reflek meraih kontolku, agar posisinya pas dilobang memeknya. Secara naluri, aku menekan kontolku masuk memek Mba Wati.
"Mba, memeknya enak." ujarku parau.
"Kontol kamu juga, enak banget, mba udah keluar 3x, ayo Jang, entot lagi memek mba, keluarin pejuh kamu di memek, mba."
Akupun memacu kontolku dengan ganas, membombabir memek Mba Wati yang memelukku erat. Bibir kami saling berciuman dengan ganas. Seperti tidak mau kalah, pinggul mba Wati ikut bergoyang menyambut kontolku, hingga ahirnya Mba Wati tiba tiba menggigit dadaku, pada saat itu pula aku merasakan kontolku kembali memuntahkan pejuh yang banyak menyirami memek mba Wati.
"Aku keluar, mbak "
"Iya Jang, mbak juga keluar."
Kami berpelukan setelah selesai mengayuh birahi yang melelahkan dan penuh kenikmatan. Aku dapat mencium aroma rambut Mba Wati yang lembut.

"Mba, Mas Gatot kok, bisa ngijinin Mba ritual pesugihan ?" tanyaku penasaran.
"Karna pengen cepet, kaya." jawab Mba Wati, singkat.
"Och.! "
"Kamu hebat, Jang. Kontol kamu selain besar dan panjang, juga keras banget waktu ngaceng." mba Wati menggenggam kontolku dengan lembut. Otomatis kontolku beraksi, mulai mengeras lagi.
"Idih, kontolmu mulai bangun lagi, tuch. " mba wati tertawa senang merasakan kontolku yang mulai keras.
"Tadi juga waktu kamu abis mba sepong, kamu langsung tidur, padahal Mba lagi sange banget. Iseng Mba maenin kontol kamu, ech langsung tegang lagi. Y udah mba entotin kamu sampe mba keluar 4x, baru kamu ngecrot. Trus Mba ikutan tidur, pas bangun, mba liat kontol kamu udah ngaceng lagi, padahal kamu masih tidur, ya udah mba entotin lagi kontol kamu, sampe kamu bangun. Hihihi."
"Mba nakal banget, aku lagi tidur, mba entotin 2x. Ngomong ngomong aku tidur lama juga, y ?" tanyaku.
" iya, dari jam 2 bangun jam 8, kamu gak lapar, Jang ? Kita makan dulu,yuk ! Mba udah kelaparan, abis makan kita ngentot lagi." mba Wati bangun, lalu memakai kaos tangan panjang dan celana panjang, tanpa memakai BH dan CD.

Akupun segera berpakaian, kami lalu keluar kamar, di warung ada 2 wanita muda yang asik ngobrol dengan ibu pemilik warung.
"Wah, pengantin baru sudah keluar, hihihi". Ujar wanita paling muda mengoda kami.
Aku hanya tersenyum, jengah menghadapi godaannya. Aku menatap wajah gadis itu, cantik juga. Ada lesung pipi di ke dua pipinya saat dia tersenyum.
"hus, kamu ini, Lastri." kata ibu warung. "Mau ngopi, apa makan, mas ? " tanya ibu warung kepadaku.
"Kopinya satu, teh manis dan makannya skalian," Mba Wati menjawab.
Kamipun makan dengan lahapnya, setelah ritual nikmat yang melelahkan. Bahkan, aku sampe nambah lagi. Maklum perut kuli, biasa makan banyak. Mba Wati, ikut nambah. Wah, ini cewek makannya banyak, pantesan gemuk. Pipinya yang cuby, begitu menggemaskan. Beruntung diusia ke 21 aku bisa merengkuh kenikmatan dengannya. Guru mesum yang baik. Setelah selesai makan, kami duduk di teras depan, beberapa warung masih buka, suara musik dangdut terdengar, menghilangkan kesan sakral Gunung Kemukus.

"Dingin,!" mba Wati semakin merapat ke tubuhku, mencari kehangatan. Tangannya menggenggam tanganku dengan, erat.
"Iya,!" perlahan kontolku mulai bangkit, kembali.
Membayangkan kenikmatan lobang memek, mba Wati yang kata Mas Gatot suaminya, empot ayam. Aku masih malu ngajak Mba Wati masuk, kamar. Padahal kontolku udah ngaceng.
"Ich, kontolmu udah ngceng lagi" bisik Mba Wati, melihatku agak membetulkan celana yang sesak. Tangannya menyentuk kontolku.
"Masuk, yuk." mba Wati menarik tanganku.
"Wah, udah mau mulai lagi, nich ?" goda wanita muda yang kudengar dipanggil, Lastri.
"Iya, donk. Baru juga 3x" balas Mba Wati, cuek.
"Wah, bisa kecet tuch lobang, kalo disodok sampe pagi. Hahahah." ibu warung ikut ikutan menggoda, kami. Aku hanya menduk, malu.
"Ya, enggak, donk. Kan udah basah.." mba Wati menjawab sambil tertawa.
"Wah, enak donk disodok sampe pagi. Aku udah 3 malam gak ada yang, nyodok. Padahal udah sange, nich. Hihihi." Lastri nyamber seperti, beo.
"Hus, Lastri. Kamu ini." ibu warung tertawa mendengarnya.

Sampai di kamar terdengar Lastri berkata, "Mbak'e, kalo lagi entot volumenya dikecilin, nanti ada yang pengen." disambut suara tawa dari yang lainnya.
"Mbak, jangan marah ya, Lastri biasa becanda, jangan dimasukin hati." kata ibu warung menimpali.
"Gak apa apa, Bu. Saya juga biasa becanda. Kalo Lastri, pengen. Suruh aja masuk, kita gabung. Hihihi." kata mba Wati.
Selesai bicara, Mba Wati langsung mendorongku rebah di atas kasur, tubuhnya menindihku, bibirnya rakus mengulum bibirku, lebih ganas dari yang tadi. Naluriku, menuntun tanganku meremas pantatnya yang besar. Begitu kenyal dan padat pantat Mba Lastri. Dan instingku pula yang mendorong tanganku meraih baju yang dikenakan Wati, menariknya lepas dari tubuh montok yang menggiurkan. Aku bangkit, memangku Mba Wati, menggapai toketnya yang besar, dengan rakus aku menghisap pentilnya yang besar, rasanya biasa saja, tapi ada kesenangan sendiri membuat Mba Wati menggelinjang kegelian, dan tangannya menekan kepalaku ke toketnya yang kenyal. Dan aku semakin rakus menghisap seperti bayi, namun tak ada setetespun ASI yang keluar dari dalamnya.
"Jang, enak. Terus isep, sayang. Kamu makin pinter aja."

Bosan dengan toketnya, kugulingkan tubuh montok Mba Wati terlentang. Kubuka celana mba Wati, hingga memeknya yang tidak berbulu terlihat menggairahkan, hitam dan bergelambir. Perlahan aku menyentuh memek Mba Wati, menguakkannya, agar bisa melihat bagian dalam yang telah memberikanku sejuta kenikmatan. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, karna penerangan lampu yang temaram.
"Jang, jangan diliatin aja, jilatin memek, mba!" protesnya, mengagetkanku yang begitu terpesona dengan keindahan memeknya.
Perlahan kudekatkan wajah ke memeknya, tercium bau aneh, bukan bau pesing. Ini bau yang asing, apa ini yang dibilang bau, memek? Perlahan kujulurkan lidah, menjilat bibir memek yang tembem, rasanya aneh, entah kenapa aku malah suka dengan rasanya. Kukuakkan memeknya agar lidahku bisa menjilati bagian dalamnya, nikmat. Baunya semakin membuatku bergairah. Lidahku semakin aktif menjilati lendir memek mba Wati.
"Jang, enak banget, trus Jang....!" mba Wati menekan kepalaku.
Akupun semakin bernafsu menjilat dan menghisap memeknya, permainan baru yang sangat mengasikkan. Apalagi memek mbak Wati semakin basah, cairan yang keluar semakin banyak, jariku mulai aktif, masuk lobang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan.

"Udah, Jang. Mba, gak kuat. Entot mbak, skarang." rintih mba Wati, tanpa perduli suaranya akan terdengar oleh orang di warung.
Akupun sudah tidak sabar nyodok memek mbak Wati, segera kubuka celanaku, membebaskan kontolku dari sangkarnya.
"Mba, sepong dulu." kusodorkan kontolku ke wajahnya. Mba Wati langsung mencaplok kontolku dengan rakus.
"Aw, nikmat Mba." untuk kedua kalinya kontolku disepong, Mba Wati dengan rakus. Sayangnya sepongan Mba Wati hanya sebentar, dia udah ga sabar pengen dientot.
"Udah, jang. Entot memek, mba." Mba Wati memohon.
Akupun mengarahkan kontolku, Mba Wati semakin melebarkan pahanya, tangannya mengarahkan kontolku di pintu masuk memeknya. Perlahan kontolku masuk ke dalam lobang memek yang sudah sangat basah, dindingnya begitu lunak, lembut dan hangat bergesekan dengan kepala kontolku yang sensitif. Nikmat sekali.
"Jang, kontol kamu enak banget......!"
"Memek Mba juga, enak." ujarku sambil ngocok memeknya dengan lembut, menikmati setiap gesekannya.
Kadang aku mengeluarkan kontolku, dan menusuknya kembali membuat mba Wati menjerit, karena birahinya aku permainkan. Dan ternyata hal itu membuat Mba wati bertahan lama, tiba tiba dia memelukku dan mencium bibirku denhan ganas.

"Jang, Mba keluar....aaaaaaaah,..!" tangannya memelukku erat dan pahanya membelit pinggangku hingga kontolku terbenam semuanya, kurasakan memeknya berdenyut denyut memijit kontolku.
"Jangan digoyang, dulu..... Mba, keluar..." kurasakan pelukannya mengendur, nafasnya agak tersengal sengal. "Jang, gantian, mba yang di atas.
Akupun menggulingkan tubuhku, telentang di sampingnya. Mba Wati segera menaiki tubuhku dan mengenggam kontolku, setelah dirasa pas, mba Wati nenurunkan pinggulnya, mendorong kontolku memasuki memeknya. Perlahan, mba Wati menaik turunkan tubuhnya, bibirnya tersenyum, menatapku sayu.
" kamu pinter ngentot, Jang!" kata mba Wati, tubuhnya menindihku, bibir mungilnya mencium bibirku, kamipun berciuman. Sementara pinggulnya bergerak semakin cepat mengocok kontolku.
"Kan, mba Wati yang.ngajarin" ujarku setelah ciuman yang panjang.
"Aduh, Jang.!! Mba mau keluar lagi. Aaaaach," tubuhnya mengejang, menyambut orgasme ke duanya.
"Mba, kok cepet banget, keluarnya?" tanyaku heran. Sedang menurut cerita, orang bisa ngentot lama sebelom, orgasme.
"Abis, kontol kamu enak, Jang. Kamu blom keluar, y?" Mba Wati tersenyum, menatapku sayu.
"Belom, Mba. Aku pengen bisa ngentot 1 jam kaya cerita cerita." kataku lugu.
"Hahaha, kamu kebanyakan baca cerita porno sama film liat bokep, mana ada ngentot satu jam baru keluar. Bisa patah sakit kontolmu karna gak orgasme orgasme. Aku pengen ngerasain dientot sambil nungging, Jang." mba Ratih langsung nungging disampingku.
"Ayao, Jang. Entot memekku dari belakang."

Akupun berdiri dengan lutut, mengarahkan kontolku ke memek Mba wati, dengan mudah kontolkuku masuk. Dengan posisi seperti ini, gerakanku terasa kaku, mungkin karna pengalaman pertamaku. Tapi rasanya lebih nikmat, karna memek Mba Ratih lebih berasa.
"Mba, aku gak tahan, mau ngecrot...!" ucapku lirih, dan sebisa yang aku bisa, kupercepat kocokanku untuk bisa meraih orgasme ke 3 ku.
"Iya, Jang. Mba juga mau keluar lagi......" kata mba Wati.
"Aku keluar, mba,, aaaaaach..." kontolku menembakan pejuh ke memek Mba Wati.
"Jaaaaang, akuu juga keluar....! " teriak mba Wati.
Hening, perlahan aku mencabut kontol. Mba Wati mendesah saat kontolku terlepas dari cengkeraman memeknya. Tubuhnya ambruk tengkurap. Akupun merebahkan tubuhku di sampingnya. Mba Wati membalikkan tubuhnya, telentang. Wajahnya menoleh ke arahku, tersenyum puas. Lalu matanya terpejam, nafasnya terdengar halus teratur. Tidak lama, terdengar dengkur halus Mba Wati yang tertidur. Mba Wati pasti kecapean, sehabis menempuh perjalanan jauh dari Bogor sampe Kemukus, ditambah ngentot beberapa x denganku. Kuambil sarung dari tasku, untuk menyelimuti tubuh bugil, Mba Wati.

Selesai menyelimuti Mba Wati yang tertidur pulas, aku bangun dan memakai pakaian. Mulutku terasa asem, ingin merokok. Perlahan aku membuka pintu pelan pelan, takut membangunkan Mba Wati yang tertidur. Di warung, tinggal Lastri duduk sendirian, entah ke mana temannya dan Ibu warung.
"Ko sendirian, Mbak? Yang lain pada ke mana?" Tanyaku sekedar basa basi.
"Bu Marni, paling juga tidur, kalo Mba Sri ke karoeke di sana, nyari mangsa, hihihi." katanya. Matanya menatapku penuh selidik. "Kok, kamu keluar sendiri? Mbak'enya gak ikut keluar ?"
"Udah, tidur. " kataku.
Akupun duduk di samping Lastri, duduk di teras. Aku menyalakan rokok yang sejak tadi terselip di jari.
"Mbak'e kecapean ritual nikmat, y ! Suaranya kenceng banget." kata Lastri.
Emang kedengeran sampe, sini ?tanyaku, bodoh.
"Ya, kedengeran, kan dindingnya triplek. Mbak'e sepertinya keenakan, banget. Emang kamu kenal d mana?"
"Kami tetangga di, Jakarta. Suami mba Wati teman satu tempat kerja, jualan mie ayam keliling. Kalo Mba Wati, jualan jamu gendong." aku menerangkan.
"Suaminya tahu gak, kalian ke Gunung Kemukus, ?" tanya Lastri.
"Tau, malah suaminya yang nyuruh, pengen cepet kaya, katanya. Mbak sendiri, dari mana ? Pengen cepet kaya, juga ?"

Hening, Lastri mempermainkan jemarinya, gelisah. Entah apa yang dipikirkannya.
"Jangan panggil, Mba. Umurku baru 18 tahun. Namaku Lastri, aku dari Semarang. Sudah 18 bulan aku di sini."Lalu, Lastri mulai bercerita. "Aku diperkosa oleh 5 orang temanku sampe aku hamil, ortuku marah waktu tau aku hamil, aku diusir dari rumah. Untung aku ketemu suami istri yang gak punya anak, mereka nampung aku, sampe melahirkan. Anakku diadppsi oleh mereka." katanya.
Trus, ?" tanyaku, penasaran.
"Aku denger cerita dari mereka tentang Gunung Kemukus dari mereka, mereka dulu pernah ritual di sini, sampe usaha mereka sukses, makanya akupun tadinya ke sini karna mau ritual. Aku dianter sama bapak yang nampung, aku selama hamil. Tiga x Jum" at Pon aku ritual sama dia, tapi ahirnya aku mutusin tinggal di sini, waktu bapak itu ngajak aku nikah, jadi istri mudanya, aku gak mau menghianati istrinya."

Hening, aku iba dengan nasib Lastri, gadis muda yang harus mengalami nasib buruk, padahal wajahnya cukup cantik apalagi lesung pipit di ke dua pipinya membuatnya semakin cantik saat tersenyum dan tertawa, kulitnya putih dengan tubuh mungil, mungkin dia primadona di sini.
"Kamu cantik !"
"Tapi, nasibku jelek. Tubuhku cuma jadi tempat pemuas birahi, aku mau pergi dari sini, tapi gak tau, mau ke mana.?"
Kata birahi membuatku kembali terangsang, membayangkan tubuh mungil Lastri bugil. Kontolku ngaceng sempurna, terlihan mengacung di balik celana training yang aku pakai, karna di baiknya aku tidak pake celana dalam.
"Idih, kontol kamu, ngaceng..!" ujar Lastri tertawa. "Hayo, kamu ngebayangin ngentot aku, y ?"
"Iiiya,,,! " jawabku gugup, "tapi aku gak punya, uang. Aku ke sini Mba Wati yang nanggung biayanya" kataku jujur.
"Kontol kamu panjang, amat !" Kata Lastri, tangannya masuk celana trainingku, menggenggam kontolku. "Idih, udah panjang, gede lagi. Keras amat kontol, kamu.
"Kamu mau gak ngentotin aku? Buat kamu, aku kasih gratis. Soalnya aku pengen ngerasain ngentot dengan anak muda, biasanya yang ngentot denganku bapak bapak semua. Aku cuma melacur, gak bisa menikmatinya. Aku blom pernah orgasme." Lastri bangun menarik tanganku
"Las, ati ati, jangan ketauan Mbaknya." entah sejak kapan Ibu pemilik warung sudah ada di dalam warung."Di kamarku aja, biar gak kedengeran." lanjut ibu Pemilik warung.

Lastri hanya mengannguk, mengajakku masuk kamar yang tepat berada di samping pintu masuk warung. Tanpa pemanasan, Lastri membuka semua pakaiannya hingga bugil, membuatku terpesona dengan keindahannya.
"Buruan, buka bajunya, Mas. Nanti Mbanya keburu bangun." dengan tidak sabar Lastri menarik celana trainingku, dengan lahap dia mengulum kontolku yang sudah ngaceng.
Berbeda dengan Mba Wati yang begitu piawai nyepong kontolku. Sepongan Wati terasa kaku, kontolku sering mengenai giginya, mengurangi tasa nikmat.
"Jangan kena gigi, Las !" kataku.
Lastri langsung berenti, tersenyum, menatapku. "Aku gak pernah nyepong kontol. Ngeliat kontol kamu bikni aku horny, pengen nyobain. " katanya lugu.
"Ya udah, kamu telentang, aku jilatin memek kamu, aja." Lastri menganngguk, terlentang siap menerima servisku.

Memek Lastri berbeda dengan memek Mba Wati yang bergelambir dan hitam. Memek Lastri hanya bergaris tipis dan itilnya muncul sedikit. Putih dan berbulu halus. Akupun mencium aromanya yang lebih lembut, berbeda dengan memek Mba Wati yang tajam. Saat kubuka belahan memeknya, warnanya lebih merah. Akupun mulai menjulurkan lidah, menyapu dindingnya asin, tapi entah kenapa aku jadi ketagihan menjilati memek. Naluriku mendorongku menjilatinya dengan rakus. Ach, ini bukan lagi sekedar Ritual Pesugihan, tapi ritual birahi yang ingin dituntaskan. Tidak kuperdulikan erangan Lastri yang menjambak rambutku, tidak aku perdulikan lagi, apa yang dirasakan oleh gadis itu. Aku lebih asik dengan nafsuku sendiri, menjilati dan menyeruput cairan memek yang sangat nikmat.
"Mas, udaah mas, entot Lasssstrii. Och, Lassstri kel....luar" teriakan gadis cantik itu begitu indah, membuat ritual ini menjadi semakin panas.
Aku mulai merangkak di atas tubuh gadis, itu. Melihat dadanya yang sekal dan imut, aku tergoda untuk meremas dan menciuminya. Pentilnya aku hisap lembut dan sekali kali aku gigit pelan pelan.
"Udah, mas. Buruan entot Lastri. Nanti Mbaknya keburu bangun" Lastri merih kontolku dan mengarahkan ke memeknya.
Aku menekan lembut, memek Lastri sudah basah, kontolku dengan mudah masuk.
"Achh, Mas. Ganjel amat, kontol Mas gede."

Perlahan aku menggerakan kontolku, meresapi gesekan dinding memek Lastri yang hangat, lembut dan sempit. Benar benar nikmat memek gadis muda ini, walau aku tahu, sudah berapa puluh kontol yang masuk ke dalamnya, tapi rasa dan sensasinya masih membuatku merintih nikmat.
"Mas, ko beda banget rasanya ?" kata Lastri, yang entah sejak kapan menggerakkan pinggulnya naek turun menyambut hentakan kontolku.
"Jelas beda, Las. Kamu waktu entot sama tamu, gak pake hati dan melakukannya denga terpaksa. Sekarang kamu entot dengan hati, makanya uenak..! " sahut ibu warung yang rupanya mendengar obrolan kami di sela sela mengayuh birahi.
"Idih, Bu Tun, nyamber aja kaya bensin. Massss, aduhhh, ennakk. Las, gak tahan lagi, mau mau keluar." erang Lastri terengah engah.

Tiba tiba gadis mungil ini tubuhnya melenting, tangannya mencengkeram kasur menyambut orgasmenya.
"Jang, Ujang, kamu di mana ?" suara Mba Wati memanggilku dari kamar kami menginap.
Aku terkejut, segera kucabut kontolku dan buru buru keluar kamar.
"Iyaaa, mbak. Aku lagi ngerokok di depan." jawabku dengan nafas tersengal sengal karna kaget. Aku berusaha mengatur nafas dan membakar sebatang rokok agar Mbak Wati tidak curiga.
Tidak lama Mba Wati keluar dengan hanya mengenakan sarungku.
"Jang, anter Mba pipis. Loh ko, blom tidur, Bu ?" sapa Mba Wati menyapa Ibu Warung yang tersenyum geli.

Jam 10 pagi aku terbangun, kulihat Mba Wati duduk sambil menyisir rambutnya yang panjang dan basah. Yang menarik perhatianku, Mba Wati masih bugil, tercium aroma sabun dan sampo. Pasti Mbaaa Wati habis mandi. Aku menggeliat, iseng aku meraih toket jumbo Mba Wati dengan gemas, membuat Mba Wati terpekik kaget. Belom hilang rasa kaget Mba Wati, aku sudah mencaplok pentil toketnya, dengan rakus aku menghisapnya.
"Ujang, bangun tidur kok langsung nyusu ? Mandi dulu, sana...!" protesnya tidak sesuai dengan kenyataan. Tangannya malah menekan kepalaku semakin terbenam di toketnya.
"Habis Mba juga, sich. Aku bangun tidur disuguhin susu Mba yang indah." kataku.
"Ya udah, sana kamu mandi dulu." katanya sambil menyodorkan handuk dan plastik berisi sabun, sikat gigi, odol dan sampo.
Aku beranjak malas, berjalan ke kamar mandi. Di depan kamar mandi aku berpapasan dengan Ibu pemilik warung. Aku tersenyum menyapanya.

"Kasian dech, kamu. Gagal ngecrot di memeknya ,Lastri." bisik Ibu pemilik warung sambil meninggalkanku yang tersipu malu.
Belum sempat aku mentup pintu kamar mandi, tiba tiba Lastri muncul, nyerobot masuk kamar mandi.
"Sek, aku kebelet pipis." katanya, tanpa risih membuka celana di depanku, lalu jongkok. Serrr, suara air kencing keluar dari memek Lastri.
"Kamu gak malu, kencing di depanku ?" tanyaku.
"Gaklah, kan semalam kamu udah ngentot memekku..." katanya cuek.
"Iya, tapi aku blom ngecrot. Memek, kamu."
Lastri hanya tertawa kecil, selesai membersihkan memeknya, dia mencium bibirku sebentar, lalu keluar meninggalkanku, bengong di kamar mandi. Selesai mandi, badanku terasa segar. Di kamar Mba Wati sudah berpakaian lengkap, mengenakan kaos lengan panjang warna biru dan celana panjang jins, ketat mencentak tubuh montoknya terlihat jelas. Rambutnya yang panjang, dibiarkan tergerai. Membuatnya terlihat lebih cantik alami tanpa polesan.

Selesai berpakaian, kamipun keluar kamar, ke depan. Ibu Warung sedang asik ngobrol bisik bisik dengan Lastri, entah apa yang nereka bicarakan.
"Kopi, teh manis dan sarapan ya, Mbak ? Tanya Ibu warung ke Mbak Wati. Matanya melirikku sambil tersenyum.
Iya, Bu." jawab Mba Wati sambil menarikku duduk di sampingnya, di kursi kayu panjang.
"Abis sarapan kita jalan jalan liat, waduk, ya!" kata Mba Wati. Tangannya memeluk pinggangku.
"Jang, dari tadi kamu liatin Lastri terus ? Pengen, ya" goda mba Wati berbisik.
"Eng enggak, ko Mba" kataku gugup.
Mba Wati hanya tersenyum mendengar suaraku yang agak gugup. Tidak banyak yang kami obrolkan selama sarapan. Kami lebih asik dengan menu sarapan, nasi yang masih hangat, orek tempe, sayur sop dan ikan goreng yang katanya hasil tangkapan dari waduk yang mengelilingi Gunung Kemukus.

Saat kami asik menyantap makan, datang 2 orang yang langsung duduk di hadapan kami. Kami terkejut, karna kami mengenal keduanya. Tidak salah lagi, wanita berjilbab pink dan gamis yang juga pink itu adalah Teh Lilis dan Suaminya Pak Budi tetangga kami 1 RT di Jakarta. Teh Lilis dan suaminya juga tampak terkejut melihat kami, beberapa saat kami hanya saling pandang tidak percaya dengan pertemuan di Gunung Kemukus, tempat ziarah mesum yang sudah sangat terkenal.
"Loh, Mba Wati, Ujang kalian di sini ?" tanya Pak Budi yang sudah bisa mengendalikan diri dari keterjutannya.
"Iya, pak. Kami lagi ziarah." kata Mba Wati, pelan. Malu rasanya kepergok di tempat seperti ini.
Teh Lilis menunduk malu, wanita yang kukenal alim dan aktif di pengajian. Wanita yang cantik dan anggun yang selalu mengenakan jilbab. Kecantikan khas wanita priangan dengan kulitnya yang kuning langsat.
"Dari kapan kalian di sini?" tanya Pak Budi, lagi.
Dari kemarin, Pak " kata Mba Lastri yang sudah kembali tenang.

Toch Pak Budi dan istrinya ke sini juga pasti mau ritual juga. Jadi, buat apa harus malu. Yang jadi pertanyaan, kenapa Pak Budi datang dengan istrinya? Kan menurut keyakinan, ritual sex harus dilakukan dengan pasangan tidak sah.
"Bu, masih ada kamar kosong ?" tanya Pak Budi ke Ibu Warung.
"Masih, Pak. Mari saya anter." jawab Ibu Warung.
"Mba, Jang, aku tinggal sebentar, ya !" kata Pak Budi mengambil tas berisi baju, diikuti Teh Lilis sambil melemparkan senyum kepada kami.
"Mbak, kok Pak Budi sama Teh Lilis juga ke sini, ya? Kan mereka udah kaya ya, menurut ukuran kami, Pak Budi sudah cukup kaya, kehidupan mereka terlihat berlimpah. Hanya kekurangan mereka itu belum dikaruniai anak.
"Mungkin pengen lebih kaya lagi, Jang. " jawab Mba Wati.
"Tapikan mereka suami istri, kata Mba, Ritualnya harus bukan dengan suami, istri?"tanyaku, bingung.
Belum sempat Mba Wati menjawab, Pak Budi muncul memanggil, kami.
" Mba Wati, Ujang, kita ngobrol di kamar dulu, yuk !"

Aku menoleh ke Mba Wati, Mba Wati mengangguk, lalu kami mengikuti Pak Budi masuk kamar. Kulihat Teh Lilis duduk bersender dinding triplek.
"Begini, Mbak, kami ke sini belom punya pasangan ritual, gimana kalo kita tukeran ?" tanya Pak Budi.
"Maksudnya, Pak ?" tanya Mba Wati, bingung.
Aku bisa menebak arah pembicaraan, pak Rudi. Kalo yang dimaksud adalah tuker pasangan ritual, aku dengan Teh Lilis, Mba Wati dengan Pak Budi. Kalau hal itu benar, aku akan jadi pria paling beruntung bisa ngentot wanita secantik Teh Lilis.
"Maksudnya, Mbak jadi pasangan saya, Ujang jadi pasangan Lilis. Kan aturan Ritual Gunung Kemukus harus bersetubuh dengan orang lain. Tadinya kami sengaja datang hari ini, biar besok kami leluasa nyari pasangan. Kebetulan kita ketemu di sini, ya udah kita tukeran aja. Apalagi kita ini tetangga, jadi kalo salah satu diantara kita berhasil, kita bisa bantu pasangan Ritual kita. Jadi lebih mudah." kata Pak Budi, panjang kebar.
"Saya sich, mau aja, Pak" kata Mbak wati, menoleh kepadaku.
"Gimana, Jang ?" pak Budi bertanya padaku.
"Iy, iya, Pak.!" jawabku agak guguk, siapa yang gak gugup dapat durian runtuh, berpasangan dengan wanita secantik Teh Lilis. Kontolku langsung ngaceng.
"Ya sudah, kamu ambil pakaian kamu bawa ke sini, aku pindah ke kamar, Mba Wati. Aku siapin pakaianku dulu, Jang. Selama di sini, Mba Wati jadi istriku dan Lilis jadi istri kamu. Abis ini kita mandi di sendang Ontrowulan dan ziarah ke makam Pangeran Samudra"

Aku dan Mba Wati ke luar kamar menuju kamar yang kami tempati sejak kemarin. Hanya terpisah oleh 2 kamar. Aku mulai memasukkan semua pakaianku ke dalam ransel. Setelah selesai, aku keluar menuju kamar Teh Lilis.
"Jang, titip Lilis, ya !" kata Pak Budi saat kami berpapasan.
Teh Lilih tersenyum menyambut kedatanganku. Kulihat ada susu hangat di meja dan air mineral botol serta roti.
"Duduk dulu, Jang. Teteh minum susu dulu, baru kita ke mandi di Sendang dan ziarah. " katanya sambil meminum susu hangatnya.
"Kamu udah brapa kali ke sini sama Mba Wati, Jang?"
"Baru sekali, Teh. Teteh kan udah kaya, ko masih ke sini ?" tanyaku agak heran.
"Kami sudah 10 tahun nikah, tapi blom punya anak. Padahal sudah semua cara kami coba, tapi sampe sekarang belom hamil juga. Kalo kata dokter, aku dan A Budi sama sama, mandul. Makanya kami ke sini, biar bisa hamil." kata teh Lilis.
"Jang, rencananya Teh Lilis mau ritual sampe malam Jum'at Kliwon. Jadi 9 hari di sini. Kamu mau kan, nemenin Teteh selama di sini ? Semua biaya, Teteh yang nanggung" Teh Lilis menatapku penuh harap.
"Pak Budi, juga sampe Jum'at Kliwin, Teh ? Tanyaku.
"Suami Teteh hari Jum'at pulang. Kan banyak kerjaan. Mau ya, Jang. Nemenin teteh selama di sini.?"
Belum sempat aku menjawab, Pak Budi mengetuk pintu mengajak kami untuk ke sendang Ontrowulan.

Kamipun keluar menuju sendang Ontrowulan, sepanjang jalan berjejer warung warung yang menyediakan kamar kamar untuk menginap bagi para peziarah. Hanya ada satu dua wanita duduk di depan warung. Suasana masih sepi, tapi besok, para peziarah akan datang dari semua penjuru menyambut malam Jum'at Pon, malam yang dianggap paling sakral untuk ngalap berkah, khususnya pelaku pesugihan. Di dekat sendang, Pak Budi membeli 4 bungkus kembang untuk mandi. Kami berempat masuk bilik sendang ontrowulan, walau tadinya Teh Lilis menolak, karna ingin mandi sendiri. Namun Pak Budi meyakinkan untuk mandi bersama sama, karna ini salah satu sarat ritual. Di dalam Mba Wati orang pertama yang melepas pakaian hingga bugil, tidak ada rasa risih sedikitpun mempertontonkan tubuhnya yang montok, payudara jumbonya terekspos membuat mata Pak Budi melotot, takjub. Bagian tubuh Mba Wati yang mencolok adalah payudara jumbonya dan pantat besarnya, maka tidak heran setiap lelaki pasti akan ngiler melihatnya. Pak Budipun ikut ikutan melepas semua pakaiannya. Di usianya yang ke 40, perutnya mulai membuncit. Akupun ikutan melepas pakaianku, mempertontonkan kulitku yang hitam karna setiap hari terjemur matahari. Walau tubuhku kurus, tapi kontolku membuat Teh Lilis menjerit kecil. Mungkin kaget melihat ukuranya.

"Idih, Ujang. Gede amat !!!" Teh Lilis menutup mulutnya.
"Tuh, Lis, kontol Ujang gede. Kamu pasti puas dientot, si Ujang" kata Pak Budi, tersenyum ke istrinya.
Teh Lilis membuang muka karna malu mendengar candaan suaminya. Dengan ragu Teh Lilis membuka pakaiannya hingga polos, dan sekarang aku yang melotot takjub. Ternyata di balik gamisnya yang besar, menyimpan kemolekan tubuh yang nyaris sempurna. Kulitnya kuning langsat, halus tanpa cacat. Toketnya sedang, tidak besar dan juga tidak kecil, perutnya rata tanpa lemak, pinggangnya ramping, pinggulnya bulat dan berisi. Melihat tubuh polos Teh Lilis, kontolku langsung ngaceng sempurna, Teh Lilis melihatnya, takjub.
"Jang, kontol kamu makin, gede."

Ahirnya kamipun mandi, pertama Pak Budi mandiin Mbak Wati, setelah itu Mba Wati yang mandiin Pak Budi. Lalu gantian aku mandiin Teh Lilis dan Teh Lilis mandiin aku. Setelah selesai ritual mandi kembang di sendang Kamar Ontrowulan, kamipun naek ke atas Bukit, ke makam Pangeran Samudra. Seperti kemarin saat ziarah dengan Mba Wati, kami ditanya nama oleh kuncen, cuma bedanya, pasanganku sekarang Teh Lilis, dan Mba Wati berpasangan dengan Pak Budi. Di dalam bangsal sonyoyuri makam Pangeran Samudra, kami menaburkan bunga lalu mulai berdoa dengan khusuk. Seperti kemarin, bulu kudukku merinding. Seperti ada makhluk ghaib yang melihat ke arah kami. Detak jantungku semakin kencang. Keheningan itu terasa lama, sehingga aku bisa mendengar detak jantungku, suara nafaskupun terasa berat. Keheningan itu pecah oleh isakan tangis Mba Wati, dan rupanya isak tangis Mba Wati menular ke Teh Lilis. Suara isakan Mba Wati dan Teh Lilis membuatku semakin merinding.

Agen Bola - Bandar Taruhan - Taruhan Bola - Bandar Bola - Judi Bola - Agen Sbobet - Agen Maxbet - Agen 368bet - Agen Cbo855 - Agen Sabung Ayam
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger