Recent Movies

Ritual Sex di Gunung Kemukus 10


Bandar Taruhan - "Wajahmu sangat mirip ayahmu seperti pinang dibelah dua." bisik Codet memelukku.
Dengkulku terasa lemas, kupikir Codet akan menyerangku. Ternyata dia memelukku. Benar benar ular berbisa yang pandai bersandiwara. Codet merangkul pundakku melihat ke arah ke 4 orang anak buahnya yang usianya rata rata 30an. Wajah mereka terlihat sangar.
"Kalian lihat baik baik wajah pemuda ini, mulai sekarang dia menjadi pemilik Club xxx. " kata Codet kepada anak buahnya.
Apakah ini sebuah ancaman tersembunyi? Pikirku. Aku sudah masuk dalam lingkaran hitam dan aku tidak bisa mundur lagi. Mundur berarti hancur. Perlahan tekadku semakin menguat. Aku bukanlah orang lemah, kemampuan bertarungku sudah termasuk hebat. Aku selalu menyempatkan diri berlatih setiap hari. Apalagi sejak Mang Udin tinggal berdekatan denganku, aku punya sparing patner berlatih dengan gaya yang berbeda. Aku telah menjadi lebih kuat lagi.

"Bagaimana dengan uang keamanan yang harus kami bayarkan?" tanya Bu Dhea mengajukan pertanyaan pada intinya.
"Sabar dulu Bu. Kita rayakan dulu kehadiran Bos baru Club xxx. Aku berharap club ini menjadi lebih besar lagi dari pada waktu dipimpin mendiang Pak Budi. Seperti kita tahu, Pak Budi selalu bersedia menyisihkan penghasilan Club sebesar 2.1/2%, jumlah yang cukup adil. Sekarang dengan kehadiran bos baru yang masih muda, 5% kurasa cukup adil, karna tugas kami bertambah mendidik anak muda ini agar lebih kuat." kata Codet. Suaranya melengking tinggi memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Diiringi sahutan 4 orang anak buahnya yang meyetujui.
"Itu gak adil Bos. Pak Budi pernah mengajukan keberatan dengan jumlah tersebut." kata Bu Dhea yang merasa keberatan.
"Bagaimana Bos? Kamu setuju?" Codet tidak menggubris sanggahan Bu Dhea. Dia justru bertanya padaku, bocah bau kencur yang bisa diintimidasi.
"5% saya harus pikir pikur dulu Bos." kataku dengan suara mengambang. Antara takut, marah dan benci. Begitu sombongnya orang yang bernama Codet ini. Aku tidak selemah yang dia pikirkan.

Jawaban yang mengejutkan Codet. Dia menatapku tajam, heran karna intimidasinya tidak berhasil. Codet melangkah mundur, lalu duduk di kursi empuk. Tanganya mengambil gelas berisi minuman yang diangkat ke atas.
"Mari berpesta.!" katanya yang diiringi 4 orang anak buahnya bangun.
Menurut informasi yang kuterima dari Mang Karta, 4 orang yang selalu mengawal Codet adalah jago jago pilihan dengan kemampuan yang luar biasa. Mereka para petarung jalanan yang telah membunuh banyak lawannya dalam pertarunga tangan kosong. Mereka adalah anjing peliharaan Codet yang paling setia. Mang Karta meyuruhku waspada menghadapi mereka, apa lagi aku belum berpengalaman menghadapi pertarungan jalanan yang brutal. Maka satu satunya cara menghadapi mereka adalah melakukan serangan mematikan secepat mungkin.

Lagi pula di ruangan sekecil ini ke 4 orang itu tidak akan bisa mengeroyokku. Mau tidak mau mereka harus bertarung satu satu. Dan salah satu keunggulan silat cimande murni adalah sejak pertama kali berlatih kami sudah biasa berlatih di ruang sempit. Karna pencipta silat cimande Mbah Khair menciptakan jurus secara sembunyi sembunyi dan kemudian melatih pemuda pemuda di dalam rumah berpasangan, di ruang yang sempit. Makanya aku melarang Mang Udin yang mau maju menghadapi begundalnya Codet Ini juga untuk membungkam kesombongan Codet yang telah berani meremehkanku. Aku bukan anak ingusan. Salah seorang anak buah Codet menyerangku dengan pukulan cepat bertenaga mengarah ke wajahku. Aku hanya menggerakkan tangan kiriku ke kanan menepis pergelangan tangannya dibarengi kakiku melangkah maju dan tangan kananku melepaskan pukulan upercut yang menuju dagunya dengan kecepatan tinggi.

Pria itu kaget, dia berusaha mundur menghindari pukulanku. Keputusan yang salah karna kakinya tertahan meja dan aku tidak menyia nyiakan kesempatan itu, kakiku maju dan tangan kiriku bergerak memakai jurus pamacan, mencakar selangkangannya yang tidak terjaga. Aku meremasnya dengan kekuatan penuh. Membuat lawanku membungkuk kesakitan, aku tidak menyia nyiakannya. Sebuah uper cut keras dengan dorongan tubuhku menghantam dagu lawanku. Terdengar bunyi tulang patah. Lawanku terhempas ke belakang menghantam meja yang berisi botol minuman dan gelas yang langsung hancur seketika. Melihat temannya terkapar tidak berdaya, salah satu pria yang terdepan maju. Tapi terlambat, aku sudah maju lebih dulu ke arahnya memanfaatkan kelengahannya yang terkejut melihat temannya terkapar. Tinjuku menghantam wajahnya yang belum siap menghadapi serangan. Wajahnya terkena pukulanku membuatnya terhuyung kesakitan memegang hidungnya yang patah. Kesempatan yang tidak kusia siakan. Dengan jurus pepedangan, tanganku menyabet dari samping menghantam tulang rusuknya hingga patah. Lawanku terjungkal tanpa ampun.

Dua orang berhasil aku lumpuhkan dalam waktu singkat, dan itu membuat ke dua pengawal Codet lainnya merasa gentar dan ragu untuk menyerang. Sedang aku tidak bisa memulai penyerangan seperti tadi, kamar yang menjadi porak poranda dan dua lawanku yang tergeletak di lantai membuat ruangku untuk melakukan serangan menjadi terhalang. Tiba tiba masuk seorang security Club tanpa mengetuk pintu. Matanya terbelalak melihat ruangan VVIP porak poranda.
"Ada apa?" tanya Bu Dhea yang berhasil menguasai dirinya setelah melihat pertempuran singkatku.
"Ada pertarungan di depan Bu. Anak buah Codet bertarung melawan Si Jeger dan teman temannya." kata security itu dengan wajah pucat.
"Kamu sudah mencari penyakit seperti ayahmu." Codet berkata dengan suara dingin lalu memerintahkan anak buahnya menggendong dua temannya yang mengerang kesakitan.

Saat aku akan menghalangi jalan mereka, Mang Udin berbisik.
"Biarkan mereka pergi. " kata Mang Udin.
Aku mengangguk setuju. Kami mengikuti Codet ke ruangan depan yang terlihat berantakan oleh pertempuran sengit yang sudah selesai. Aku lihat Mang Karta, Kang Herman dan Jeger berdiri dengan beberapa orang yang belum aku kenal. Sementara anak buah Codet yang berjumlah 10 orang berjongkok ketakutan. Rupanya mereka sudah berhasil dikalahkan. Mang Karta dan Codet saling bertatapan dengan kemarahan yang terpancar dari mata mereka.
"Ternyata kamu Karta. Ingat urusan ini belum selesai.!" kata Codet dengan suara bergetar menahan amarah.
"Harusnya aku yang berkata begitu. Urusan kita belum selesai Codet. Kematian Gobang harus kamu bayar lunas." kata Mang Karta dengan suara dingin penuh ancaman.

Setelah Codet dan orang orangnya pergi, Bu Dhea memerintahkan semua pegawai yang bersembunyi berkumpul untuk membereskan ruangan yang porak poranda karena pertarungan tadi. Bu Dhea mengajakku ke ruangan kantorku di lantai 3, karena di lantai dua dijadikan kamar kamar tempat prostitusi. Aku mengajak Mang Karta, Mang Udin, kang Herman dan Kang Jeger untuk berunding.
"Kenapa kita lepaskan Codet begitu saja Mang?" tanyaku heran.
"Karena target kita bukan Codet. Ada dalang di balik semuanya. Codet hanyalah pion yang akan segera dilenyapkan oleh si dalang karena telah gagal." kata Mang Karta tenang.
"Siapa Dalangnya Mang?" tanyaku heran. Ternyata banyak yang disembunyikan Mang Karta dariku.
"Siapa Mang? Kenapa Codet mengenal Ibu?" tanyaku penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri siapa dalangnya. Dulu Codet tergila gila pada ibumu ayahmu marah. Wajah Codet dibuat cacat oleh ayahmu.." jawab Mang Karta singkat. Lalu berpamitan kepadaku. Sedangkan Mang udin memilih menungguku di bawah.

Aku masuk kamar yang berada di ruang kerjaku. Aku masih bingung harus melakukan apa. Bu Dhea hanya memberiku berkas yang harus aku tanda tangani. Ada beberapa berkas yang berisi angka angka yang membuatku semakin bingung. Apalagi pada hari pertamaku kerja, aku mengalami kejadian hebat. Bertarung dengan para preman yang menguasai sebagian besar daerah Jakarta. Dan menurut Mang Karta mereka hanyalah pion. Karena dalang yang sesungguhnya masih ada di tempat yang gelap. Kupikir Codet adalah target utamaku. Ternyata bukan. Lalu siapa orang itu? Lamunanku buyar, terdengar ketukan pintu dari ruang kerjaku. Aku bangkit membuka pintu ruang kerjaku. Kupersilahkan Bu Dhea yang berdiri di depan pintu untuk masuk ruanganku.

"Tidak nyangka ternyata Bos baru saya seorang jagoan hebat dan juga anaknya Kang Gobang. " kata Bu Dhea kagum.
"Bu Dhea kenal dengan ayah saya?" tanyaku.
"Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Kang Gobang jagoan legendaris yang sangat ditakuti kawan maupun lawan. Tapi saya sering mendengar namanya. Kalau dengan Pak Karta, dulu saya beberapa kali bertemu." kata Bu Dhea menjelaskan.
"Oh iya Pak. Ini perkiraan kerugian kita hari ini." kata Bu Dhea menyerahkan kertas berisi perincian kerugian yang diakibatkan perkelahian tadi.
"Jangan panggil saya Pak. Saya kan masih muda." kataku protes.

"Iya maaf. A Ujang. A Ujang terlihat tegang dan lelah. Mau saya panggilin gadis pemijit A? Tinggal pilih aja A. Biar A Ujang rileks." kata Bu Dhea menyodorkan album photo gadis gadis di sini.
Aku membuka album photo yang memajang wajah wajah cantik penghuni Club ini. Tapi aku tidak tertarik sama sekali. Aku lebih tertarik dengan tubuh montok Bu Dhea, apa lagi dengan ukuran teteknya yang jumbo. Kalaupun waktu itu aku terkesan menolak ajakan Bu Dhea, karena nama Codet merusak seleraku.
"Kenapa bukan Bu Dhea saja yang memijit saya?" tanyaku iseng. Mungkin ajakannya yang kemarin malam masih berlaku.
"Sya gak bisa mijit badan, bisanya mijit kontol pake memek aa." kata Bu Dhea vulgar. Kemudian dia berdiri dan keluar meninggalkanku sendiri.

Wah, ternyata ajakannya yang semalam sudah tidak berlaku. Atau mungkin dia balas dendam karena semalam aku telah menolaknya. Dasar nasib, aku kurang beruntung. Tiba tiba Bu Dhea kembali masuk tanpa mengetuk pintu. Lalu mengunci pintu ruangan kerjaku. Bu Dhea menghampiriku, menarik tanganku masuk kamar tempat istirahatku.
"Buka dulu bajunya, A. Nanti kusut dan bau parfum Dhea nempel di baju. " kata Bu Dhea yang memberi contoh dengan membuka baju setelan kerjanya hingga wanita berwajah mirip Ayu Azhari itu bugil.
Aku senang karena Bu Dhea memperingatkanku. Kalau aku ketahuan selingkuh, bisa terjadi perang di rumahku. Aku segera membuka seluruh pakaianku sementara mataku tertuju ke payudara Bu Dhea yang benar benar besar. Aku menghampiri Bu Dhea setalah tubuhku polos. Kuremas teteknya yang besar dan terawat sehingga bentuknya tetap indah dan mempesona.

"Idih A Ujang Ujang maen remes tetek aja. Kontolnya gede amat!" kata bu Dhea takjub melihat ukuran kontolku yang sudah ngaceng sempurna.
Dhea mendorong tubuhku rebah di atas spring bed kecil. Dhea kemudian merangkak di atas tubuhku. Lalu mencium bibirku dengan bernafsu, aku membalasnya dengan senang hati. Tanganku meremas pantatnya yang sekal dan berisi. Bu Dhea mulai menjilati belakang telingaku membuatku merinding nikmat. Lidahnya menjilati setiap bagian leherku dengan ganas. Seperti seekor kucing yang sedang menjilati anaknya. Begitu ahli Bu Dhea mempermainkan birahiku. Lidahnya menjalar ke dadaku, dengan teliti Bu Dhea menjilati setiap bagian dadaku tanpa menyentuh putingnya. Bu Dhea menggeser posisi tanganku sejajar dengan kepalaku sehingga ketiakku terbuka. Dan hal yang tidak kusangka terjadi, Bu Dhea menjilati ketiakku membuatku geli geli nikmat. Jilatannya beralih ke ketiakku sebelahnya tanpa merasa jijik. Puas menjilati ketiakku, lidahnya kembali menjalar di sekujur dadaku dan ahirnya sampai pada putingku yang sudah menjadi sensitif.

Jilatannya kembali bergerak turun ke arah perutku, menggelitik pusarku dengan liar membuat birahiku semakin membumbung tinggi. Bu Dhea benar benar binal. Berbeda sekali dengan Lilis yang berusaha mempraktekan apa yang dibacanya dari cerita porno tentang mandi kucing. Jilatan Lilis terasa kaku dan terburu buru. Dan perbedaan lainnya adalah, Dhea melakukannya dengan binal dan kepuasaan sex semata. Sedangkan Lilis melakukannya dengan cinta dan kasih sayang untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Puas bermain dengan perutku, lidahnya bergerak turun ke samping kontol dan pelerku tanpa menyentuhnya. Nafasnya yang halus mengenai kontolku yang terasa semakin sensitif. Dhea benar benar mempermainkan birahiku. Lidahnya bergerak semakin turun hingga pahaku. Dhea melebarkan pahaku, dia membungkuk menjilati bagian dalam pahaku kiri dan kanan. Sekujur tubuhku merinding hingga ubun ubun. Dan saat lidah Dhea mulai menjilati pangkal kontolku, tanpa dapat kutahan, tubuhku menggeliat oleh rasa nikmat yang luar biasa. Seperti orgasme tanpa mengeluarkan pejuh. Lidahnya liar menjilati batang kontolku lalu melahapnya dengan bernafsu. Mulut Bu Dhea mengocok kontolku sambil menghisapnya.
"Sudah Bu nanti keburu keluar...!" kataku menyerah kalah.

Bu Dhea tersenyum menatapku. Dia berjongkok di atas kontolku yang masih dalam genggamannya. Perlahan pinggulnya turun, memeknya yang sudah basah dengan mudah menelan kontolku.
"Bu ko langsung dimasukin? Saya pengen jilatin memek Bu Dhea." kataku melihat memeknya yang menelan kontolku. Begitu bersih tanpa jembut yang rutin dicukurnya.
"Nanti aja A. Saya mau ngasih hadiah karena A Ujang sudah bisa ngalahin Codet. Sekarang A Ujang nikmati saja jepitan memek Dhea." kata Bu Dhea mulai mengocok kontolku.
Bu Dhea menyodorkan tetek jumbonya yang harum ke mulutku, tanpa penolakan aku melahap pentilnya dengan rakus. Sementara pinggul bu Dhea bergerak makin cepat memompa kontolku yang sangat keras seperti pentungan hansip.
"Gila kontol kamu gede amat, belom pernah memek Dhea dientot kontol segede punya kamu." kata Dhea terus memompa kontolku. Sementara tetek jumbonya aku hisap dan kuremas.
Memek Bu Dhea jepitannya cukup kuat sehingga gesekan kontolku dengan dinding memeknya terasa nikmat. Tidak kalah dengan jepitan memek istriku dan calon istriku Lilis.

"Jang Dhea gak tahannnn kelllluarrrrr nikmat...." kurasakan tubuh Dhea mengejang menyambut orgasme pertamanya. Tubuhnya menindihku.
Aku memeluk tubuhnya erat, membiarkan wanita itu merasakan orgasmenya dengan tuntas. Setelah tubuhnya mengendur lemas, aku miringkan tubuh perlahan agar kontolku tidak terlepas dari memeknya. Ahirnya posisiku menindih Bu Dhea, perlahan aku mulai memompa kontolku mengocok memek Bu Dhea yang tampak sangat menikmati. Terdengar desis nikmat dari bibir sensualnya. Aku mencium bibirnya dengan bernafsu. Sangat bernafsu. Berbeda saat aku mencium bibir istriku dan Lilis, aku selalu melakukannya dengan selembut mungkin dan penuh perasaan.
"Ampunnn Aa. Kontolnya ennnnak banget." kata Bu Dhea sambil menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku di memeknya yang semakin basah.
Hingga akhirnya aku tidak mampu bertahan lama, tubuhku menegang disertai semburan pejuh dari kontolku.
"Buuuuu aku gak kuat. Kelllluarrrrr...." kataku sambil menghujamkan kontolku ke dasar memeknya.
"Dhea jugaaa kelllluarrrrr A. Kontol A Ujang ennnnak banget..." Dhea memelukku erat.

Jam 12 malam aku pamitan pulang ke Bu Dhea sebab menurut Bu Dhea, mendiang Pak Budi juga selalu pulang jam 12 malam. Tiba tiba aku teringat belum mencuci kontolku dengan sabun sehabis ngentot dengan Bu Dhea. Bahaya. Karena Lilis terbiasa mencium kontolku ketika pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan aku berdoa agar Lilis tidak terbangun saat aku pulang. Aku takut Lilis memeriksa kontolku dan mencium bau memek Bu Dhea di kontolku. Kalau dia mencium bau memek Bu Dhea, bisa runyam urusannya. Dia pasti marah besar. Ternyata doaku tidak dikabulbukan, mungkin karena aku belum mandi junub. Begitu aku masuk lewat garasi, ternyata Lilis sudah menyambutku di ruang keluarga. Senyumnya yang indah berubah sangat menakutkan buatku. Apa lagi kalau ingat ancamannya yang akan memotong kontolku kalau ternyata dia mencium bau memek wanita lain di kontolku.
"Aduh..." teriakku tanpa sadar memegang perutku yang tiba tiba terasa mulas.
"Kenapa A?" tanya Lilis hawatir melihatku yang kesakitan memegang perutku.
"Aa dari tadi nahan mules...!" kataku sambil berlari ke kamar mandi.

Aku terbangun oleh ciuman lembut di bibirku. Mataku masih terpejam membiarkan bibirku dicium. Dari wangi tubuhnya pasti Ningsih. Aku bisa membedakan bau tubuh Ningsih dan Lilis tanpa melihatnya.
"Aa sudah bangun belum?" suara Lilis bertanya ke Ningsih. Tepat dugaanku yang menciumku Ningsih.
"Ini lagi dibangunin Teh." jawab Ningsih kembali mencium bibirku dengan mesra.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membalas ciuman istriku tercinta. Aku tetap berpura pura tidur menggodanya.
"Ngebangunin A Ujang jangan dicium bibirnya, gak akan bangun bangun" kata Lilis suaranya semakin dekat.
Tiba tiba celanku ditarik ke bawah, otomastis kontolku yang selalu bangun di pagi hari keluar dari kukungannya.
"Nih begini ngebangunin si Aa." kata Lilis langzung mencaplok penisku. Tanpa dapat kutahan, aku mengerang nikmat.
"Aa jahat. Pura tidur." Ningsih mengomel dan mencubit tanganku. Lumayan sakit. Aku langsung memeluknya dengan mesra.
"A mandi dulu sana. Ambu mau pulang. Anterin ke terminal y!" kata Lilis, suaranya terdengar lembut.
"Minta tolong Mang Udin buat nganter sampe Garut. Kan kasian kalau Ambu pulang sendiri naik bis." kataku.
"A Ujang berangkat kerjanya naik apa?" tanya Lilis.
"Kan mobil ada dua nanti Aa nyari supir pengganti Mang Udin selama ke Garut. " kataku memberi solusi.

Selesai mandi aku menemui Mang Udin yang sedang membantu ibuku berjualan. Meminta tolong agar Mang Udin mengantar Ambu sampai Garut.
"Nanti yang mengantar Akang berangkat kerja siapa?" tanya Mang Udin.
"Nanti saya bicarakan dengan Mang Karta, kira kira siapa yang bisa ngegantiin Mang Udin sementara." kataku.
"Neng, Akang beberapa hari gak bisa bantuin Neng Kokom jualan gak apa apa kan?" tanya Mang Udin ke ibuku membuatku curiga ada apa apa dengan mereka berdua.
"Gak apa apa Kang. Kasian Ceu Imas kalau pulang ke Garut sendiriian." suara ibuku terdengar lembut membuat kecurigaanku semakin tebal.
"Ya udah Kang Ujang, Mamang siap siap dulu. Akang pamit ya Neng." Mang Udin berpamitan dan ibuku mendahuluiku menjawab ucapan salam Mang Udin.
"Ibu pacaran ya sama Mang Udin?" tanyaku terus terang.
Aku memandang wajah ibuku dengan seksama, di usia ke 40 ibuku terlihat cantik. Walau pakaian dan penampilannya sederhana hanya memakai bedak bubuk namun kecantikannya tetap menonjol. Bahkan banyak tetanggaku di kampung bilang kalau saja ibuku mau bersolek, kecantikannya tidak kalah dengan artis.
"Kamu ngeliatin ibu seperti itu Jang? Emang gak boleh kalau ibu nikah lagi" kata ibuku menggodaku.

Baru aku menyadari ibuku ternyata cantik. Tapi kenapa ayahku bisa menghianati ibuku. Tiba tiba aku teringat Ningsih, aku punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi aku juga akan menikahi Lilis yang wajahnya lebih cantik dari pada Ningsih, tapi kenapa semalam aku tergoda dengan Bu Dhea. Kalau dibandingkan dengan Ningsih, sepertinya lebih cantik Ningsih. Waduh, ternyata ini penyakit turunan. Semoga saja ke dua adikku yang cantik tidak mendapatkan suami sebejat ayahnya dan kakaknya.
"Jang kamu malah diam ditanya, Ibu." kata ibu membuyarkan lamunanku.
"Ibu masih muda, Ujang gak akan melarang Ibu menikah lagi. " kataku dengan tulus.
Sudah waktunya Ibuku bahagia dengan pria yang dicintainya. Apakah pria yang dicintai Ibu adalah Mang Udin?
"Ibu kenal dengan Codet?" tanyaku tiba tiba teringat Codet.
"Codet siapa?" tanya Ibuku heran.
Aku baru sadar, Codet adalah nama panggilan dan aku belum tau nama aslinya.
"Gak apa Bu. Ibu gak ke rumah Lilis? Kan Ambu sudah mau pulang." tanyaku mengalihkan pertanyaanku tentang Codet.
"Ibu gak tau kalau Ceu Imas mau pulang hari ini, kalau tahu ibu gak akan jualan." kata ibuku. "Teh, Ibu ke rumah Aa ya, kamu jaga sendiri dulu,ya!" kata ibuku ke adik pertamaku yang selalu dipanggil Teteh oleh kami.

Sepanjang jalan aku merangkul ibuku, entah kenapa sudah sebesar ini aku selalu merangkul ibuku setiap ada kesempatan. Di teras ternyata sudah ada Mang Udin yang sudah berganti pakaian.
"Mang Udin nama si Codet siapa?" tanyaku mengalihkan perhatian Mang Udin yang tertuju kepada ibuku.
"Komar," jawab Mang Karta singkat.
Wajah ibuku terlihat pucat mendengar nama Komar. "Komar temannya A Gobang. Dulu Ibu tinggal di Jakarta waktu pertama kali nikah. Codet sering datang ke rumah nyari ayahmu. Sampai suatu hari ayahmu datang saat Codet ada di rumah. Ayahmu marah besar. Komar wajahnya diiris golok beberapa kali. Ibu belum pernah melihat ayahmu semarah itu. Sejak itu Ibu memilih tinggal di desa." kata Ibuku menerangkan. Wajahnya terlihat sangat ketakutan mengingat kejadian di depan matanya. Pertama kali dalam hidupnya dia melihat darah berceceran.

Lanunan ibuku buyar saat Ningsih keluar menyambut kedatangan ibuku.
"Ibu kok gak langsung masuk?" Ningsih keluar lalu mencium tangan ibuku. Dirangkulnya ibuku masuk rumah.
Di dalam ternyata Ambu sudah siap pulang. Ibu dan Ambu saling berpelukan dan menempelkan pipi kiri dan kanan.
"Ceu Kokom, Abdi (saya) pulang dulu ke Garut. Nitip Lilis dan Ningsih Ceu.!" kata Ambu berpamitan.
Kami mengantar Ambu masuk mobil yang sudah disiapkan Mang Karta. Setelah mobil yang membawa Ambu pergi, Ningsih dan Lilis mengajak Ibuku masuk tapi ibuku menolak dengan halus. Ahirnya Lilis dan Ningsih masuk rumah.

"Jang ada rahasia yang mau ibu beritahukan padamu." kata Ibu setelah Ambu pulang dan Lilis serta Ningsih sedang sibuk dengan urusannya.
"Apa Bu?" tanyaku penasaran.
"Ibu curiga ayahmu belum mati. Waktu mayat ayahmu ditemukan wajahnya hancur dan mulai membusuk. Tapi ibu tidak melihat tanda hitam sebesar uang benggol di atas kemaluannya." penjelasan Ibu membuatku sangat terkejut.
"Itu sebabnya Ibu meminta tolong Mang Karta untuk menyelidikinya. Karena Mang Karta dan ayahmu adalah sahabat akrab sejak mereka kecil." kata ibu lagi.
Rahasia apa lagi? Kenapa hidupku berubah menjadi serumit ini. Apakah karena aku sudah melakukan ritual sesat yang menjadikan hidupku seperti ini?
"Jang Ibu jualan lagi." kata ibuku pamit. Mataku mengantar kepergiannya dengan jiwa yang terguncang.

"Bi, apa benar bahwa Ayahku masih hidup?" tanyaku ke Bi Narsih yang baru saja membuka pintu rumahnya.
"Teh Kokom yang bilang? Ini baru kecurigaan tapi belum terbukti. Kamu masuk dulu" kata Bi Narsih.
Aku duduk di ruang tamu sementara Bi Narsih membuatkanku kopi kesukaanku. Baru jam 2, Mang Karta masih lama pulangnya. Tidak lama Bi Narsih keluar membawakan kopi untukku.
"Setahun setelah kematian ayahmu, Mang Karta mendengar kabar ada seseorang yang juga hanyut pada saat ayahmu hanyut di sungai. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Sejak itu Mang Karta juga mulai curiga ayahmu masih hidup. Apa lagi Mang Karta ikut mengkafani mayat ayahmu yang sudah mulai busuk. Sedangkan menurut ibumu ada tanda hitam sebesar uang logam benggol di atas kemaluan ayahmu. Dan Mang Karta tidak melihat tanda tersebut di mayat ayahmu. " kata Bi Narsih.

Saat kami mengobrol tiba tiba Mang Karta masuk tanpa mengetuk pintu. Mukanya terlihat tegang.
"Kebetulan kamu di sini, Jang. Mang Karta dapat kabar Codet mati kecelakaan. Mobilnya tabrakan dengan truk. Kita kehilangan jejak lagi." kata Mang Karta marah.
"Kehilangan jejak apa Mang?" tanyaku heran.
"Jejak siapa di belakang semua ini. Kamu pikir sebuah kebetulan kamu bisa jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta?" coba kamu belajar berpikir Jang. " suara Mang Karta terdengar lebih keras dari biasanya.
Aku tersentak mendengar penjelasan Mang Karta. Berarti bukan sebuah kebetulan aku jadi Bos Club malam, ada yang sudah mengaturnya termasuk kematian Pak Budi.

Apakah Ritual Sex di Gunung Kemukus juga sudah diatur seseorang? Karena setelah ritual Mas Gatot dan Mbak Wati tiba tiba mempunyai kios besar dan pindah rumah lebih besar. Dari mana mereka mendapatkan uang sebanyak itu?
"Apakah Mang Karta curiga orang yang mengatur semuanya adalah ayahku?" tanyaku dengan suara bergetar.
Mang Karta tampak terkejut. Lalu menoleh ke arah Bi Narsih.
"Teh Kokom yang cerita." kata Bi Narsih menjelaskan sebelum Mang Karta bertanya.
Aku termenung mendapatkan kejadian yang tidak pernah aku duga sebelomnya. Kejadian yang membuatku shock. Kalau benar yang mengatur semuanya adalah ayahku, lalu tujuannya untuk apa? Aku benar benar marah. Berarti dalang di balik pembunuhan Pak Budi adalah ayahku. Lalu kenapa harus mengorbankan Pak Budi. Agar aku bisa mengambil alih Club malam miliknya mungkin. Tapi untuk apa.

"Mang Ujang mau ke rumah temen." kataku mencium tangan Mang Karta dan Bi Narsih.
"Kamu gak mau denger cerita Mang Karta?" tanya Mang Karta melihatku dengan penuh kasih sayang.
"Biar Ujang nenangin diri dulu." kataku sambil berjalan meninggalkan mereka.
Aku berpikir untuk mendatangi Mas Gatot dan Mbak Wati untuk membuktikan kecurigaanku. Apakah benar mereka juga terlibat. Lalu apa tujuannya menggiringku ke Gunung Kemukus? Rasanya tak masuk akal, dengan ritual Gunung Kemukus, hanya dalam waktu singkat kita menjadi kaya dan sukses. Ini hanya ada dalam cerita dongeng.
Dulu aku memulai ritual Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, maka penyelidikanku akan kumulai dari Mbak Wati juga. Tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk sampai kios Mas Gatot dan Mbak Wati, sekitar 30 menit aku sudah sampai.

Kios Mas Gatot semakin maju saja, sudah punya 4 orang pelayan. Jadi tugas mas Gatot hanya membuat bakso dan meracik bumbu. Hebat, dalam waktu singkat mereka sudah mempunyai pelayan. Padahal Mbak Wati baru 3 x ritual dan kehidupan mereka sudah berubah drastis. Melihat penampilan Mbak Wati yang semakin mencolok. Badannya dipenuhi perhiasan emas.
"Jang kok baru muncul lagi? Kirain sudah lupa." kata Mbak Wati menyambut kedatanganku.
"Mas Gatot ke mana Mbak?" tanyaku karena tidak melihat Mas Gatot.
"Di rumah sekarang aku dan mas Gatot bagian masak di rumah. Kios kan sudah ada pelayannya. Ke rumah yuk Jang. Mas Gatot sering nanyain kamu." ajak Mbak Wati.
Rumah Mba Wati tidak jauh dari Kiosnya. Rumah yang ditempatinya cukup besar dibandingkan saat dia ngontrak. Mas Gatot yang sedang duduk diluar kesenangan melihat kehadiranku. Kami duduk di ruang keluarga, masih seperti dulu kami duduk dilantai beralas tikar. Mbak Wati membuatkanku kopi walau aku sudah berusaha menolak tapi Mbak Wati memaksaku.

"Mas dulu yang nyuruh Mas ngajak aku ke Gunung Kemukus siapa? " tanyaku langsung pada tujuan kedatanganmu menemuinya.
Wajah Mas Gatot terlihat seperti terkejut mendengar pertanyaanku yang begitu tiba tiba.
"Gak ada yang nyuruh. Aku emang sudah niat nyuruh Wati ritual Gunung Kemukus biar cepat kaya. Alhamdulillah sekarang sudah terlihat hasilnya." kata Mas Gatot.
Aku tahu Mas Gatot berbohong karena saat dia bicara dia tidak menatap wajahku. Hal yang bukan kebiasaanya. Karena biasanya Mas Gatot selalu memandang wajah orang yang diajak bicara.
"Codet, bukan?" aku bertanya lagi. Entah kenapa aku mengucapkan nama itu.
"Codet siapa? Aku tidak kenal." kata Mas Gatot tanpa melihat wajahku.
"Ngomongin apa sich?" tanya Mbak Wati dengan membawa nampan berisi kopi
"ini loh Ujang tiba tiba jadi aneh. Dia bertanya siapa yang nyuruh kita buat ngajak dia ritual di Gunung Kemukus. " kata Mas Gatot
"Gak ada yang nyuruh Jang." kata Mbak Wati mencium bibirku dengan cueknya di depan Mas Gatot.

Aku baru ingat Mas Gatot CUKOLD, kenapa tidak aku manfaatkan untuk mengorek keterangannya. Aku membalas ciuman Mbak Wati dengan bernafsu. Tanganku meremas payudara jumbonya dengan keras. Karena Mbak Wati paling suka payudaranya diremas keras.
"Ujang payudara Mbak maen remes aja ada Mas Gatot juga." kata Mbak Wati melihat ke arah mas Gatot.
Ucapan yang sengaja ditujukan ke Mas Gatot agar semakin terangsang. Aku membuka baju Mbak Wati sehingga menyisakan BH dan celana dalamnya yang segera menyusul terlepas dari tubuhnya. Mas Gatot menyingkirkan gelas ke pojok ruangan.
"Mas liat si Ujang kurang ajar. Wati ditelanjangin." kata Mbak Wati ke Mas Gatot sambil merebahkan tubuhnya terlentang di antara aku dan mas Gatot.
Aku membungkuk menghadap ke arah mas Gatot, sambil aku menjilati puting payudara Mbak Wati yang sudah mengeras. Sementara jariku meraba memek Mbak Wati yang ternyata sudah basah. Dua jariku masuk ke memeknya sambil aku kocok kocok membuat Mbak Wati merintih keenakan.
"Mas memek Wati dikobel si Ujang." kata Mbak Wati histeris.

Tiba tiba aku menghentikan aktifitasku. Aku bangkit ke kamar mandi minta ijin mau kencing. Sehabis kencing kulihat Mbak Wati mengocok memeknya dengan jarinya sambil meremas payudaranya.
"Mas, aku mau pulang dulu ya!" kataku pamitan membuat Mbak Wati menghentikan aktifitasnya dan Mas Gatot terkejut mendengar aku mau pulang.
"Kok gitu Jang? Watikan belom kamu entot!" kata Mas Gatot keberatan.
"Niat saya ke sini pengen tahu siapa yang nyuruh Mas Gatot supaya ngajak aku ritual di Gunung Kemukus." kataku sambil berjalan ke ruang tamu.
"Pak Budi yang menyuruhku ngajak kamu ke Gunung Kemukus." kata Mas Gatot membuatku sangat terkejut.
"Apa Pak Budi?" tanyaku terkejut.
Hal yang masuk akal. Berarti yang memberi kios dan modal cukup banyak ke Mas Gatot adalah Pak Budi. Yang jadi pertanyaanku adalah untuk apa? Agar Lilis mau melakukan ritual denganku. Mungkin ini jawaban masuk akal. Tapi kalau ini jawabannya berarti tidak ada hubungannya dengan BIG BOS yang menurut kecurigaan Mang Karta adalah ayahku.

Kepalaku rasanya mau pecah dengan pikiran dan argumenku. Semuanya menemui jalan buntu. Apa lagi kematian Codet sudah menutup jalanku untuk mengetahui siapa dalang semua ini. Kutinggalkan Mas Gatot dan Mbak Wati yang mengomel karena hasratnya tidak tersalurkan. Jam di tanganku menunjukan angka 15:00. Aku masuk ke dalam wartel menelpon Bu Dhea mengabarkan tidak akan masuk kerja. Malu juga minta ijin tidak masuk kerja di hari ke duaku. Tapi tidak apalah, kan aku bosnya. Kepalaku benar benar tidak mampu berpikir lagi. Aku lebih cocok jadi bos Mie Ayam. Tidak perlu berpikir yang rumit rumit. Tinggal ngitung Mie habis berapa kilo, ayam berapa kilo dll. Simple, tidak seperti sekarang. Kepalaku mau pecah. Ahirnya aku sampai rumah tanpa aku sadari. Ternyata sebingung bingungnya aku masih ingat rumah. Tapi aku tidak langsung pulang melainkan ke rumah kontrakan ibuku. Ibuku terlihat sibuk menurunkan barang dagangannya dari gerobak di bantu adik tertuaku. Aku segera membantu mereka. Ibuku tidak banyak berkomentar, melihat wajahku yang terlihat kusut. Selalu begitu dari dulu, Ibu akan membiarkanku saat wajahku terlihat kusut. Toh pada akhirnya aku akan bicara mengeluarkan unek unekku.

"Kamu dari mana? Gak pulang ke rumahmu?" itu pertanyaan yang tadi dia ucapkan dan aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Selesai membereskan semua peralatan berjualan aku pulang. Aku berpikir bagaimana cara bertanya ke Lilis tanpa menyinggung perasaanya. Karena aku yakin, Lilis juga adalah korban. Apakah aku juga korban setelah aku mendapatkan banyak keuntungan dari semuanya. Entahlah. Otakku sudah tidak mampu lagi berpikir.
"Aa kenapa?" tanya Ningsih yang membukakanku pintu.
Aku tersenyum lalu mengecup bibirnya yang hangat dan terlihat selalu basah. Kurangkul pundaknya berjalan ke ruang keluarga, Lilis tanpak asik memeriksa tumpukan bon bon Toko Agen Sembako yang bertumpuk.
"Lilis waktu diajak Pak Budi ke Gunung Kemukus kenapa mau?" tanyaku sambil duduk di hadapannya.
Sejenak Lilis menatapku. Heran dengan pertanyaanku yang tiba tiba.
"Karena kata Pak Budi yang akan jadi pasangan Lilis A Ujang." kata Lilis sambil meneruskan memeriksa bon bon yang bertumpuk.

"A Ujang gak kerja?" tanya Ningsih menyenderkan kepalanya ke pundakku.
"Kata Bu Dhea gak usah tiap hari datang, semua urusan sudah ditangani Bu Dhea." kataku berbohong.
"Aa kok jadi kepikiran kita bisa ketemu di Gunung Kemukus ya?" kataku mulai memancing Ningsih.
"Lilis jadi heran kenapa A Ujang nanya masalah gunung kemukus?* tanya Lilis menatapku penuh selidik.
"Heran aja dengan nasib Aa yang ajaib, dari seorang penjual Mi Ayam keliling tiba tiba punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi akan menikahi wanita secantik Lilis. Dari seorang penjual Mi Ayam tiba tiba jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta." kataku.
Pikiran melayang kemasa masa sulit jadi kuli bangunan di Jakarta, tidur di bedeng berdesakan dengan beralas kardus. Meningkat jadi penjual Mi Ayam, tinggal di rumah petakan bersama beberapa orang. Tidur masih beralaskan kardus.

Setelah ritual di Gunung Kemukus kehidupanku berubah total Hanya dalam waktu 4 bulan kehidupanku berubah 180 derajat. Hanya bukan aku yang berubah, bahkan pasanganku Mbak Wati pun kehidupannya meningkat drastis.
"A Budi yang nganjurin Ningsih ke Gunung Kemukus. Katanya bisa menghilangkan semua kesialan Ningsih. Tadinya Ningsih gak mau Tapi lama lama kepikiran juga sampe kebawa mimpi ketemu kakek kakek yang nyuruh Ningsih ke Gunung Kemukus. Ahirnya Ningsih nelpon A Budi. Ningsih dianter ke Gunung Kemukus sama teman Pak Budi." kata Ningsih menjelaakan.
"Siapa yang nganter?" tanyaku agak cemburu. Pasti cowok.
"Bu apa namanya, Ningsih gak nanya. Orangnya seperti Ayu Azhari." kata Ningsih membuatku terkejut. Berarti Bu Dhea tahu tentang semua ini.
Kulihat Lilis tidak terkejut mendengar keterangan Ningsih, berarti Lilis sudah lama tahu.
"Lilis tahu hal ini?" tanyaku.
"Iya Lilis tahu. Emangnya kenapa A? Dari tadi A Ujang nanyain masalah ritual Gunung Kemukus. ?" tanya Lilis merasa curiga.
"Gak ada apa apa. Aa masuk kamar dulu ya mau mempelajari berkas berkas peninggalan Pak Budi." kataku berpamitan masuk kamar.

Di dalam kamar aku mengambil buku agenda peninggalan Pak Budi .Aku membaca buku agenda peninggalan Pak Budi, mungkin aku bisa menemukan petunjuk di dalamnya. Tapi nihil. Tidak ada petunjuk apapun di dalamnya. Aku hampir putus asa. Satu satunya petunjuk mengarah ke Bu Dhea. Harusnya aku tadi berangkat kerja jadi bisa mengorek keterangan darinya. Satu satunya cara untuk mengetahuinya adalah berhadapan langsung dengan si Dalang dan apa hubungannya dengan semua ini. Kalau aku harus menyelidiki niat Pak Budi yang mengatur aku agar melakukan ritual, kurasa adalah pekerjaan yang sia sia. Saat aku berpikir ke situ tiba tiba jatuh selembar kertas bukti tranfer uang sebesar Rp.xxx.xxxz.xxx jumlah yang sangat besar ditujukan untuk Mas Gatot. Juga ada rekening bukti transfer Tuan xxx sebesar Rp.xxz.xxx.xxx ke Pak Budi. Dan itu semua tidak tertulis di berkas pembukuan. Untuk apa Pak Budi transfer uang sebesar itu ke Mas Gatot? Dan jumlah yang sama ditranfer ke Pak Budi dari Bapak xxx. Berarti ada seseorang di balik ini semua. Lalu siapa? Ayahku? Sungguh tidak masuk akal bagi logikaku yang memandang segala sesuatu dengan lugas. Dan sekarang aku berhadapan dengan teka teki yang tidak aku pahami.

Keesokan harinya aku menemui Bu Dhea di Club. Tekatku sudah bulat untuk memberikan bukti transfer ke Bu Dhea.
"Bu Dhea tahu tentang ini?" tanyaku memperlihatkan bukti transfer yang aku temukan.
Bu Dhea menelitinya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Saya gak tahu Kang" kata Bu Dhea singkat.
"Bu Dhea tahu siapa yang ngirim uang ke mendiang Pak Budi?" tanyaku lagi.
"Kalo dari namanya seperti kenal Kang. Tapi sudah lama jadi agak lupa." kata Bu Dhea yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Sebenarnya ada apa Kang?" tanya Bu Dhea yang tiba tiba sudah duduk di pangkuanku dengan 2 kancing bagian atas kemejanya yang terbuka sehingga aku bisa melihat gundukan payudaranya yang putih.
"Bu saya lagi pengen konsen." kataku menolak dengan halus saat Bu Dhea mencium kuping belakangku. Entah kenapa aku tidak terpancing dengan godaan Bu Dhea.

Padahal tanpa digodapun setiap pria akan terangsang melihat kemolekan dan kecantikannya. Tapi sekarang pikiranku tertuju dengan teka teki yang tidak aku ketahui jawabannya. Aku tidak terbiasa berpikir sesuatu yang rumit.
"Kamu sedang berpikir tentang penyebab kematian Pak Budi ya?" kata Bu Dhea berbisik sambil menjilat belakang telingaku.
Kematian Pak Budi? Kenapa aku tidak berpikir ke situ. Aku lebih asik memikirkan urusanku sehingga lupa mengenai penyebab kematian Pak Budi. Bisa saja dia dikorbankan agar aku naik ke posisiku yang sekarang.
"Iya Bu Dhea. Apa Bu Dhea tahu penyebab kematian Pak Budi? Siapa yang terlibat dengan pembunuhan Pak Budi?" tanyaku.
Perhatianku kini teralih ke Bu Dhea yang sedang berusaha memancing gairahku.

Bu Dhea tidak menjawab, tanganya menyusup masuk ke balik kemejaku yang sejak kapan kancingnya terbuka. Tangannya memelintir puting dadaku yang sensitif sementara bibirnya begitu aktif menciumi leherku.
"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya. Itu kenyataan yang sebenarnya." kata Bu Dhea turun dari pangkuanku dan berjongkok di antara kakiku. Tangannya begitu lincah membuka ikat pinggang dan resleting celanaku.
"Tapi ada seseorang yang mengatur agar Pak Budi bunuh diri." melanjutkan perkataannya sambil mengeluarkan kontolku yang mulai terpancing gairahnya.
"Maksud Bu Dhea Pak Budi dibunuh, lalu dibuat seperti bunuh diri?" tanyaku teringat dengan film film yang sering aku tonton tentang pembunuhan dan korban pembunuhan dibuat seakan akan bunuh diri.
Bu Dhea tidak menjawab, mulutnya tersumpal kontolku yang semakin tegang, terusik oleh kebinalan Bu Dhea.

"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya yang dianggap telah menghianatinya karena mengirim photo saat mereka sedang bermesraan ke Orang Tuanya, sehingga orang tua Pak Budi meninggal terkena serangan jantung." jawab Bu Dhea sambil mengocok kontolku dengan cepat.
Kalau tentang photo aku sudah tau. Yang aku heran kenapa Bu Dhea tahu hingga sedetil itu. Dan itu menimbulkan kecurigaanku kepada wanita cantik bertubuh aduhai ini. Kewaspadaanku meningkat memperhatikan Bu Dhea yang kembali mengulum kontolku disertai kocokan di batangnya.
"Kang Ujang curiga saya terlibat?" tanya Bu Dhea sambil membuka rok dan celana dalamnya. Matanya menatapku dengan senyum menggoda.
Bu Dhea naik ke pangkuanku, tangannya meraih kontolku dan menerobos memeknya.
"Dhea tidak terlibat dengan rencana melenyapkan Pak Budi. Ada jaringan yang sangat kuat ingin melenyapkan Pak Budi." Dhea tersenyum binal. Tubuhnya bergerak memacu kontolku dengan liar.
"Buat apa Pak Budi dilenyapkan? Salahnya apa?" tanyaku berusaha mengimbangi gerakan liar Bu Dhea. Tanganku meremas pantatnya yang bulat berisi.
"Dhea gak tahu." Wajah wanita cantik itu terlihat begitu menikmati hentakan demi hentakannya yang berirama.
"Lalu kenapa kamu mengantar istriku ke Gunung Kemukus?" aku memegang pantat Bu Dhea dan bangkit berdiri.
Kuletakkan pantatnya yang besar di atas meja kerjaku. Akan kutunjukkan dominasiku kepadanya. Aku sekarang bukanlah pemuda lugu yang polos.

"Karena permintaan Pak Budi, rencananya Kang Ujang melakukan ritual dengan Bu Lilis dan Ningsih agar mereka hamil." jawab Bu Dhea.
Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku dengan keras. Menahan terpaan badai kenikmatan yang datang bertubi tubi, melambungkan jiwanya ke langit ke tujuh.
"Kenapa aku harus menghamili mereka?" tanyaku berusaha mengorek semua keterangan yang diketahuinya.
Aku terus menyeretnya dalam pusaran kenikmatan. Tidak kubiarkan dia beristirahat. Kontolku terus menohok bagian terdalam memeknya.
"Agar kamu bisa menikah dengan Ningsih dan otomatis akan lebih mudah mengawasimu." jawab Bu Dhea diiringi teriakan kenikmatan saat kontolku menghujam dasar memeknya dengan hentakan keras membuat matanya mendelik menggapai kenikmatan yang datangnya seperti ombak yang gulung gemulung tampa henti.
"Kenapa mereka harus terus menerus mengawasiku?" tanyaku marah.
Kutumpahkan semua kemarahanku dengan menusuk bagian terdalam memek Bu Dhea berulang ulang tanpa henti. Tak kuberi ampun wanita cantik itu dihantam badai kenikmatan bertubi tubi.
"Akuuu tidakk tahuuuu Kang. Tugasku yang harussssss mengawasimuu?" tubuh wanita cantik itu menggeliat, matanya terpejam dengan nafas tersengal sengal. Tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Siapa yang menyuruhmu?" kataku sembil menghantam dengan keras, menembakkan beribu ribu sel sel kehidupan ke dalam rahim Bu Dhea.
"Sang Dalang......!" teriak Bu Dhea menerima semburan sel sel kehidupan yang bergerak cepat masuk rahimnya.
"Siapa Sang Dalang yang kamu maksud?" tanyaku pelan. Staminaku sudah terkuras habis. Aku jatuh terduduk di kursi kerjaku yang empuk.
"Bu Narsih......!" Bu Dhea menjawab lirih.
Jawaban yang terdengar seperti suara petir yang menyambar di siang hari tanpa hujan.

Aku terhentak mendengar nama Bi Narsih, bagaimana mungkin wanita yang aku kenal bisa terlibat dalam sebuah rencana besar. Apa mungkin Bi Narsih yang menyebar photo mesum Pak Budi? Bu Dhea masih tergeletak di meja kerjaku, pahanya terbuka lebar mempertontonkan belahan memeknya yang membuka dan dari dalamnya perlahan mengalir pejuhku. Bu Dhea mengambil cairan pejuhku dan menelannya dengan lahap. Bu Dhea menatapku menggoda.
"Bu Dhea gak bohong kalau Bu Narsih yang mengaturku ke Gunung Kemukus? Apa dia juga yang menyebarkan photo photo Pak Budi?" tanyaku semakin penasaran.
Bu Dhea duduk di meja, kakinya kirinya menginjak sandaran tangan kursi yang aku duduki sehingga memeknya tepat menghadapku.
"Bu Narsih tidak terlibat dengan masalah photo, karena Bu Narsih dan Pak Budi sudah membuat kesepakatan untuk menyerahkan semua Club dan bisnis prostitusi ini ke Kang Ujang. Tadinya Pak Budi sudah berniat mundur dan menyerahkan semuanya ke Dhea, tapi Dhea menolaknya." kata Bu Dhea, jari kakinya membelai kontolku yang sudah kembali masuk sarangnya.
Kubiarkan saja jari kaki Bu Dhea membelai kontolku. Pikiranku lebih tertuju, bagaimana jadinya kalau waktu itu Ningsih ritual dengan pria lain lalu hamil. Bukankah rencana untuk menikahkan Ningsih denganku akan berantakan. Rencana yang cenderung ke arah judi.

"Kenapa Bu Dhea tidak mau mengambil alih bisnis hitam Pak Budi?" tanyaku heran.
Bisnis yang sangat menggiurkan dengan jumlah uang yang besar.
"Dhea tidak punya kemampuan berada di pucuk pimpinan. Kang Ujang akan segera tahu bisnis macam apa yang sekarang Kang Ujang jalani." kata Bu Dhea turun dari meja.
Segera dia memakai celana dalamnya setelah melihatku tidak merespon godaanya.
Hei, bagaimana dengan nasib Ratna setelah kematian Codet? Tiba tiba aku teringat dengan gadis yang sudah menjadi anak tiriku.
"Bu Dhea tahu di mana rumah Codet?" tanyaku ke Bu Dhea yang mau membuka pintu.
Wanita itu berbalik ke arahku, lalu diciumnya bibirku dengan bernafsu sementara tangannya meremas kontolku. Wanita yang hyper sex dan tidak pernah puas. Membuatku bergidik ngeri.

"Kang Ujang tentu menginginkan anak gadis Codet yang cantik cantik kan?" tanya Bu Dhea dengan kerling matanya yang binal. Bu Dhea mengangkat telpon lalu memencet tombolnya.
"Bawa burung burung ke ruangan Bos!" Bu Dhea memberi perintah ke seseorang.
"Setiap penguasa yang mati terbunuh oleh lawan lawannya, maka daerah kekuasaannya akan menjadi milik orang yang mengalahkannya. Termasuk anak dan istrinya bisa kita ambil kalau orang yang mengalahkannya menginginkannya." kata Bu Dhea menjelaskan tanpa kupinta.
Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan Bu Dhea. Baru saja aku mau bertanya, Bu Dhea sudah mulai menjelaskan.
"Codet punya 3 orang anak gadis yang semuanya sudah kita amankan. Sekarang tergantung Kang Ujang mau dijadikan apa mereka. Bisa saja mereka kita pekerjakan di Club." kata Bu Dhea.
Ratna pasti salah satunya Ratna. Hatiku bergetar mengingat gadis yang sempat kuanggap sebagai adikku. Lalu kenapa ke 3 gadis itu sekarang ada di sini? Apa yang terjadi, sebenarnya? Teka teki yang tidak pernah bisa kutebak.
Baru saja aku mau kembali bertanya, suara ketukan dipintu menghentikan niatku. Bu Dhea mempersilahkannya masuk.

Tiga orang pria berwajah sangar masuk dengan masing masing membawa seorang gadis dan salah satunya tepat seperti dugaanku adalah Ratna yang sekarang menjadi anak tiriku. Aku segera menghampiri Ratna yang menunduk ketakutan.
"Ratna kamu tidak apa apa? " tanyaku lembut. Ratna mengangkat wajahnya melihat ke arahku lalu langsung memelukku.
"A Ujang tolong Ratna !" kata Ratna menangis dalam pelukanku.
Bu Dhea menatapku heran. Beberapa saat kami saling bertatapan dengan pikiran berbeda. Akhirnya Bu Dhea berhasil mengendalikan dirinya, dia menyuruh ke 3 pria itu untuk menunggu di luar.
"Apa maksudnya Bu Dhea?" tanyaku setelah ke 3 pria itu keluar.
"Terserah Kang Ujang ke 3 gadis ini mau diapain. Kang Ujang sekarang yang jadi Bosnya." kata Bu Dhea singkat.
"Siapa nama kalian?" tanyaku ke dua gadis yang berdiri ketakutan. Gadis gadis belia yang cantik, bagaimana mungkin mereka mempunyai ayah berwajah buruk.
"Aku Rani dan ini adikku Rini" kata gadis tertua yang umurnya kuperkirakan 19 tahunan.
"Kalian boleh pergi aku jamin orang orangku tidak akan ada yang mengganggu kalian." kataku mempersilahkan mereka pergi. Ternyata mereka bukannya pergi, malah ke dua gadis itu memegang tanganku minta pertolongan.
"Tolong kami Kak, kami takut." kata ke dua gadis itu.
"Kalian bisa pulang ke rumah. Atau kalian mau aku antar?" tanyaku.
"Kami gak mau pulang ke rumah, nanti kami akan dijadikan pelacur oleh musuh musuh ayah kami. Ayah kami sudah meninggal, sudah tidak ada yang akan melindungi kami." kata Rani, gadis itu memohon.
"Iya Kak. Kami mau kerja apa saja buat Kakak, tapi jangan jadikan kami pelacur." kata Rini sambil menangis ketakutan.

Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku memutuskan untuk menitipkan ke dua gadis itu ke Anis. Setelah itu baru aku pikirkan rencana selanjutnya. Sekarang yang paling penting adalah membawa Ratna ke Anis. Malam itu juga aku berangkat ke Cirebon mengantarkan Ratna sekaligus menitipkan Rani dan Rini. Terjadi hal menjengkelkan ketika mobil sudah masuk daerah Cirebon, Rani meminta dicarikan hotel untuk menginap dia dan adiknya. Mereka akan menungguku di Hotel dan ikut pulang ke Jakarta. Padahal mereka sudah kusuruh pulang, tapi mereka memaksa ikut ke Cirebon dan tinggal dengan Ratna. Setelah perdebatan singkat, ahirnya aku menuruti kemauan mereka. Aku menyuruh Supir sekaligus pengawalku yang menggantikan tugas Mang Udin untuk sementara waktu. Sedangkan aku memilih naek becak ke rumah Pak Shomad.

Sampai rumah Pak Shomad jam 3 malam. Aku dan Ratna berjalan ke samping rumah, lalu mengetuk jendela kamar Anis perlahan.
"Anis buka pintu ini A Ujang." kataku mengetuk jendela kamar dan memanggil nama Anis beberapa kali.
"Iya A..!" terdengar Anis menjawab lalu membuka gorden jendela. Matanya terbelalak melihat Ratna bersamaku.
Aku menuntun Ratna kembali ke depan. Tidak lama Anis membuka pintu dan berteriak memeluk Ratna yang membalas pelukannya. Dari belakang aku melihat Pak Shomad dan istrinya yang terbangun dengan kedatanganku. Mereka terlihat terkejut melihar Ratna yang datang bersamaku. Pak Shomad menyuruh kami masuk ke ruang keluarga. Lalu memintaku menceritakan bagaimana kejadiannya sampai Ratna bersamaku. Awalnya aku agak ragu bercerita apa lagi kalau sudah menyerempet masalah Gunung Kemukus. Jadi masalah Gunung Kemukus sengaja aku lewati.

"Jadi sekarang kamu sudah menjadi Bos Club malam warisan kakak iparmu?" tanya Pak Shomad takjub dengan nasibku yang dianggapnya sangat beruntung.
"Hati hati A." kata Anis yang tampak sangat hawatir mendengar aku sudah menjadi Bos Club malam. Tentunya dia tahu resiko yang aku hadapi karena dia pernah menjadi istri Codet.
"Iya Pak sekarang Ujang sudah jadi Bos Club malam. Iya Nis. A Ujang akan selalu hati hati. Nanti sore A Ujang pulang lagi, belom bisa lama lama di sini. " kataku.
Wajah Anis terlihat kecewa. Pak Ujang menyuruh kami istirahat. Aku tidur di kamar dulu pertama kali aku menginap, sedangkan Anis menemani Ratna tentu mereka kangen. Jadi terpaksa aku harus tidur sendirian gak bisa nidurin istriku. Ternyata aku salah, tidak lama aku rebahan setelah memakai baju yang sudah disiapkan Anis. Anis mengetuk pintu memanggilku. Segera aku membuka pintu.
"Anis gak nemenin Ratna?" tanyaku heran sekaligus senang.
"Ratna nyuruh Anis nemenin A Ujang. Sore kan A Ujang sudah pulang ke Jakarta. A Anis takut." kata Anis memelukku dengan kencang. Rambutnya yang harum membuatku terangsang.
"Takut kenapa Nis?" tanyaku sambil balas memeluk tubuhnya yang montok.

Anis tidak menjawab, dia melepaskan pelukannya dan membuka pakaiannya hingga bugil.
"Takut orang yang sangat ditakuti Codet akan mencelakakan A Ujang." kata Anis sambil membuka seluruh pakaianku. Lalu berjongkok melahap kontolku yang sudah tegang.
Mataku terpejam menikmati lidah Anis yang mengelik menimbulkan rasa geli dan nikmat yang menjadi satu.
"A Ujang tahu siapa yang membunuh Codet?" tanya Anis berdiri menatapku.
Tangannya memeluk leherku.
Aku menggeleng, kuangkat tubuh Anis dan meletakkannya di atas kasur empuk. Aku mencium bibirnya dengan mesra. Berusaha mengusir pikiranku yang selama beberapa hari ini terasa kusut. Anis membalas ciumanku dengan mesra. Setelah selesai berciuman, Anis berbisik.
"Anis mencintai Aa." katanya sambil menciumi leherku. Bisikan Anis membuatku sedikit rileks setelah menghadapi berbagai masalah.

Anis tiba tiba mendorong tubuhku telentang dan menindihku. Aku kaget dengan kekuatan Anis yang mampu membalikkan tubuhku dengan cepat tanpa kusadari. Hanya seorang pesilat tangguh yang bisa melakukannya. Tiba tiba aku teringat dengan perkataan Bi Narsih yang menyuruh selalu waspada terhadap Anis. Tanpa dapat kucegah kewaspadaanku kembali meningkat.
"A Ujang kok wajahnya jadi tegang begitu?" tanya Anis yang heran melihat wajahku yang menjadi tegang.
"Gak apa apa cuma kaget Anis bisa ngebalikkin badan Aa dengan mudah. Anis bisa silat?" tanyaku mulai menyelidikinya.
"Setelah bercerai dengan Codet Anis belajar silat ke Pak Shomad." kata Anis berjongkok di atas kontolku yang masih tegang walau aku sempat kaget. Tanpa pemanasan, Anis masukkan kontolku ke bagian terdalam memeknya yang lembab.
Kembali tubuh dan pikirannku rileks oleh sensasi yang ditimbulkan oleh gesekan kontolku dan dinding memek Anis yang terasa nikmat. Kewaspadaan yang sempat timbul, hilang begitu saja.
"Ennak A....!" kata Anis terus memacu tubuhku dengan irama yang perlahan, lalu menjadi cepat. Anis begitu pintar memberikan kenikmatan yang berbeda.
"A, Anis gak mau kehilangan A Ujang. Anis gak mau anak kita lahir tanpa seorang ayah..!" kata Anis meraih tanganku agar meremas dadanya yang indah dan sekal.
"Anis hamil?" tanyaku.
Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Apakah semudah ini aku menghamili seorang wanita? Bisa saja dia hamil oleh pria lain, aku jangan terlalu percaya kepda Anis, itu yang Bi Narsih katakan padaku.

Kupeluk tubuh Anis, lalu aku balikkan seperti tadi Anis membalikkan tubuhku. Sekarang aku yang memacu tubuhnya yang terlentang pasrah.
"Terussss Aa. Ennak.!" Anis menatapku sayu, tangannya merangkul pinggangku yang memacu tubuhnya.
Hingga akhirnya aku meraih puncak kenikmatan tanpa dapat kutahan lagi. Bendunganku jebol membanjiri lobang yang menyimpan sejuta kenikmatan. Kami terbaring kelelahan setelah mengayuh birahi yang cukup lama di ranjang sempit yang sebenarnya diperuntukkan untuk satu orang.

"A, hati hati dengan seseoarang yang sangat ditakuti oleh Codet. Seseorang yang berulang kali berusaha dicelakai tapi orang itu tetap hidup tanpa cedera sedikitpun. Dulu Codet pernah berpesan ke Anis, apa bila terjadi sesuatu pada dirinya Anis disuruh minta perlindungan ke Kang Karta satu satunya orang yang bisa menghadapinya." kata Anis lagi.
Mang Karta? Kenapa harus meminta perlindunga Mang Karta? Kenapa semua masalah kembali ke orang orang terdekatku. Tiba tiba Ratna mengetuk pintu dan memanggil ibunya. Kami bergegas memakai pakaian kami. Anis membuka pintu kamar. Ratna langsung masuk tanpa dipersilahkan.
"A Ujang, eh salah. Pak kata pak Codet kalau terjadi apa apa dengannya, Ratna harus nyari Pak Ujang ngasih surat supaya diberikan ke Pak Karta." kata Ratna.
"Mana suratnya?" tanyaku. Ada rahasia apa lagi. Kenapa sekarang petunjuk mengarah ke Mang Karta dan Bi Narsih. Mang Karta dan Bi Narsih orang orang terdekatku. Ratna memberikanku sebuah surat yang ditujukan ke Mang Karta.
Jam 2 siang dengan naik becak aku ke hotel tempat menginap Rani dan Rini serta supirku.

Aku mengetuk kamar ke dua gadis anak Codet pelan. Tidak berapa lama pintu dibuka oleh Rani. Harus kuakui gadis ini cukup cantik dan paling menonjol adalah dadanya yang besar mengingatkanku dengan Marni walau dada Marni lebih besar karena sedang menyusui bayi. Aku duduk di kursi yang menghadap ke arah ranjang. Rini terlihat sedang asik membaca novel. Merekapun sudah berganti pakaian yang entah dia dapatkan dari mana. Seingatku semalam mereka hanya memakai pakaian dan membawa tas kecil yang biasa dibawa seorang wanita. Jadi aku yakin mereka tidak membawa pakaian kecuali pakaian yang mereka pakai.
"Dari mana kalian dapat pakaian baru?" tanyaku heran.
"Beli di pasar dianter Pak Supir." kata Rani.
Dia terlihat lebih tenang dari pada semalam. Mungki karena dia mulai mempercayaiku.
"Tadinya saya datang ke Club memang mau bertemu dengan Kang Ujang, tapi malah dicurigai dan ditangkap anak buah Kang Ujang. Mereka nganggap saya mata mata yang dikirim buat memata matai." kata Rani menjelaskan.
Berarti mereka sengaja datang mencariku untuk minta perlindungan dan diantarkan menemui Mang Karta. Ada permainan apa Mang Karta dengan Codet?

Kenapa semua masalah ini datang bertubi tubi dan aku tidak bisa menikmati apa yang telah aku dapatkan. Harta dan jabatan peninggalan Pak Budi tidak membuatku nyaman. Wanita wanita yang mengelilingiku justru membelengguku. Bahkan sex yang begitu diagung agungkan oleh para pemujanya, hanya mampu memberiku kenikmatan beberapa menit.
"Kok diam Kang? Apa kang Ujang juga tidak percaya pada kami?" tanya Rani
Aku hanya menatap gadis cantik, berbeda sekali dengan wajah ayahnya yang buruk. Kenapa pula Codet menyuruh anak anaknya mencariku? Apa benar untuk balas dendam atas kematian ayahnya seperti kecurigaan Bu Dhea. Jelas jelas aku tidak terlibat dengan kematian ayah mereka, bahkan aku tidak kenapa ayah mereka mati. Itu bukan urusannku. Aku hanya anak bau kencur yang dipaksa menghadapi situasi sulit seperti ini. Perlahan aku menggelengkan kepala berusaha membuang beban yang kurasakan.

"Kang Ujang juga benar benar tidak percaya kepada kami?" kata Rani sambil berusaha mendengar isak tangisnya yang mungkin akan pecah.
Hal yang tidak terduga terjadi, Rani tiba tiba membuka pakaiannya hingga bugil dan Rini mengikuti jejak kakaknya. Yang membedakannya