Home » » Ritual Sex di Gunung Kemukus 5

Ritual Sex di Gunung Kemukus 5


Bandar Taruhan - "Jang kamu ke rumah Bi Narsih sana! " kata ibuku setelah aku selesai membawa gerobak Mi Ayamku di pangkalan. Yang di sebut pangkalan buat berjualan sebenarnya Pos Kamling. Atas ijin dari Pak RT ibuku bisa mangkal jualan di Pos Ronda.
"Untuk apa, Bu?" tanyaku walau aku tahu tujuan ibuku tentu untuk membicarakan pernikahanku yang tinggal seminggu lagi.
"Kok malah untuk apa. Untuk membicarakan pernikahan kamu yang tinggal seminggu lagi. Hari ini kita terakhir jualan." kata ibuku.
Bertemu Bi Narsih terasa berat buatku sejak mimpiku dan juga cerita dari Anis. Aku hampir yakin bahwa yang membunuh ayahku adalah Mang Karta. Aku belum bisa menyelidikinya karna waktu pernikahanku sudah sangat dekat. Belum ada waktu. Sampai rumah Bi Narsih aku ragu untuk mengetuk pintu. Tangan dan suaraku terasa berat. Aku menarik nafas mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengucapkan salam dan mengetuk pintu.

"Ujang ditunggu dari semalam baru datang sekarang." kata Bi Narsih yang tiba tiba membuka pintu. Aku kaget dan juga lega karna tidak perlu lagi mengucapkan salam maupun mengetuk pintu. Bi Narsih menarik tanganku.
"Duduk Jang. Bibi bikinin kamu kopi dulu." kata Bi Narsih sambil berjalan ke dapur.
Pinggul Bi Narsih yang besar bergoyang goyang membuatku terpesona akan keindahannya. Apalagi Bi Narsih hanya memakai daster pendek sepaha sehingga sebagian paha Bi Narsih terlihat mulus. Tidak lama Bi Narsih sudah selesai membuat kopi. Dia duduk berhadapan denganku. Posisi duduknya sangat menggoda pahanya terbuka lebar sehingga celana dalamnya yang putih terlihat. Ternyata semua persiapan sudah diatur oleh Bi Narsih dan Mang Karta. Dari mulai apa saja yang akan dibawa sebagai barang serahan siapa saja yang akan ikut ke Garut sampai nyewa mobil sudah dipanjer oleh Mang Karta. Aku sudah gak perlu nyiapin apa apa lagi. Kebaikan Mang Karta sudah sangat besar. Pada sisi lain aku tidak bisa melupakan mimpi ayahku dibunuh Mang Karta dan mayatnya dibuang ke sungai.

"Kamu dari tadi Bibi liat bengong mulu. Ada apa?" tanya Bi Narsih matanya menatapku tajam penuh tanda tanya.
"Gak apa apa Bi. Ujang gak tau harus ngomong apa. Ujang sudah terlalu banyak berhutang budi ke Bibi dan Mang Karta. Ujang gak bisa membalasnya sampai kapanpun." aku menunduk berusaha menghindar dari tatapan mata Bi Narsih yang terasa menusuk. Kalau saja Bi Narsih tahu perasaan hormatku ke Mang Karta mulai berkurang karna sebuah mimpi yang belum tentu benar.
"Jang Ibumu itu saudara satu satunya yang bibi punya. Mang Karta itu sebatang kara. Sejak kecil Mang Karta itu dirawat oleh Abah dan Ambu kakek dan nenekmu. Bibi, Ibumu dan Mang Karta dibesarkan bersama. Satu satunya saudara yang Bibi dan Mamangmu punya cuma ibumu." kata Bi Narsih duduknya pindah ke sampingku. Dipeluknya pundakku dengan penuh kasih sayang.
"Kamu ingat waktu umur kamu 15 tahun, kamu pergi ke Jakarta ikut kerja jadi kuli bangunan? Mamang marah besar. Padahal Mang Karta mau kamu tinggal di sini sekolah sampai kamu jadi sarjana. Mamangmu sangat kecewa. Tiap malam dia gak bisa tidur. Bibi sering mergokin mamang kamu menangis dan bicara sendiri minta maaf ke almarhum Ayahmu karna gagal mendidik kamu. Tidak ada hutang piutang di sini ini hanya soal kewajiban. Kamu mengerti." kata Bi Narsih.
"Iya Bi Ujang ngerti. Och ya di Gunung Kemukus Ujang ketemu Anis orang Karawang. Dia bilang wajah Ujang mirip Kang Gobang. " kataku.
"Anis? Tentu saja Bibi kenal. Dulu Bibi jualan kopi di Jakarta, Anis kerja di warung nasi sebelah Bibi. Kok aneh kamu bisa ketemu Anis di Gunung Kemukus ya!" kata Bi Narsih heran.
"Kata Anis Ayah dan Mang Karta preman paling ditakuti. Bener gak bi?" tanyaku.
"Iya janji ya jangan bilang Teteh!" kata Bi Narsih.
"Bibi kangen!" kata Bi Narsih sambil mencium bibirku dengan mesra tangannya mengelus kontolku. Keinginanku untuk mengorek keterangan tentang ayahku dengan sendirinya terhenti.

Aku membalas ciuman Bi Narsih. Kami berciuman dengan panas lidah kami saling bertautan. Tak ada lagi batas seorang ponakan dan bibi. Yang ada hanyalah sepasang insan yang dimabuk birahi. Birahi yang buta dan melanggar norma norma agama. Tanganku meremas tetek Bi Narsih yang kecil namun kenyal.
"Jang pindah ke kamar yuk! Memek Bibi udah kangen kontol kamu." kata Bi Narsih menarik tanganku masuk kamarnya.
Di kamar Bi Narsih memelukku dan menciumi bibirku dengan bernafsu kembali kami berciuman sambil berdiri menumpahkan segenap kerinduan. Bi Narsih menarik bajuku lepas lewat kepala. Begitu bajuku terlepas, Bi Narsih menjilati puting dadaku membuatku menggelinjang kegelian. Bi Narsih benar benar ahli membangkitkan birahiku. Lidahnya menyusur turun ke perutku. Bi Narsih menarik celanaku lepas dari kakiku. Kontolku langsung mengacung tegak menghadap wajah Bi Narsih dengan gagahnya. Bi Narsih langsung menggenggam kontolku dan mengulumnya dengan bernafsu. Nikmat sekali di sepong dengan posisi berdiri. Kepala Bi Narsih bergerak maju mundur mengocok kepala kontolku disertai jilatan di kepala kontolku.
"Sudah Bi nanti Ujang keburu keluar. Ujang maunya ngecrot di memek Bi Narsih." kataku berusaha menarik pundak Bi Narsih agar berdiri.

Aku menarik daster pendek Bi Narsih lewat kepalanya BH nya pun kulepas. Aku meremas tetek Bi Narsih yang imut namun putingnya tampak sudah mulai mengeras. Dengan bernafsu aku menghisap puting tetek Bi Narsih dengan lahap. Kugelitik putingnya membuat Bi Narsih menggelinjang nikmat. Puas dengan tetek Bi Narsih aku berjongkok melepas celana dalam Bi Narsih, terlihat memek Bi Narsih yang berbulu lebat. Aku menggelitik itilnya dengan gemas membuat Bi Narsih menggelinjang geli. Bi Narsih duduk di piggir ranjang, kakinya mengangkang lebar.
"Ayo Jang jilatin memek Bibi!" kata Bi Narsih sambil membuka belahan memeknya.
Aku berjongkok di pinggir ranjang kubenamkan wajahku di selangkangan Bi Narsih, kucium aroma memek Bi Narsih. Bau yang sangat aku suka. Kujilati lobangnya yang sudah basah oleh cairan birahi yang lengket dan kental. Nikmat sekali rasanya walau agak asin. Kuhisap hisap itilnya yang besar dan menonjol.
"Geloo, ennnak banget memek Bibi kamu emut." kata Bi Narsih sambil menjambak rambutku pelan.
Aku semakin bernafsu menjilati memek Bi Narsih yang nikmat. Berusaha semaksimal memberikan kenikmatan ke Bi Narsih sebagai balas jasa hutang budiku ke Bi Narsih.
"Udahhhh Jang. Memek Bibi pengen dientot!" kata Bi Narsih menyerah.

Aku beranjak memegang pergelangan kaki Bi Narsih, lalu kukangkangkan sehingga belahan memeknya semakin membuka. Bi Narsih menuntun kontolku ke lobang memeknya yang sudah sangat basah oleh cairan birahi dan ludahku. Perlahan aku menekan pinggulku sehingga kontolku menerobos masuk dengan perlahan hingga terbenam semuanya. Dengan posisi memegang pergelangan kaki Bi Narsih, aku bisa melihat kontolku memompa memek Bi Narsih.
"Jang ennnak banget kontol kamu." erang Bi Narsih memandangku. Matanya terlihat sayu.
Perlahan aku mempercepat kocokanku sehingga terdengar suara yang cukup kencang dari memek Bi Narsih saat kontolku keluar masuk memeknya Bi Narsih. Memek Bi Narsih sudah benar benar banjir aku bisa melihat kontolku tampak basah dan berkilat.
"Jang Bibi kelllluarrrrr.... Ampunnnnn!" Bi Narsih menggeliat meraih orgasme pertamanya. Tangannya mencengkeram kasur. Memeknya berkontraksi meremas remas kontolku dengan keras diiringi rasa hangat di kontolku. Kembali aku menggenjot memek Bi Narsih dengan cepat tidak perduli dengan Bi Narsih yang baru saja orgasme. Cairan memek Bi Narsih sudah sangat banjir membasahi selangkangannya. Semakin kupercepat genjotanku sehingga suara keciplak memek Bi Narsih semakin kencang. Tidak perlu waktu lama buat Bi Narsih nendapatkan kembali orgasmenya.

"Jang Bibi keluar lagiiiiii, ennnnak banget dientot kamuuuu!" Bi Narsih memekik meraih orgasme ke duanya.
"Memek Bibi juga enak banget." kataku sambil mengurangi kecepatanku mengocok memek Bi Narsih.
"Bibi pegel Jang. Bibi pengen dientot sambil nungging," kata Bi Narsih.
Aku mencabut kontolku Bi Narsih turun dari ranjang, pantatnya menungging, tangannya bertumpu di ranjang.
"Ayooo Jang entot lagi memek Bibi!" kata Bi Narsih.
Tanganku memegang kontolku ke lobang memek Bi Narsih, kudorong pelan kontolku hingga mentok. Aku mulai memompa memek Bi Narsih dengan cepat tanpa pemanasan toh memek Bi Narsih sudah sangat basah. Tanganku memegang pantat besar Bi Narsih sambil meremas gemas. Dengan posisi nungging memek Bi Narsih terasa lebih sempit. Lebih nikmat dengan posisi ini aku bisa melihat pantat besar Bi Narsih bergoyang goyang dengan indahnya. Membuatku semakin bernafsu mengocok memek Bi Narsih dengan cepat.

"Ternyata dientot ponakan sendiri enak banget." kata Bi Narsih sambil ikut menggoyangkan pinggulnya yang besar menyambut hentakan kontolku.
"Memek Bibi makin sempit kalo nungging." kataku merasakan kenikmatan yang semakin dahsyat.
"Bi Ujang mauuu kelllluarrrrr!" kataku merasakan puncak kenikmatan semakin mendekat.
"Bibi juga mauuuuu kelllluarrrrr.....!" Bi Narsih semakin cepat menggoyangkan pinggulnya menyambut hantaman kontolku yang semakin bertenaga.
"Akuuuu kelllluarrrrr biiii!" kontolku menembakkan pejuh ke dasar memek Bi Narsih.
"Bibiiii jugaaaaaa kelllluarrrrr...!" Bi Narsih menjerit tertahan meraih orgasme ke tiganya. Konstraksi otot memeknya terasa semakin kuat meremas remas kontolku.
Hening setelah badai orgasmenya reda, Bi Narsih merangkak ke ranjang hingga kontolku terlepas dari memeknya. Bi Narsih terlentang kelelahan. Tangannya melambai agar aku rebah di sampingnya.
"Jang harusnya kita gak boleh begini. Kamu ponakan Bibi. Maafin Bibi ya jang. Bibi wanita normal yang butuh ngentot Mamang kamu gak bisa ngasih." kata Bi Narsih sambil memelukku.
"Dari kapan Mamang impoten Bi? " tanyaku penasaran.
"Sudah hampir 10 tahun Jang." Bi Narsih memelukku erat.
"Anis cerita banyak tentang Ayah dan Mang Karta." kataku berusaha mengorek keterangan dari Bi Narsih.

"Jang kamu yang merawanin Desy ya?" tanya Bi Narsih membuatku sangat terkejut.
Pertanyaan Bi Narsih menghentikan niatku mengorek keterangan tentang Ayahku dan Mang Karta.
"Eh iiitu!" kataku ketakutan.
"Bibi gak sengaja baca buku Diary Desy makanya Bibi tahu. Bibi juga udah nanya ke Desy. Bibi gak marah sama kamu yang mulaikan si Desy. Mana ada kucigg yang nolak ikan. Cuma yang Bibi takutin Desy sampai hamil. Makanya Bibi suruh Desy suntik KB biar gak hamil. Dilarang larang juga gak akan bisa." kata Bi Narsih sambil mengelus kontolku membuatku lega.
"Bibi gak marah?" tanyaku heran.
"Tadinya Bibi marah tapi waktu Desy bilang ngeliat kita ngentot di kamar atas dan ngancam mau lapor ke Mamang kamu Bibi gak bisa marah." kata Bi Narsih.
Baru saja aku bisa menarik nafas lega tiba tiba pintu terbuka membuatku dan Bi Narsih kaget menoleh ke pintu. Desy masih mengenakan baju seragam SMA berdiri dengan bertolak pinggang melihat kami dalam keadaan bugil dan Bi Narsih yang sedang mengelus kontolku.
"Mamah kalo mau ngentot pintu depan di kunci. Coba kalo ada yang masuk!" kata Desy sambil berjalan masuk.
"Kamu kok sudah pulang Des? Baru jam 10." tanya Bi Narsih setelah bisa mengendalikan dirinya.
"Gak ada pelajaran Mah. Mamah kontol A Ujang dipegangin terus. Gantian donk." kata Desy tanpa menunggu jawaban Bi Narsih Desy merangkak di selangkanganku. Diciumnya kepala kontolku dengan bergairah.
"Ich, kontol A Ujang bau memek Mamah." kat Desy manja. Dilahapnya kontolku dengan bernafsu.
"Kamu Desy bau memek Mamah tapi masih aja kamu isep tuh kontol." kata Bi Narsih sambil mengacak acak rambut Desy.

Seperti tidak mau kalah, Bi Narsih mencium bibirku dengan bernafsu. Kami kembali berciuman lebih panas dari tadi. Kehadiran Desy membuat suasana semakin panas. Setelah puas mencium bibirku, Bi Narsih menoleh ke Desy.
"Des buka bajunya nanti kusut.!" kata Bi Narsih membuka baju seragam dan BH Desy yang asik menghisap kontolku. Lalu rok abu abu dan celana dalam Desy. Iseng Bi Narsih meraba memek Desy.
"Waduh memek kamu sudah basah.!" kata Bi Narsih menggelengkan kepala.
"Iya Mah memek Desy sudah pengen dientot kontol A Ujang." kata Desy merebahkan tubuhnya di sampingku.
Aku membungkuk di selangkangan Desy memeknya yang berjembut lebat semakin membakar gairahku untuk menjilatinya. Seperti ada yang kurang kalau belum menjilati memek. Memek Desy baunya lebih tajam dari memek Bi Narsih, mungkin karna dia belum bisa merawat memeknya, tidak seperti Bi Narsih yang memeknya agak berbau sirih. Kata Bi Narsih karna dia selalu mencuci memeknya dengan sabun sirih. Aku mulai menjilati memek Desy yang sudah basah. Rasanya nikmat sekali kujulurkan lidahku menusuk nusuk lobang memek Desy, berusaha menjangkau lebih banyak lagi cairan birahinya. Kuseruput setiap tetes cairannya.

"Ampuuuun A Desy gak tahan pengen dientot." Desy merintih memohon agar segera dieksekusi.
Aku merangkak di atas tubuh Desy yang sudah mengangkang pasrah. Bi Narsih meraih kontolku dan menggesek gesekan di memek Desy sehingga cairan memek Desy semakin banyak. Aku tekan kontolku menerobos masuk dengan mudahnya.
"Anak mamah sudah pinter ngentot ya!" kata Bi Narsih sambil menggeleng gelengkan kepala. Ku lihat bi Narsih menungging di selangkanganku. Entah apa yang akan dilakukannya.
Aku menatap wajah cantik Desy yang terpejam menikmati sodokan kontolku di memeknya yang semakin basah. Kucium bibir sensualnya dengan mesra. Desy memeluk leherku dan membalas ciumanku dengan bernafsu. Tiba tiba aku merasa ada yang menjilati kontolku aku menoleh ke bawah kulihat wajah bi Narsih berada tepat di selangkanganku dan Desy, dia menjilati kontolku yang keluar masuk memek anaknya sendiri. Gila, Bi Narsih bukannya marah anak gadisnya yang masih remaja dientot, malah seperti menikmatinya.
"Aduhhhh ennnak kontol Aa....." Desy mendesisi menikmati sodokan kontolku.

Aku semakin bernafsu mengocok memek Desy dengan cepat, sehingga menimbulkan bunyi yang merdu.
"Aa deeeeesssyy kelllluarrrrr...! " Desy menjerit tertahan tubuhnya mengejang menyambut orgasmenya. Tangannya mencengkeram punggungku. Untung Desy rajin menggunting kukunya.
Kubenamkan kontolku di memek Desy agar kenikmatan yang diperolehnya lebih maksimal. Kurasakan kontraksi memek Desy mengendur,
"Gantian Jang. Kamu telentang.!" kata Bi Narsih.
Aku mengerti apa yang diinginkan Bi Narsih aku menggulingkan tubuh ke samping Desy. Bi Narsih langsung berjongkok di selangkanganku. Diraihnya kontolku setelah pas Bi Narsih menurunkan pinggulnya. Memeknya melahap kontolku dengan mudah. Bi Narsih langsung memacu kontolku dengan cepat, matanya menatapku sayu. Bibirnya tersenyum manis.
"Kamu nakal Jang. Gak puas sama memek Bibi memek anak Bibi juga kamu entot." Bi Narsih benar benar binal memacu kontolku. Tangannya mempermainkan puting dadaku.
"Iya A Ujang nakal mah. Memek Desy diperawanin sampe berdarah." Desy menyambung ucapan Bi Narsih.

Cukup lama Bi Narsih memacu kontolku dengan liar. Wajah Bi Narsih yang keibuan berubah menjadi binal. Mulutnya berkata kata jorok. Hingga ahirnya Bi Narsih mengeram, tangannya meremas dadaku dengan keras membuatku meringis menahan sakit.
"Jang kontol kamu ennnak banget. Bibi keluar lagi." tubuh Bi Narsih mengejang nikmat menyambut orgasmenya yang ke sekian kali. Setelah badai orgasmenya reda, Bi Narsih bangkit duduk di tepi ranjang.
"Desy si Aa belom ngecrot tuh!" kata Bi Narsih ke Desy.
Tanpa disuruh 2x, Desy segera menaiki kontolku dan memacunya dengan cepat. Liar sekali anak ini menurun dari Bi Narsih.
"Aduh memek Desy enak amat dientot kontol A Ujang. Pantesan Mamah doyan kontol Aa " erang Desy yang terus memacu kontolku dengan binal.
Aku meremas tetek mungil Desy dengan gemas. Beda dengan tetek Ningsih yang besar dan kenyal. Pinggulku bergerak naik turun menyambut pinggul Desy yang besar seperti Bi Narsih. Akhirnya puncak kenikmatan tiba, tubuhku mengejang.
"Desss Aa mau ngecrot. Memek kamuuuu ennnnak...!" erangku. Kontolku menyemburkan pejuh ke memek Desy.
"Dessssyyy jugaaaa kelllluarrrrr ennnak Aaaaa!" ternyata pada saat bersamaan Desy meraih orgasmenya. Memeknya berkontraksi meremas kontolku dengan lembut. Desy memeluk tubuhku dengan keras. Nafasnya tersengal sengal.
Hening, kami saling berpelukan meniati sisa sisa orgasme.

Ahirnya selesai juga acara resepsi pernikahanku dengan Ningsih. Tubuhku sudah benar benar lelah seharian di pelaminan menyambut para tamu yang memberi selamat dan doa restu. Ningsih menggandeng tanganku menuju kamar pengantin, tepatnya kamar Ningsih yang sudah diubah menjadi kamar pengantin. Sampai di kamar aku langsung merebahkan tubuhku di kasur yang empuk dan dingin. Benar benar dingin udara di Garut, pantas saja mendapat julukan Swiss van Java. Ningsih duduk di sisi ranjang sambil membuka sanggulnya. Aku memperhatikan kamar cukup besar, mungkin ukurannya 3x3 meter. Masih lebih besar bila dibandingkan kamarku yang berukuran 2x2 meter atau kamar kontrakan yang berukuran 2x3 meter. Di pojok samping kiri ranjang ada meja kecil. Di kaki ranjang ada lemari pakaian yang menghadap pintu.
"A ganti baju dulu.!" Ningsih mengingatkanku agar membuka pakaian pengantin adat sunda.

Ningsih membuka kebaya dan juga kain panjang yang melilit tubuhnya. Badannya yang agak gemuk atau semok alias bohay hanya menyisakan BH dan Celana Dalam warna putih. Serasi sekali dengan kulitnya yang putih mulus tanpa cela. Mataku melihat ke arah perutnya yang berlemak mencari perubahan yang terjadi di perutnya, kubandingkan dengan terahir kali aku melihatnya di Gunung Kemukus. Tapi aku tidak melihat perbedaanya.
"Belom keliatan A. Baru 6 minggu." kata Ningsih yang menyadari tatapanku. Dia tersenyum.
"Ningsih gak dingin? " tanyaku melihat Ningsih yang tidak langsung memakai baju.
Ningsih hanya tersenyum tangannya begitu terampil membuka baju pengantin yang masih aku kenakan hingga menyisakan celana dalam saja.
"Dingin A emang Aa gak mau ngangetin Ningsih?" Ningsih menunduk malu.
"Mau banget tapi jangan malam ini ya! Aa ngantuk banget sudah 2 hari gak bisa tidur." kataku sambil mengambil baju yang diberikan Ningsih.
Aku segera memakainya. Aku benar benar kedinginan. Aku segera merebahkan tubuhku di ranjang.
"Iya A. Semalam juga Ningsih gak bisa tidur. " kata Ningsih sambil memakai baju tidur.
Melihatku yang masih kedinginan, Ningsih mengambil sweater tebal miliknya , diberikannya kepadaku. Aku segera memakainya. Ningsih menyusulku naik ke ranjang di sisi kiri yang menempel tembok. Ningsih menyelimuti tubuh kami dengan bed cover tebal dan lebar. Ningsih memeluk dadaku. Tubuhnya yang hangat, membuatku nyaman.
"Tinggi dan berat kamu berapa Ning?" tanyaku iseng.
"155 cm, berat 65 kg. Gemuk ya A?" tanya Ningsih.
"Sedeng!" itulah kata terahir yang aku ucapkan. Aku langsung terlelap.

Jam 10 aku bangun. Hampir 13 jam aku tidur. Ningsih tidak ada di kamar. Aku meminum air putih yang tersedia di meja. Segar sekali rasanya.
"Sudah bangun A ? Mau mandi pake air hangat gak?" tanya Ningsih yang baru masuk.
Aku menatap Ningsih, beruntung sekali aku mendapatkan istri yang cantik. Benar benar cantik pikirku. Apalagi kalau sedang tersenyum, ada sepasang lesung pipit di pipinya yang cuby. Walau badannya agak gemuk, tapi di mataku justru membuat Ningsih semakin imut.
"Aa ditanya malah ngeliatin Ningsih. Aa naksir Ningsih, ya?" Ningsih mencubit pipiku.
Selesai mandi aku mengajak Ningsih jalan jalan keliling desanya. Setelah seharian di pelaminan aku aku ingin melemaskan otot otot di tubuhku dengan berjalan jalan. Ningsih mengajakku ke sawah ayahnya. Kami duduk duduk di bawah pohon yang ada kursi panjang terbuat dari bambu. Ningsih duduk bersender di bahuku. Sepanjang jalan dia juga selalu menggandeng tanganku. Kami memandang hamparan sawah yang luas baru saja selesai dipanen.

"Teh Lilis dan A Budi sudah pulang ke Bogor tadi jam 9." kata Ningsih membuka pembicaraan.
"Kok aku gak dibangunin ?" tanyaku sambil membelai rambut panjang Ningsih yang halus dan harum.
"Kata Teh Lilis jangan dibangunin. Masih capek."
"Aneh ya kita cuma kenal seminggu di Gunung Kemukus lewat ritual yang nyeleneh. Sekarang kita sudah jadi suami istri." kataku mengingat kejadian di Gunung Kemukus.
"Terimakasih A sudah mau bertanggung jawab nikahi Ningsih padahal A Ujang gak salah. Ningsih ritual atas kemauan sendiri." kata Ningsih memelukku.
Aku membalas pelukan Ningsih. Sejak umur 8 tahun aku sudah menjadi yatim dan tau bagaimana beratnya menjadi anak yatim. Yang paling sulit adalah tidak adanya figur ayah. Mana mungkin aku membiarkan anak yang dikandung Ningsih lahir tanpa seorang ayah. Apa lagi anak itu adalah anakku. Aku tidak akan menyia nyiakan anakku. Darah dagingku. Ayahku. Kalau saja ayahku masih hidup, ceritanya pasti akan menjadi lain. Mungkin aku tidak akan mendapatkan istri secantik Ningsih di usia yang masih muda. Tapi bukankah Mang Karta selalu menyuruhku sekolah yang tinggi hingga menjadi sarjana dan semua biayanya akan ditanggung Mang Karta. Apa mungkin Mang Karta melakukannya hanya untuk menebus semua perasaan bersalahnya karna sudah membunuh ayahku?

"A, Aa kok dari tadi diam saja? Aa nyesel sudah menikahi Ningsih?" tanya Ningsih mengagetkanku.
"Aa gak nyesel cuma Aa masih belum percaya bisa punya istri secantik Ningsih tanpa keluar uang. Aa cuma beli Cincin emas 3 gram sebagai mas kawin. Cuma segitu uang yang Aa keluarkan buat menikahi Ningsih. Sedangkan biaya lain semuanya ditanggung A Budi." kataku.
Sedang asik kami ngobrol dari arah sawah datang seorang bapak bapak. Dari jauh pria itu sudah melambaikan tangannya.
"Aduh punten kemaren Mamang gak datang ke pernikahan neng Ningsih. " kata bapak itu menyalami Ningsih lalu menyalamiku. Wajahnya tiba tiba menjadi pucat melihatku.
"Kang Gobang? Wajah kamu sangat mirip dengan Kang Gobang!" kata bapak itu.
"Mang Udin kenal sama ayahnya Aa Ujang ?" tanya Ningsih.
"Iii...itu ayahnya aden ?" tanya Mang Udin menatapku.
"Iya, Gobang nama ayah saya." kataku menjelaskan.
"Ya Allah Gusti Pangeran jisim abdi dunia kok sempit. Mamang bisa ketemu anak Kang Gobang di sini." Mang Udin menatapku seperti tidak percaya.
"Iya Mang saya senang bisa ketemu Mang Udin di sini." kataku sambil mencium tangan Mang Udin.
"Ke rumah Mamang yuk kita cerita cerita.!" Mang Udin mengajak ke rumahnya.

Rumah Mang Udin cukup jauh, melewati pematang sawah. Kalau lewat jalan biasa lebih jauh lagi. Untungnya Ningsih sudah terbiasa jalan di pematang sawah jadi aku tidak perlu menjaganya. Ahirnya kami tiba di rumah Mang Udin, rumah panggung berdinding bilik. Aku duduk di teras depan dengan Mang Udin sementara Ningsih ikut ke dapur nemenin istri Mang Udin merebus singkong yang diambil dari pekarangan belakang rumah.
"Rumah mamang jelek Den. Maklum di desa." kata Mang Udin sambil melinting rokok daun kawungnya.
"Saya juga tinggal dari desa Mang. Cuma ngembara di kota." kataku. Suasanan pedesaan sudah sangat akrab denganku.
"Dulu Mamang ikut dengan Kang Gobang di Jakarta. Tapi setelah Kang Gobang meninggal dan Kang Karta insyaf Mamang juga berhenti. Sekarang Mamang jualan Es di Jakarta." kata Mang Udin memulai ceritanya.

Pulang dari rumah Mang Udin kami kembali melewati pematang sawah jalan terdekat. Kubiarkan Ningsih berjalan di depanku. Sepanjang jalan aku memikirkan cerita Mang Udin. Ayahku ternyata diracun secara diam diam oleh seseorang yang membencinya. Racun yang dicampur dengan kopi dan diberikan setiap hari sedikit sedikit. Racun yang masuk secara perlahan dan tidak disadari ayahku. Racun yang secara pelan pelan merusak hati dan jantungnya. Menurut Mang Udin, Mang Karta tidak akan mampu mengalahkan ayahku waktu aku menceritakan mimpiku. Masih menurut Mang Udin, ayahku kebal dan kepalanya sekeras batu. Pernah kejadian ayahku ditembak oleh nusuhnya saat terjadi perebutan wilayah kekuasaan ayahku tidak apa apa. Juga saat kepala ayahku dipukul batu dari belakang batu itu malah terpental. Mang Udin tahu siapa yang meracun ayahku, tapi dia tidak berani bicara karna keluarganya diancam akan dibunuh, karna waktu itu keluarga Mang Udin tinggal di Jakarta. Saking asiknya berpikir, aku tidak menyadari ada solokan kecil di depanku. Tanpa dapat dicegah aku terjatuh ke dalam selokan, celanaku basah kuyup.

"Aa kenapa? Ko bisa jatuh?" kata Ningsih kaget. "Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun." kata Ningsih tersenyum geli.
Sesampainya aku di rumah langsung masuk kamar mandi. Ningsih menyusul masuk dengan membawa handuk kering.
"Langsung mandi A. Sudah jam 4." kata Ningsih sambil membuka seluruh pakaiannya. Lalu Ningsih membantuku membuka pakaian.
"Tetek kamu gede amat Ning!" kataku sambil meremas tetek Ningsih dengan gemas.
"Aa suka gak?" tanya Ningsih menggodaku dengan memegang kedua bukit teteknya.
"Suka banget," kataku sambil mencium putingnya yang mulai mengeras.
"Mandi dulu A." kata Ningsih sambil menyiramkan air dari gayung ke kepalaku.
Ningsih memandikanku seperti ibu yang memandikan anaknya. Rambutku dikeramasinya badanku disabuni dan digosok dengan sabut buah oyong hingga benar benar besih. Lalu Ningsih berjongkok menyabuni kakiku.
"Aa dakinya banyak amat." kata Ningsih sambil mengosok kaki, betis dan pahaku.

Wajahnya tepat menghadap kontolku yang mulai berdiri tegak melihat tubuh bugil istriku. Agak lama Ningsih menggosok kaki dan pahaku tidak menyadri kontolku sudah berdiri dengah gagahnya. Hingga akhirnya Ningsih menyadarinya saat mulai menyabuni kontolku.
"Aa kontolnya sudah bangun aja. Sabar ya sayang, nanti juga bisa masuk sarung kok." kata Ningsih sambil menyabuni kontolku hingga benar benar bersih.
Ningsih kembali menyiram tubuhku dengan air dari gayung membersihkan busa sabun di sekujur tubuhku. Airnya begitu dingin namun menyegarkan tubuh dan pikiranku. Gantian aku yang memandikan istriku, rambutnya disanggul agar tidak basah. Aku mulai menyiram wajah cantik istriku, lalu pundaknya hingga basah sekujur tubunya yang mulus tanpa cela. Aku sabuni tanggannya hingga keteknya membuat Ningsih tertawa geli. Lalu punggungnya hingga pantatnya yang besar dan berisi. Iseng aku meremas pelan. Tubuh bagian depan aku sabuni, pas pagian dadanya kusabuni lebih lama.
"Aa, masa dada terus yang disabuni?" kata Ningsih sambil mencubit tanganku.

Aku berjongkok menyabuni kaki Ningsih, terus ke betisnya yang berisi, pahanya yang besar. Kemudian aku menyabuni memeknya yang benar benar mulus tanpa bulu. Tak ada bekas cukuran sama sekali. Selesai juga kami saling memandikan. Ningsih memakai baju terusan berbahan tebal. Sedangkan aku terpaksa memakai baju dan celana training Ningsih yang tebal dan hangat, karna aku tidak membawa baju banyak dan baju hangat. Sedangkan udara di Garut sangat dingin, berbeda dengan di Bogor. Sebenarnya aku ingin langsung masuk kamar dan bercumbu dengan Ningsih, tapi gak enak sama Abah dan Ambu orang tua Ningsih yang sedang ngobrol di ruang keluarga. Ahirnya aku ikut gabung. Ternyata kecantikan Ningsih dan Lilis menurun dari ibunya. Di usia 43 tahun, mertuaku ini masih cantik dan terlihat lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya berisi seperti Ningsih. Ayah mertuaku juga terlihat masih ganteng dan gagah.

Pulang dari musholah aku langsung masuk kamar, Ningsih baru selesai shalat.
"Makan malam dulu yuk, A!" ajak Ningsih.
"Nanti aja Aa sudah gak tahan nih." kataku sambil membuka sarungku.
"Aa kontolnya udah bangun aja. Hihihi. Ya udah Ningsih boboin dulu baru kita makan." kata Ningsih berjongkok.
Digenggamnya kontolku yang panjang. Tanpa ragu Ningsih melahap kontolku. Walau gerakannya masih terasa kaku tapi tidak sekaku waktu di Gunung Kemukus, Lidah Ningsih menjilati kepala kontolku dengan perlahan menggelitik lobang kencingku. Rasanya ngilu ngilu enak.
"Udah Sayang.... Aa gak tahan!" kataku menarik pundak Ningsih agar bangun. Aku mendorong tubuh istriku duduk di pinggir ranjang pas dekat dengan lemari pakaian.
Aku menarik daster Ningsih lepas dari kepala. BHnya juga aku lepas. Aku berjongkok di pinggir ranjang. Kucium bibir Ningsih dengan mesra, sedang tanganku meremas tetek istriku yang besar dan kenyal. Aku mulai menjilati tetek istriku, kulitnya begitu halus dan hangat. Putingnya berwarna coklat muda. Benar benar indah. Kuhisap putingnya yang sudah mengeras.
"Aa enak. Aa pinter bikin Ningsih enak.!" kata Ningsih sambil membelai rambutku.

Setelah puas dengan tetek indah istriku, aku mendorong tubuhnya terlentang. Kakinya yang berisi aku buka agar mengangkang lebar di pinggir ranjang, sehingga memeknya yang berwarna pink agak terbuka memperlihatkan bagian dalamnya yang merah dan basah. Aku membenamkan wajahku di memek istriku, baunya berbeda dengan saat di Gunung Kemukus dulu. Bau memek Ningsih agak berbau sabun sirih seperti memek Bi Narsih. Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan aromanya. Aku lebih suka dengan aroma aslinya, dipakainya Ningsih sengaja memakai sabun daun sirih untuk menyenangkanku. Aku mulai menjilati memek Ningsih dengan terpaksa hanya sekedar menyenangkan hatinya. Cairan memeknya terasa tawar mungkin karna sabun sirih yang dipakainya. Lidahku semakin dalam menusuk memeknya agar keluar cairan memek yang tidak terkontaminasi sabun sirih. Saat aku asik menjilati memek istriku tiba tiba pintu terbuka dan Ambu masuk aku menoleh kaget. Mata Ningsih sedang terpejam menikmati jilatan di memeknya sehingga tidak menyadari kehadiran Ambu.

"Aduh ini panganten baru kalau lagi asik pintunya dikunci." kata Ambu sambil geleng geleng lalu keluar sambil menutup pintu.
Ningsih kaget mendengar suara Ambu, tersipu malu melihat Ambu yang keluar sambil menutup pintu. Aku bangkit mengunci pintu.
"Aa..!" Ningsih tersenyum malu.
Aku menghampiri Ningsih, kuarahkan kontolku ke memek istriku yang sudah sangat basah, perlahan kontolku menerobos memeknya yang sudah aku merawanin waktu di Gunung Kemukus.
"Aa enakkkk...!" rintih Ningsih saat kontolku masuk memeknya. Cantik sekali wajah Ningsih, pipinya yang cuby membuatnya semakin cantik.
Perlahan aku menggerakkan kontolku keluar masuk memek istriku yang sempit. Nikmat sekali rasanya. Inilah pertama kali aku merasakan ngentot dengan istriku sendiri. Dalam sebuah ikatan yang sah dan halal ternyata rasanya lebih nikmat. Aku melakukannya tanpa rasa takut ataupun perasaan bersalah.

"A ennnak banget dientot suami sendiri. Rasanya lebih enak sekarang dari pada waktu di Gunung Kemukus." kata Ningsih menatapku sayu. Bibirnya tersenyum indah. Senyum terindah yang pernah aku lihat dari seorang wanita.
"Aaaaa, Ningsih mauuu kelllluarrrrr ampun gak kuaaaaat.!" kulihat tubuh Ningsih mengejang menyambut orgasme yang dahsyat. Memeknya berkontraksi meremas kontolku.
Aku yang merasakan puncak kenikmatan semakin dekat terus mengocok memek istriku dengan lembut dan cepat. Entah kenapa aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi mungkin karna sudah seminggu lebih pejuhku belom dikeluarin.
"Aa juga kelllluarrrrr sayang.....!" kontolku menyemburkan pejuh di lobang memek istriku.
"Aduuhhhh Ningsih kelllluarrrrr lagiiii...!" Ningsih rupanya kembali mengalami orgasme ke duanya dengan cepat. Lebih cepat dari yang pertama.
Setelah badai orgasmeku reda aku mencabut kontolku. Lalu merebahkan tubuh di samping Ningsih dengan kaki menjulur ke lantai.
"Ningsih jadi malu sama Ambu A. " kata Ningsih.
"Aa juga malu tadi lupa ngonci pintu." kataku tersenyum geli.
"Makan yuk A. Ningsih lapar." kata Ningsih.

Setelah selesai makan kami duduk di ruang keluarga. Kulihat Ambu menahan senyum melihat kehadiran kami.
"Maafin ya Jang. Ambu lupa kalau Ningsih sudah nikah jadi main masuk aja gak ngetok pintu dulu." kata Ambu.
"Ujang yang salah lupa ngunci pintu dulu." kataku malu.
"Jang Abah mau bicara. Abah dan Ambu sebelum kamu melamar Ningsih, 3 malam mimpiin kalian bertiga. Kamu, Lilis dan Ningsih, kalian melakukan ritual di Gunung Kemukus. Dari mimpi itu Abah tau Lilis dan Ningsih sedang hamil anak kamu. Abah dan Ambu takut akan terjadi sesuatu pada kalian karna 3 hari sebelum kalian nikah, Abah mimpi di datangi seseorang yang mengatakan, ritual harus tetap dilanjutkan hingga tuntas agar tidak terjadi apa apa dengan kalian. Ritual itu harus kamu tuntaskan dengan...?"

Sepulang dari Garut aku tinggal di rumah Lilis seperti yang sudah direncanakan oleh Pak Budi dulu. Biar Lilis ada temannya di rumah yang cukup besar. Rumah Pak Budi memiliki 5 kamar, Lilis dan Pak Budi tidur terpisah setelah kejadian aku memergokinya di hotel dengan pacar gay nya. Berarti masih ada 3 kamar yang kosong yang satu sekarang menjadi kamarku dan Ningsih, satunya untuk kamar orang tua Pak Budi apa bila berkunjung. Sedangkan kamar terakhir sebenarnya untuk kamar pembantu. Tapi Pak Budi lebih memilih pembantu dari masyarakat sekitarnya, jadi pembantu tiap hari pulang tidak tinggal di rumah Pak Budi. Agak sungkan saat pertama kali aku masuk rumah Pak Budi, apalagi sampai tinggal di sini. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan Pak Budi, apa lagi orang tua Pak Budi juga menyuruh kami tinggal bersama Pak Budi sekalian menjaga Lilis dan calon cucu mereka. Andai saja mereka tahu bahwa anak yang di kandung Lilis adalah anakku, mungkin mereka akan kena serangan jantung karna kaget. Hidupku sudah benar benar berubah, bukan hanya mempunyai istri yang cantik dan menumpang tinggal di rumah cukup mewah. Ada kejutan lainnya, Pak Budi juga menyiapkan sebuah kios cukup besar di pasar untuk berjualan sembako. Semuanya terjadi karena ritual di Gunung Kemukus. Dan karena ritual di Gunung Kemukus juga rahasia kematian ayahku mulai terbuka. Walau itu masih berupa petunjuk yang belum pasti kebenarannya.

"A jadi liat kios gak?" tanya Ningsih mengagetkanku yang sedang asik melamun di ruang tamu.
"Jadi atuh Ningsih udah siap?" tanyaku.
Tanpa dijawabpun aku sudah tahu jawabannya melihat penampilan istriku dengan baju muslim warna biru laut dan jilbab yang sewarna. Ningsih terlihat semakin cantik dengan menggunakan jilbab.
"Yuk kita berangkat!" ajak Lilis yang baru muncul dengan memakai baju muslim sewarna dengan yang dipakai istriku. Adik kakak yang kompak. Pikirku.
Sesampainya di kios, ternyata rak rak untuk menyimpan barang sudah ada. Hanya tinggal mengisi barangnya saja. Semua barang akan didrop oleh Pak Budi. Kebetulan Pak Budi adalah agen sembako cukup besar yang mempunyai beberapa cabang. Jadi aku hanya tinggal menjalankan saja.
"Tinggal nyari karyawan Jang." kata Lilis kepadaku. Aku membalasnya dengan anggukan kepala.
Setelah melihat kios Lilis mengajak kami jalan jalan ke Kebun Raya, tapi aku menolaknya dengan alasan mereka sedang hamil muda, kata dokter jangan terlalu capek. Ahirnya Lilis setuju untuk pulang. Setelah mengantar istriku dan Lilis pulang, aku pamit ke tempat Ibu berjualan. Ternyata tempat berjualan ibu sudah bukan di pos ronda lagi. Ada bangunan baru berdinding triplek di samping pos ronda yang dijadikan tempat berjualan ibu.

"Siapa yang membuat ini, Bu?" tanyaku heran.
"Mang Karta Jang. Kalau tanahnya masih punya Pak Budi. Rumah di belakang kios punya Pak Budi yang dikontrakkan." kata Ibu menerangkan padaku. "Alhamdulillah Jang jualannya semakin laris. Jadi kamu gak perlu jualan keliling lagi."
"Ujang sudah di sewain kios di pasar sama Pak Budi Budi buat julan sembako. Jadi Ujang gak bisa jualan mi ayam lagi, Bu." kataku menerangkan.
"Alhamdulillah yaa Allah, " kata ibuku. Air matanya berlinang bahagia.

"Ritual harus dilakukan dengan selingkuhan almarhum ayahmu Jang !" kata Abah.
Wajahnya terlihat gelisah. Khawatir akan nasib anak anaknya. Aku benar benar tidak menyangka Abah mengetahui semuanya lewat mimpi, seperti aku yang mengetahui kematian ayahku lewat mimpi. Semuanya terasa mencekam dan membuatku merasa takut. Tidak tahu nasib apa yang akan menimpaku nanti. Semuanya terasa menakutkan buatku. Ritual dengan selingkuhan ayahku mungkin bukan masalah buatku. Aku sudah melakukannya dengan Anis Malam jum'at Pon kemarin. Yang jadi masalah adalah apa bisa Anis melakukannya 7x ritual berturut turut denganku. Bagaimana kalau dia mendapat halangan seperti datang bulan pas Malam Jum'at Pon. Bukankah ritualnya akan batal. Atau mungkin aku bisa minta tolong ke Bi Narsih buat melakukan ritual denganku. Persoalannya akan tetap sama, bagaimana kalau Bi Narsih mendapatkan tamu bulanan pada saat malam Jum'at Pon.
"Apa tidak ada cara lain Bah ?" tanyaku putus asa.
"Abah gak tau Jang." suara Abah terdengar pelan dan sama putus asanya denganku.
"Kita pikirin pelan pelan A. Ningsih percaya pasti ada jalannya. Tadinya Ningsih juga sudah putus asa, Ningsih tidak mungkin punya suami tapi ternyata ada jalannya. Setelah ritual 7 malam dengan Aa sekarang Ningsih sudah bisa punya suami. Bahkan Ningsih hamil. Tau gak A dulu Ningsih beberapa kali mau berhubungan intim dengan mantan pacar, Ningsih sudah telanjang dan kontol pacar Ningsih sudah nempel di memek tapi tau tau burung mereka langsung lemes seperti impoten." cerita Ningsih menghiburku.

Yah mungkin akan ada cara lain pikiran seperti itu membuatku sedikit tenang. Kami pamit masuk kamar. Di kamar seperti ingin menghiburku, Ningsih memeluk dan menciumi bibirku dengan mesra. Kami berciuman cukup lama di atas ranjang. Ningsih menindihku bertindak agresif. Ningsih melucuti pakaianku yang sedang terlentang, pasrah ditelanjangi hingga tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhku. Ningsih menatapku mesra sambil membelai rambutku. Diciumnya leherku membuatku merinding nikmat. Apalagi saat lidah Ningsih menjilati setiap bagian leherku. Entah dari mana Ningsih tau cara merangsangku hingga batas maksimal. Mungkin dia melihat Lilis yang sering menjilatiku selama di Gunung Kemukus. Lidah Ningsih merayap ke dadaku dan menjilati setiap bagian dadaku. Lalu hinggap di pentilku yang sudah mengeras oleh rasa nikmat. Puting dadaku dijilati dan kadang digil lembut. Rasa nikmatnya mampu nenghilangkan kecemasanku. Lidahnya turun menjilati perutku membuatku tertawa geli. Lalu Ningsih menjilati pangkal kontolku juga kantung pelerku. Menghisap bijinya hingga membuatku meringis ngilu.

"Biji pelernya jangan diisep ngilu." protesku.
"Iya A maaf." kata Ningsih.
Ningsih lalu melahap kontolku dengan bernafsu sambil menggerakkan kepalannya naik turun mengocok kontolku.
"Ennak Ning. Kamu makin pinter nyepongnya." kataku sambil memegang kepala istriku yang bergerak naik turun memompa kontolku.
Cukup lama Ningsih menyepong kontolku hingga membuatku menggelinjang nikmat.
"Udah Ning. Aa gak tahan pengen ngentot memek kamu." kataku.
Ningsih bangkit menatapku. Bibirnya tersenyum menggodaku. Ningsih nerayap naik ke atas tubuhku, diraihnya kontolku hingga pas di lobang memeknya yang ternyata sudah basah. Perlahan Ningsih menurunkan pinggulnya melahap kontolku hingga amblas di dalam lobang memeknya.
"Kontol Aa meuni gede..." kata Ningsih sambil menggerakkan pinggulnya naik turun dengan perlahan.
Gesekkan dinding memek Ningsih dengan kontolku begitu terasa, licin dan hangat. Teteknya yang besar bergoyang goyang indah. Segera aku meremasnya agar tidak terjatuh. Kupelintir puting teteknya dengan lembut nembuat istriku merem melek keenakan

"Ennnnak A !" Ningsih tersenyum menatapku bahagia.
Gerakan pinggulnya semakin cepat dan berirama mengocok kontolku.
"Aduh memek Ningsih ennnak banget." benar benar nikmat rasanya memek istriku yang cantik ini. Badannya yang gemuk bisa bergerak lincah memompa kontolku.
"Aaaaaa NIng gak tahan mauuuu kelllluarrrrr....." Ningsih mencengkeram dadaku, pantatnya menghujam keras menekan kontolku hingga dasar memeknya yang berkontraksi meremas kontolku, cantik sekali istriku saat orgasme.
Setelah badai orgasmenya reda, Ningsih bergerak mau turun dari atas tubuhku. Tapi aku nencegahnya dengan menarik Ningsih dalam pelukanku. Perlahan aku menggulingkan tubuhku ke samping tanpa melepaskan kontolku dari memek istriku.
"ich, Aa pinter banget ngentotnya.! " kata Ningsih mencium bibirku dengan mesra.
Aku mulai mengocok memek istriku dengan lembut sambil berciuman. Semakin lama kocokanku semakin cepat dan berirama menimbulkan suara berkecipak di dalam memek istriku yang semakin banjir. Tangan Ningsih memegang pantatku membantu gerakanku supaya semakin cepat. Aku tidak berusaha mengatur orgasmeku. Aku ingin secepatnya mendapatkan orgasme,.
"Aaaa Ningsih mau kelllluarrrrr lagiiiii.... Ennnnak!" kurasakan tubuh istriku mengejang mendapatkan orgasme ke duanya.
Aku tidak mengurangi ritme kocokanku, aku terus nengocok memek Ningsih yang sedang dilanda badai orgasme. Kocokanku yang konsisten membuat tubuh Ningsih semakin klojotan.
"Aduhhhhh ampunnnnn ennnnak !" Ningsih memelukku semakin erat.
"Ning Aa gak kuat mau kelllluarrrrr.....!" dan ahirnya kontolku menembakkan pejuh ke memek istriku.
"Ning kelllluarrrrr lagiiiii !"

"Jang penganten baru jangan ngelamun mulu!" Lilis mengagetkanku yang sedang melamun di teras depan rumah sepulang dari membantu ibu membereskan dagangannya.
"Iya nich A Ujang pulang bukannya langsung masuk, malah ngelamun di luar." kata Ningsih yang tiba tiba sudah berada di samping Lilis. Mukanya terlihat cemberut, anehnya justru membuatnya terlihat semakin lucu dan imut.
Aku mengikuti kakak beradik itu masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga Ningsih sudah menyiapkan kopi hitam kesukaanku.
"Aa masih mikirin mimpi Abah ?" tanya Ningsih.
"Kamu tahu selingkuhan Ayahmu Jang?" tanya Lilis yang rupanya sudah tau tentang mimpi Abah.
"Sudah malam Jum'at Pon kemarin aku ketemu di Gunung Kemukus." kataku.
Lalu aku menceritakan pertemuanku dengan Anis di Gunung Kemukus, tapi aku tidak menceritakan sudah melakukan ritual dengan Anis.
"Kamu tahu alamat Anis gak?" tanya Lilis antusias.
Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Aku meminum kopi yang sudah mulai dingin. Sebatang rokok kunyalakan untuk menambah nikmat rasa kopi yang aku minum. Kami terdiam larut dalam pikiran kami masing masing. Karna menurut mimpi Abah, ini senua saling berkaitan. Musibah bisa menimpa salah satu di antara kami kalau ritual berhenti di tengah jalan.

"Kalau Lilis mimpi harus motong kambing kendit di Gunung Kemukus sebagai rasa terimakasih." kata Lilis perlahan.
"Ningsih mimpi disuruh sedekah kambing hitam polos, A!"
Aku baru sadar yang dimaksud dalam mimpi Abah adalah aku. Bukankah aku yang harus nenuntaskan ritual? Seperti juga yang terjadi dalam mimpiku. Setidaknya aku merasa lega, musibah tidak akan menimpa keluargaku. Setidaknya aku juga tidak begitu khawatir dengan keadaan ibu dan adik adikku. Ibuku sekarang sudah nerasa nyaman bisa berjualan Mie Ayam, dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
"Ningsih gak mau kehilangan Aa!" Ningsih menahan tangisnya. Air matanya membasahi pipinya yang halus.
"Jang!" Lilis melihatku dengan air mata berlinang.

"A semalam Lilis mimpi sedekah motong kambing di Gunung Kemukus buat menyempurnakan ritual. Ujang juga harus menyempurnakan ritualnya di Gunung Kemukus, kalau tidak nanti akan terjadi sesuatu" kata Lilis ke Pak Budi.
"Gak masalah. Berapa kambing Neng? Neng sendiri yang ke sana atau diwakilin?" tanya Pak Budi.

"Bisa diwakilin A. Lagi pula gak mungkin Neng berangkat ke Gunung Kemukus. Kandungan Neng masih muda takut ada apa apa A" kata Lilis.
"Gimana Ning Ujang harus menyempurnakan ritualnya di Gunung Kemukus kamu gak apa apakan?" Pak Budi menatap Ningsih istriku.
"Iya gak apa apa A. Yang penting semuanya selamat." kata Ningsih menunduk.
Tangannya menggenggam tanganku.
"Oh ya Jang. Kenapa kamu gak nyoba menyempurnakan ritul selama 7 hari di sana. Seperti Lilis 9 hari di sana dan Ningsih ritual selama 7 hari di sana. Cuma bedanya kamu ke sana sekedar ikut karna di ajak Mbak Wati, otomatis kamu gak fokus buat ritual. Sekedar ikut ikutan. Coba kamu nyari wanita yang mau bantu kamu buat menyempurnakan ritualmu selama seminggu. Mungkin ritualmu bisa sempurna." kata Pak Budi panjang lebar.
Argumen Pak Budi masuk akal juga. Selama ini aku ritual sekedar ikut ikutan dan ingin tahu. Setelah tahu, aku justru lebih menikmati seksnya saja. Makanya ritualku tidak sempurna.

"Ningsih juga taukan Aa punya penyakit ?" tanya Pak Budi lagi. Ningsih hanya mengangguk.
"Ningsih gak cerita ke Abah dan Ambukan?" sekali lagi Pak Budi bertanya dan Ningsih kembali mengangguk.
"Ningsih gak keberatan berbagi dengan Teh Lilis?" kembali Pak Budi bertanya.
"Iya tentu saja Ningsih mau berbagi dengan Teh Lilis. Kalau bukan karna Teh Lilis, sampe sekarang Ningsih belom punya suami. Mungkin sekarang Ningsih sudah jadi PSK di Gunung Kemukus." ujar Ningsih pelan.
"Terima kasih Ning atas pengertiannya. Jang di rumah ini kamu punya dua istri, perlakukan mereka dengan adil. Rahasia ini hanya kita yang tahu. Ya sudah aku mau istirahat dulu." kata Pak Budi sambil berjalan ke kamar.
"Ning!" kata Lilis menatap Ningsih.
"Iya Teh. Malam ini A Ujang nemenin Teh Lilis. Ningsih kan udah seminggu lebih, sampe dower memek Ningsih dientot kontol A Ujang yang gede." kata Ningsih bangkit mencium pipi Lilis.
"Ningsih gak mau ikutan?" tanya Lilis sambil memegang tangan Ningsih.
"Gak nanti Ningsih cemburu. A ningsih bobo dulu, ya !" Ningsih mencium pipiku mesra.

Tinggal aku berdua dengan Lilis di ruang tamu. Kami saling bertatapan, Lilis tersenyum, ditariknya tanganku masuk kamarnya yang harum dan bernuansa pink. Romantis sekali kamarnya.  Lilis mendorongku duduk di spring bed empuk. Tanpa bicara Lilis membuka pakaiannya hingga bugil. Lalu menghampiriku. Ditariknya kaosku lepas dari kepala. Kemudian Lilis berjongkok membuka resleting celanaku. Aku mengangkat pinggulku saat Lilis menarik celanaku lepas bersama celana dalamku. Lilis membelai belai kontolku yang masih tertidur, perlahan lahan kontolku bangkit semakin besar.
"Hihihi, gampang amat ngebangunin kontol kamu Jang!" Lilis mulai menjilati batang kontolku dengan lembut membuat kontolku semakin mengeras dan sampai pada puncak kekerasannya.
Aku sangat suka dengan gaya Lilis memanjakan kontolku dengan jilatan jilatannya yang lembut mampu membuat sekujur tubuhku merinding nikmat.
"Nikmat Lis." rintihku sambil mengusap rambutnya yang tebal dan halus.
"Ujang suka dijilatin gini?" tanya Lilis sambil melihatku genit, lidahnya terus menjilati kontolku sampai basah.
"Suka banget." kataku.

Tiba tiba Ningsih masuk kamar yang tidak terkunci dengan tubuh sudah telanjang bulat membuat kami menoleh kaget.
"Ningsih katanya mau bobo?" tanyaku heran.
"Ning mau liat cara Teh Lilis nyepong kontol yang bikin Aa ketagihan ." kata Ningsih ikutan berjongkok di samping Lilis.
"Gini cara memperlakukan kontol suami biar puas," kata Lilis, lalu memberi contoh ke Ningsih cara menjilati kontolku, dimulai dengan menjilati pangkal kontol, merayap naik ke atas tanpa menjilat kepalanya. Hingga semua bagian batang kontolku basah oleh ludah Lilis, lalu Lilis mulai melahap kepala kontolku diemutnya dengan lembut.
Aq merintih nikmat, sensasinya semakin bertambah saat Lilis memanjakan kontolku ditonton istriku. Aku seperti pangeran yang sedang dimanjakan dua orang wanita yang sama sama cantik.
"Jang naek sedikit,!" kata Lilis.
Aku menggeser dudukku agak naik hanya betisku yang menjuntai di tepi ranjang. Lilis naik ke atasku memeknya di hadapkan ke wajahku dan kepalanya menghadap kontolku.
"Ning coba kamu praktekin cara Teteh ngejilatin kontol suami kamu." kata Lilis memberi arahan ke istriku. Pinggulnya diturunkan hingga memeknya menyetuh mulutku.

Bau memek Lilis sangat aku suka. Bau memek alami tanpa sabun sirih atau yang lainnya dan juga tidak bau pesing seperti memek Wina dan Desy. Dengan posisi nungging aku juga bisa melihat lubang anus Lilis yang berkerut. Aku mulai menjilati memek Lilis yang sudah sangat basah, nikmat sekali rasanya menjilati memek Lilis yang berwarna pink dan tanpa jembut. Lilis sudah rutin mencukur jembutnya seperti permintaanku waktu di Gunung Kemukus. Sementara aku menjilati memek Lilis, Ningsih menjilati kontolku seperti cara yang diajarkan Lilis padanya. Ningsih cepat sekali belajar, dia mampu memberikan kenikmatan maksimal. Kalau saja kosentrasiku tidak terbagi, mungkin aku sudah ngecrot. Aku berkonsentrasi menjilati memek Lilis sambil tanganku menggosok gosok itilnya membuat Lilis kelojotan keenakan. Tiba tiba Lilis mengangkat pinggulnya menjauhi wajahku.
"Ning gantian. Teteh udah ga tahan pengen ngentot." kata Lilis mendorong pundak Ningsih menjauh dari kontolku. Lilis mengangkangi kontolku dan mengarahkannya tepat di lobang memeknya yang sudah sangat basah.
Bles, dengan mudah kontolku masuk memeknya yang sudah sangat basah. Menggesek dinding memek yang lunak dan lembab, nikmat sekali rasanya. Perlahan Lilis menggerakkan pinggulnya naik turun dengan lembut, selembut wajahnya yang cantik dan anggun.

"Ning sini memeknya Aa jilatin!" kataku ke istriku yang bengong melihat kontol suaminya dipake kakaknya.
"Gak sopan atuh A. Masa muka suami didudukin." kata Ningsih dengan perasaan sungkan.
"Ga apa apa Ning. Kan cuma waktu mau ngentot saja." kataku meyakinkan istriku bahwa itu hal biasa buat meraih kepuasan.
Dengan ragu Ningsih melangkahi wajahku, memeknya disodorkan ke wajahku dengan posisi saling berhadapan dengan Lilis sehingga Ningsih bisa melihat kontol suaminya keluar masuk memek kakaknya. Ningsih bisa melihat kontol suaminya yang mengkilap basah oleh cairan memek kakaknya
"Aduh Jang. Kontolnya gede amat sampe mentok memek Lilis. Ennnnak Jang..."
Aku berusaha mengabaikan erangan dan rintihan Lilis serta rasa nikmat yang dihasilkan akibat gesekan kontolku dan memeknya. Aku konsentrasi menjilati memek istriku agar bisa bertahan lama dan bisa memuaskan dua wanita kakak beradik yang menjadi istriku. Pebedaanya adalah Ningsih adalah istri sahku dan Lilis adalah istri yang disahkan oleh Pak Budi.
"Aa Ningsih mau kelllluarrrrr ennnnak memek Ning dijilatin " Ningsih semakin menekan pinggulnya ke wajahku membuatku tidak bisa bernafas beberapa detik. Aku berusaha bertahan membiarkan orgasme istriku mereda.

Perlahan aku mendorong pantat Ningsih agar menjauh dari wajahku. Akhirnya aku bisa menarik nafas lega dan agak tersengal sengal.
"Ujang..... Lilis kelllluarrrrr ennnak..!" Lilis pun mengalami orgasmenya. Memeknya berkontraksi dahsyat menyambut sejuta kenikmatan yang membetot jiwanya. Nafasnya tersengal sengal.
"Jang entot Lilis sambil nungging ya!" kata Lilis mengangkat pinggulnya sehingga kontolku terlepas dari memeknya. Kemudian Lilis merangkak mundur ke tepi ranjang. Pantatnya diangkat tinggi.
Aku mengerti dengan apa yang dimau Lilis beranjak turun dari ranjang. Lalu berdiri di belakang Lilis, kuarahkan kontolku ke lobang memek Lilis yang agak terbuka. Bles, kontolku dengan mudah menerobos Mas memeknya.
"Ningsih, kamu tiduran di depan Teh Lilis, memek kamu Teteh jilatin.!" Lilis menyuruh Ningsih tidur terlentang dengan memek tepat berada di depan wajah Lilis. Ningsih menurut apa yang disuruh Lilis.
Sementara aku menggenjot memek Lilis dari belakang Lilis menjilati memek istriku. Posisi yang membuatku semakin terangsang. Apalagi melihat istriku yang mengangkang memeknya dijilatin Lilis. Benar benar luar biasa. Aku semakin cepat aku mengocok memek Lilis dengan bernafsu, suara keciplak memek Lilis benar benar merdu. Lama aku mengocoknya hingga ahirnya Lilis menjerit lirih meraih orgasmenya bersamaan dengan Ningsih yan juga mendapatkan orgasmenya. Dan akupun menyusul menyemburkan pejuhku di memek Lilis.

Hari ini aku berangkat ke Karawang mencari alamat Teh Anis yang ditulis di kertas oleh Teh Anis sendiri. Mudah mudahan ini alamat asli bukan alamat palsu. Ternyata alamat yang diberikan letaknya cukup jauh dari kota Karawang aku harus nyambung mobil 2 x. Sampai alamat Teh Anis jam 2 siang.  Tidak sulit menemukan alamat Teh Anis, setiap orang yang aku tanya mengenal Teh Anis. Ahirnya aku sampai juga di rumah Teh Anis, di depannya ada warung kopi. Aku masuk ke warung kopi yang kebetulan sedang sepi.
"Neng kopi hitam." kataku pada seorang gadis remaja yang taksiranku berusia 15-14 tahun. Cukup cantik. Apakah ini Ratna adikku?
"Teh Anis nya mana Neng?" tanyaku ke gadis itu.
"Lagi belanja ke pasar. Aa sepertinya bukan orang sini?" tanya gadis itu menatapku penuh selidik.
"Iya Aa orang Bogor. Kamu Ratna ya?" tanyaku penasaran.
"Kok tau ? Kan Aa bukan orang sini." tanya Ratna heran.
Belum sempat aku menjawab Anis datang membawa belanjaan cukup banyak. anis kaget melihatku di warungnya.

"Ujang !" Anis memanggil namaku dengan heran. "Ratna, ini bawa ke dalam.!" Anis memberikan kantong plastik berisi belanjaan kepada Ratna setelah berhasil menenangkan diri.
"Jang kirain Ujang bercanda mau ke sini." Anis tersenyum senang dengan kedatanganku yang mengejutkan.
"Aku gak becanda pengen liat anak Anis Ratna." kataku pelan takut terdengar Ratna.
"Kita ngobrol di dalam rumah di sini gak bebas." Anis menarik masuk ke dalam warung yang tembus ke dalam rumah.
Rumah Anis walau kecil tapi tertata apik dan rapih. Aku duduk di ruang tamu yang menyatu dengan ruang menonton TV.
"Rat jaga warung dulu ya. Mamah mau ngobrol sama Ujang. Och ya mamah lupa ngenalin ini Ujang kakak kamu anaknya Ayahmu yang paling tua." kata Anis mengenalkan.
Dengan acuh Ratna mencium tanganku. Matanya nenatap tajam penuh selidik. Setelah puas nenatapku Ratna pergi ke warung.

"Ratna tau semuanya Nis?" tanyaku.
"Anis sudah cerita semuanya ke Ratna tentang ayahnya yang sudah meninggal sebelum dia lahir, tentang kamu." kata Anis.
Bibirnya selalu tersenyum matanya tak pernah beralih dariku.
"Och gitu. Ratna cantik seperti Anis. Och ya Nis, Malam Jum'at Pon kamu ke Gunung Kemukus lagi, kan?" tanyaku penuh harap.
"Sepertinya Anis gak bisa ke Gunung Kemukus lagi Jang. Kasian Ratna ditinggal sendirian di rumah gak ada yang jagain. Lagi pula bulan depan Anis mau nikah Jang" kata Anis membuatku shock.
Aku menarik nafas panjang menenangkan hatiku yang agak terguncang. Anis adalah harapanku untuk menyempurnakan ritual di Gunung Kemukus.
"Anis mau nikah? Selamat ya Nis" kataku agak lesu.
Akupun pamitan pulang dan menitipkan sedikit uang untuk Ratna. Aku juga memberikan alamatku di Bogor apabila Ratna membutuhkan sesuatu. Anis bisa menyuratiku.
Harapanku satu satunya untuk menyempurnakan ritualku adalah Bi Narsih, walaupun aku agak ragu mengajak Bi Narsih buat ritual. Apa lagi pasti Mba Wati akan tetap melanjutkan ritualnya denganku. Kalau aku menolak, aku takut Mbak Wati akan membuka rahasia Lilis dan Pak Budi ke tetangga sekitar rumah. Kalau saja Anis mau melanjutkan ritualnya denganku, aku masih punya harapan Mbak Wati akan meneruskan ritualnya dengan Aji jadi tidak ada penghalang buatku. Kepalaku serasa mau pecah memikirkannya.

Sampai terminal Bogor jam 10 malam, entah kenapa aku malas pulang. Ahirnya aku duduk di jalan memandang kendaraan yang berlalu lalang. Saat aku sedang melamun ada seseorang yang menepuk pundakku. Reflek aku menoleh. Ternyata Lastri yang menepuk pundakku.
"Loh dari mana Las?" tanyaku heran.
"Pulang kuliah. Kan aku kuliah malam. Kamu sendiri lagi ngapain di sini ?" tanya Lastri heran.
"Lagi pusing. Kamu sekarang tinggal di mana?" tanyaku. Kata ibuku Mbak Heny kakaknya Lastri sudah pindah itu artinya Lastri juga ikut pindah.
"Di xxxxxx mampir yuk! Dari sini jalannya deket." ajak Lastri.

Awalnya aku menolak, tapi Lastri tetap memaksa. Akhirnya aku mau juga. Setelah berjalan sekitar 7 menit aku sampai kontrakan Lastri dan kakaknya Heny.
"Sampai di sini saja ya Las ! Aku langsung pulang, ga enak sama tetangga " kataku pamit
"Ko gitu sich Jang? Gak apa apa, paling juga kita digrebek. Terus dinikahin." kata Lastri berusaha melucu.
"Nanti saja kapan kapan aku ke sini lagi." kataku.
"Janji!" Lastri mengacungkan dua jarinya.
"Janji!" kataku.
Tiba tiba Lastri mengecup bibirku sambil memeluk leherku. Agak lama dia mencium bibirku yang terdiam kaget dengan keberaniaanya.
"Aku tunggu ya kamu dateng.!" kata Lastri sambil membuka pintu rumahnya.
Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan Lastri yang memandangi kepergianku dari pintu rumah.

Aku berjalan tanpa tujuan. Pikiranku benar benar kalut apa yang harus aku lakukan. Bi Narsih adalah harapanku yang terahir. Memikirkan hal itu, aku memberanikan diri ke rumah Bi Narsih. Sesampainya rumah Bi Narsih aku kembali ragu. Aku melihat jam tanganku. Tepat pukul 12 malam. Aku memandang pintu rumah yang tertutup dan lampu di dalam rumah juga sudah dimatikan. Tiba tiba horden terbuka dari dalam seseorang melihat kehadiranku yang berdiri bingung.
"Ujang? Ada apa malam malam kamu ke sini?" tanya Mang Karta yang berdiri di pintu dengan perasaan was was.
Aku mencium tangan pria yang selama ini telah menggantikan tugas ayahku. Yaa Tuhan, kenapa ingatan tentang mimpiku selalu muncul. Harusnya tidak ada mimpi itu. Mimpi yang selalu menghantuiku. Seperti ada jarak yang menjagaku untuk dekat dengan Mang Karta. Padahal selama ini tidak ada jarak di antara kami.
"Masuk, Jang!" Mang Karta menarik tanganku. Tangannya terasa dingin.

Di ruang tamu Bi Narsih menatapku gelisah. Terpancar jelas di matanya.
"Ada apa Jang ? Kamu gak apa apakan Jang? " Bi Narsih memegang bahuku.
"Gak apa apa, Bi. Ujang lagi bingung!" kataku resah.
"Bingung kenapa Jang? Mamang dan Bibi sampe ketakutan. Takut terjadi apa apa." kata Mang Karta menarik nafas lega.
"Jang Jang. Bikin Bibi panik saja." kata Bi Narsih sambil masuk ke dalam.
Tidak lama Bi Narsih keluar membawa air putih.
"Minum dulu Jang.!" Bi Narsih memberikan air putih ke tanganku. Aku langsung meminumnya habis. Bi Narsih kembali masuk ke dalam.

Mang Karta menawarkan rokok aku mengambilnya sebatang. Saking bingungnya aku sampai lupa membeli rokok yang sudah habis sejak mengantar Lastri tadi. Aku menghisap sebatang rokok lumayan bisa membuatku sedikit tenang. Bi Narsih kembali muncul dengan dua gelas kopi.
"Jang sebenarnya ada apa? Coba kamu cerita siapa tahu Bibi dan Mang Karta bisa membantu?" tanya Bi Narsih pelan.
Kehadiran Mang Karta membuatku kesulitan untuk mengutarakan maksudku mengajak Bi Narsih menyempurnakan ritual di Gunung Kemukus. Bisa saja aku menghilangkan bagian bahwa aku harus ritual dengan selingkuhan ayahku. Tapi tetap saja aku tidak berani atau lebih tepatnya merasa segan dengan kebaikan Mang Karta.
"Jang!" Mang Karta menatapku yang menunduk gelisah. Bagimana aku bisa membenci pria yang selama ini sudah berhasil menggantikan peran ayahku. Walau mungkin dia adalah pembunuh ayahku.

Sejak kecil aku tidak begitu mengenal ayahku. Aku ingat Ayahku sangat jarang pulang. Biasanya ayah pulang sebulan sekali, di rumah paling lama 3 hari lalu kembali ke Jakarta. Sedangkan Mang Karta hampir seminggu sekali dia pulang menengok Kakek dan Neneku yang mulai sakit sakitan. Mang Karta dirawat Kakek dan Nenekku sejak usia 10 tahun. Mang Karta selalu membawa oleh oleh untuk aku dan adik adikku. Aku sejak kecil sudah akrab dengan Mang Karta.
"Jang!" sekali lagi Mang Karta memanggilku.
"Ujang mau istirahat Mang" kataku lesu.
"Ya sudah kamu istirahat di kamar atas. Bawa kopimu siapa tau kamu gak bisa tidur. Rokoknya juga kamu bawa Mamang masih punya 1 bungkus." kata Mang Karta.
Aku mengangguk mengambil kopi dan rokok lalu berjalan ke kamar atas. Kubuka jendela kamar lebar lebar agar sirkulasi udara mampu mendinginkan kepalaku.

Jam 9 aku bangun dengan pikiran lebih tenang. Aku langsung ke kamar mandi. Badanku terasa lengket sejak kemarin aku belom mandi. Segar sekali badanku setelah mandi.
"Ponakan Bibi sudah bangun!" Bi Narsih tersenyum manis melihatku keluar dari kamar mandi.
"Seger Bi." kataku sambil masuk dapur membuat kopi.
"Tumben bikin kopi sendiri, Jang?" goda Bi Narsih yang melihatku memasak air buat kopi.
"Kan biasanya juga bikin kopi sendiri Bi." kataku sambil tersenyum manis ke arah Bi Narsih yang berdiri di pintu dapur memperhatikanku.
Selesai membuat kopi aku duduk di ruang keluarga. Mang Karta sudah berangkat ke pasar jam 5 pagi. Sedang Desy dan Dinda sudah berangkat sekolah. Jadi aku bisa ngobrol tenang dengan Bi Narsih.

"Kamu lagi berantem dengan istrimu Jang? Biasa Jang namanya juga baru nikah belom begitu kenal dengan sifat masing masing. " kata Bi Narsih membuka percakapan.
"Bukan Bi. Ningsih dan Lilis mimpi hal yang sama." kataku sambil meminum kopi yang kubuat.
"Mimpi apa Jang?" tanya bibi penuh minat.
"Mereka bermimpi Ujang harus menuntaskan ritual di Gunung Kemukus dengan selingkuhan Ayah. Kalau tidak Ujang bisa celaka." kataku agak berbisik seolah olah takut ada yang mendengarnya.
"Ningsih kok bisa mimpi yang sama dengan Lilis? Apa istrimu tahu kamu ritual di Gunung Kemukus dengan Lilis?" tanya Bi Narsih.
"Ningsih juga pernah ritual dengan Ujang sampe hamil. Makanya Ujang nikah dengan Ningsih." kataku menerangkan.
"Och, gitu. Kamu tau siapa yang dimaksud selingkuhan Ayah kamu?" tanya Bi Narsih dengan wajah yang terlihat gelisah.
"Anis Bi. Anis yang cerita waktu di Gunung Kemukus. Ujang kemarin sudah ke Karawang nemuin Anis. Tapi Anis gak bisa bantu menyempurnakan ritual Ujang, Bi. Dia sudah mau nikah. Ujang takut Bi.!" kataku dengan wajah memelas.

"Gitu ya Jang. Kalau begitu Ujang menyempurnakan ritualnya dengan Bibi." kata Bi Narsih pelan, wajahnya menunduk gelisah.
"Maksud Bibi Ujang ritual sama Bibi? Gak bisa Bi. Ujang harus ritual dengan selingkuhan Ayah." kataku pura pura tidak tahu bahwa Bi Narsih pernah jadi selingkuhan Ayahku.
"Bibi pernah selingkuh dengan Ayahmu Jang. Maafin Bibi ya. Tolong jangan kasih tau ibumu." kata Bi Narsih dengan wajah tetap menunduk.
"Iya Bi. Ujang janji gak akan bilang ibu. Ujang juga kan sudah selingkuh dengan Bibi." kataku pura pura terkejut.
"Ujang gak salah waktu itu Bibi yang mulai lagi pula Mamang sudah ngasih ijin jadi kita bukan selingkuh." kata Bi Narsih.
"Sekarang Ujang agak tenang Bi. Tapi masih ada ganjelan." lalu aku menceritakan tentang Mbak Wati.
"Masalah Mbak Wati bisa Bibi tangani. Teman ritual Bibi punya teman yang juga mau ritual tapi belom punya pasangan. Kata teman ritual Bibi temannya yang mau ritual ganteng." kata Bi Narsih.

Saking senangnya mendengar kesanggupan Bi Narsih aku langsung memeluknya dan menciumi wajahnya. Kucium juga bibir Bi Narsih dengan bernafsu. Bahkan tanganku meremas teteknya dengan gemas. Bi Narsih membalas ciumanku dengan bergairah tangannya mengelus kontolku. Lama kami saling berciuman nafsuku semakin memuncak.
"Udah Jang sekarang kamu pulang. Istrimu pasti hawatir kamu tidak pulang semalam." Bi Narsih menepiskan tanganku yang meremas teteknya.
"Bibi Ujang gak tahan nich pengen ngentotin bibi." kataku.
"Hush, ponakan kurang ajar Bibi sendiri mau dientot.! Nanti aja sekarang kamu pulang dulu kasian istri kamu pasti khawatir" kata Bi Narsih.
"Iya Bibi sayang." kataku riang. Aku mencium tangannya pamitan pulang.

"Assalam mu'alaikum" aku mengucapkan salam dengan riang.
"Wa 'alaikum salam," istriku membuka pintu menyambut kedatanganku sambil mencium tanganku.
"Bagaimana A? " Ningsih bertanya.
"Sabar ya istriku yang cantik. Aa mau duduk dulu." kataku sambil merangkul Ningsih kuajak ke ruang keluarga. Di ruang keluarga Lilis yang sedang nonton TV menoleh ke arah kami.
"Bagaimana Jang?" Lilis mengajukan pertanyaan yang sama dengan Ningsih.
"Sabar donk Lis." kataku menggoda dua wanita cantik yang tampak khawatir.
"Aku sudah ketemu dengan selingkuhan Ayahku dia mau bantu menyempurnakan ritualku." kataku setelah meminun air pemberian Ningsih.
"Alhamdulillah A. Ningsih seneng mendengarnya." kata Ningsih sambil memelukku bahagia.
"Aa ke tempat Ibu dulu ya!" kataku. Baru saja aku sampai depan pintu, Lilis memanggilku.
"Jang ada telpon dari Bi Narsih!" kata Lilis dengan suara keras.
"Iya,!" aku kembali masuk. Mengambil gagang telpon dari Lilis.
"Hallo Bi ada apa?" tangaku heran Bi Narsih menelpon.
"Jang, tadi Bibi sudah nelpon teman Bibi, katanya dia mau ketemu dengan Wati membicarakan rencana buat ritual. Kamu bisa hubungi Wati buat ketemuan nanti sore?" kata Bi Narsih.
"Iya Bi. Nanti Ujang tanyain." jawabku. Lalu menutup telpon.
"Ning Aa mau ke tempat Mbak Wati dulu ya mau membicarakan masalah ritual." kataku pamitan ke istriku dan Lilis yang mendengarkan pembicaraanku di telpon.

Mbak Wati tersenyum melihat kedatanganku. Kebetulan warung masih belum begitu ramai hanya ada dua orang pembeli yang makan bakso di meja paling pojok. Lumayan besar warung mie ayam dan bakso Mbak Wati.
"Ada pengantin baru datang nich. Kok istrinya gak diajak Jang? Tanya Mbak Wati.
Aku hanya tersenyum langsung saja aku membicarakan maksud kedatanganku menemuinya.
"Aku mau ngajak Mbak Wati jalan mau ngobrolin masalah ritual. Bisa gak Mbak?" kataku.
"Nanti aku bilang Mas Gatot dulu ya!" kata Mbak Wati berjalan mendekati Mas Gatot. Kulihat Mbak Wati berbisik ke Mas Gatot. Mas Gatot terlihat mengangguk dan tersenyum padaku.
"Boleh Jang. Sekarang berangkatnya? Mbak mau ganti baju dulu, ya" tanya Mbak Wati.
"Iya Mbak aku mau nelpon ke rumah sebentar" kataku.
Aku berjalan ke telpon umum yang tidak jauh dari warung. Aku nelpon Bi Narsih. Bi Narsih menyebutkan tempat bertemu jam 6. Sekarang baru jam 2 masih 4 jam lagi. Bi Narsih sudah memesan kamar hotel. Aku disuruh nunggu du sana.
Aku kembali ke warung Mbak Wati masih di kamar ganti baju. Sebenarnya aku mau bilang berangkatnya nanti jam 5 tapi ya sudahlah. Aku bisa ngejelasin maksudku sebelom bertemu Bi Narsih dan temannya.

"Mas Gatot gak apa apa Mbak Wati aku ajak jalan pulangnya malam?" tanyaku.
Sebenarnya agak sungkan juga mengajak istri orang walau aku sudah sering berhubungan intim dengan istrinya atas persetujuannya. Bahkan kami pernah beberapa kali 3some di hotel.
"Gak apa apa kan di Warung ada laras yang bantu bantu." kata mas Gatot melihat Laras anak gadisnya yang berusia 16 tahun
Tidak lama Mbak Wati keluar dengan berpakaian baju muslim membuat wajahnya semakin cantik. Walau Mbak Wati termasuk gemuk tapi tidak mengurangi daya tariknya.
"Yuk Jang berangkat. Mas aku keluar dulu. Ras Ibu jalan dulu.!" kata Mbak Wati berpamitan.
Kami naik angkot yang berhenti di depan warung. Aku mengajak Mbak Wati ke hotel melati yang jauh dari rumah sekaligus menjadi hotel langganannku dengan Bi Narsih. Sudah 2x aku ke sini dengan Bi Narsih.
"Idih pengantin baru ko ngajak Mbak ke sini? Kangen jepitan memek Mbak ya?" kata Mbak Wati sambil mencubit tanganku.
Aku hanya tersenyum sambil menggandeng tangan Mbak Wati memasuki kamar hotel yang sudah dipesan Bi Narsih.

Ternyata kamar yang dipesan Bi Narsih mempunyai dua tempat tidur. Rupanya Bi Narsih sudah mempersiapkan semuanya. Mbak Wati membuka baju nuslim dan jilbabnya hingga menyisakan BH dan celana dalamnya saja. Mbak Wati juga melepas ikatan rambutnya, hingga rambutnya yang panjang tergerai indah.
"Ngobrolnya nanti aja Jang. Mbak kangen kontol kamu yang gede." kata Mbak Wati menubrukku yang duduk di pinggir ranjang hingga membuat tubuhku terlentang.
Mbak Wati naik ke atas tubuhku dan menarik kaosku lolos dari kepala. Lalu melepas ikat pinggang, kancing dan releting celanaku. Mbak Wati menarik celana panjang dan celana dalamku berbarengan lepas dari kakiku. Aku benar benar ditelanjangi Mbak Wati yang kini berdiri melepas BH dan celana dalamnya. Mbak Wati kembali menindihku, bibirnya melumat bibirku dengan bernafsu. Aku membalasnya dengan sepenuh hati lumatan bibir wanita yang sudah mengambil perjakaku. Tubuh gemuknya terasa hangat dan halus kulitnya.
"Mbak mau merkosa kamu." kata Mbak Wati tersenyum memandangku dengan mesra.
"Gak usah diperkosa juga Ujang mau kok. Mbak makin gemuk ya?" tanyaku.
"Iya nambah 5 kilo. Tapi Mbak masih kelihatan sexy kan?" kata Mbak Wati sambil menciumi leherku.
"Sexy banget Mbak. Apalagi memek Mbak enak banget bikin ketagihan." kataku.
Setelah puas menciumi leherku, Mba Wati beralih menjilati pentil dadaku dengan bernafsu. Kadang menghisapnya dengan keras membuatku menggelinjang kegelian namun terasa nikmat.

Mbak Wati beralih membelai kontolku yang sudah ngaceng. Lalu kontolku dicaploknya dengan bergairah. Menghisap kepala kontolku dan tangannya mengocok batang kontolku dengan cepat. Nikmat sekali sepongan Mbak Wati begitu ahli dan profesional.
"Gantian Mbak aku mau jilatin memek Mba Wati!" kataku sambil menahan kepala Mbak Wati.
"Hihihi baru di sepong aja udah gak tahan. Apalagi dijepit memek Mbak." kata Mbak Wati sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk.
Gantian aku merangkak di atas tubuh gemuk Mbak Wati kuremas tetek jumbonya sambil kuhisap putingnya yang sudah mengeras. Kuhisap dengan rakus tetek wanita yang sudah mengambil perjakaku. Puas dengan teteknya, aku merangkak mundur menuju memek yang selalu rutin dicukur. Aku mencium bau memek Mbak Wati yang khas dan sudah sangat basah itu. Bau memek yang mampu membuatku ketagihan. Kubuka belahan memek Mbak Wati yang tebal dan bergelambir. Warna bagian dalamnya begitu merah basah oleh cairan birahinya. Aku menjulurkan lidahku masuk lobang memeknya kugerakkan lidahku air liurku bercampur cairan birahi Mbak Wati yang sangat banyak. Kadang aku gigit itilnya yang indah. Aku begitu menikmati memek Mbak Wati aku berusaha menghisap lubangnya agar cairan memeknya bisa aku telan.

"Ampun Jang. Mbak gak kuat entot memek Mbak Jang!" kata Mbak Wati berusaha bangkit menarikku.
Aku merangkak maju hingga kontolku tepat di lobang memek Mbak Wati yang sudah sangat basah oleh cairan birahi. Mbak Wati menuntun kontolku agar pas di lobang memeknya. Aku langsung mendorong pinggulku, kontolku menerobos masuk memeknya dengan mudah.
"Gilaaa Jang. Kontol kamu enak banget." kata Mbak Wati sambil memelukku dengan erat.
Aku langsung mengocok memek Mbak Wati dengan cepat karna Mbak Wati paling suka memeknya dientot dengan cepat. Kalo pelan gak kerasa katanya. Kocokanku di memek Mbak Wati menimbulkan bunyi cukup keras akibat memek Mbak Wati yang sudah sangat basah. Bunyi yang sangat merdu menurutku. Walau memek Mbak Wati sudah banjir tapi cengkeramannya masih terasa nikmat apa lagi Mbak Wati ikut menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku yang bertenaga.
"Memek Mbak ennnak banget." kataku sambil terus mengocok memeknya denga cepat.
"Kontol kamu juga ennnak banget Jang. Terusssss Jang entot Mbak...." Mba Wati mencium bibirku dengan ganas pinggulku tetap bergerak cepat menghujamkan kontolku ke memeknya yang nikmat
"Jang Mbak kelllluarrrrr kontol kamu ennnnak banget....." Mbak Wati memelukku senakin erat kakinya menjepit pinggangku hingga tak mampu bergerak. Memeknya berkedut kencang meremas kontolku dengan keras. Nikmat rasanya saat memek Mbak Wati berkontraksi.

Setelah badai orgasmenya reda Mbak Wati meluruskan kakinya, lalu menggulingkan tubuhnya ke samping kanan hingga posisi kami berubah aku di bawah dan Mbak Wati diatas menindihku tanpa melepas kontolku dari memeknya. Mbak Wati bangkit berjongkok pantatnya bergerak naik turun mengocok kontolku dengan cepat. Tangannya bertumpu pada dadaku. Tetek jumbonya bergerak naik turun. Aku meremas tetek Mba Wati yang bergerak cepat memompa kontolku. Bibirnya mendesis nikmat. Matanya menatapku dengan binal.
"Kontol kamu gede banget Jang. Ennak sampe mentok memek Mbak." kata Mbak Wati bibirnya tersenyum.
"Memek Mbak jepitannya ennnak banget." kataku.
"Ennnnak mana sama memek istrimu?" kata Mbak Wati sambil terus mengocok kontolku dengan ganas.
"Ennnnak memek Mbak bisa mpot ayam" kataku berbohong.

Cukup lama kami bersetubuh. Mbak Wati kembali meraih orgasme dengan posisi WOT. Lalu kami berganti posisi dogy style. Aku mengocok memek Mbak Wati dari belakang. Pantatnya yang besar sangatlah menggoda. Terguncang guncang oleh hentakan kontolku hingga ahirnya aku tidak mampu bertahan lebih lama.
"Mbak aku mau ngecrot.!" teriakku sambil menembakkan pejuhku ke memeknya.
Pada saat bersamaan ternyata Mbak Wati juga meraih orgasme.
"Mbak juga Jang."
Setelah orgasme kami reda kami tidur telentang berdampingan.
"Mbak Malam Jumat Pon kita ke kemukusnya barengan sama temenku ya!" kataku membuka percakapan dengan Mbak Wati.
"Emang ada yang mau berangkat dari Bogor?" tanya Mbak Wati.
"Ada saudaraku. Tapi kita ganti pasangan ya Mba? Mbak pasangan sama temanku. Mau kan mbak?" tanyaku.
"Gak mau Jang. Dua kali kita tuker pasangan di Gunung Kemukus. Dua kali Mbak rugi. Sama Pak Budi baru nempel langsung keluar. Sama Aji gantengnya doang. Mbak belum keluar si Aji udah keluar duluan. Udah gitu kontolnya gak bisa bangun lagi." kata Mbak Wati.
"Tapi sekarang beda Mbak" kataku berusaha meyakinkan Mbak Wati.
"Pokoknya aku gak mau. Aku cuma mau pasangan sama kamu.!" kata Mbak Wati agak marah.

Tiba tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Baru jam 5 sedangkan Bi Narsih baru datang jam 6. Kembali suara ketukan itu terdengar lebih keras. Aku bangkit buru buru pakai baju. Mbak Wati juga memakai bajunya dengan tergesa gesa.

Agen Bola - Bandar Taruhan - Bandar Bola - Taruhan Bola - Judi Bola - Agen Sbobet - Agen Maxbet - Agen 368bet - Agen Cbo855 - Agen Sabung Ayam
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger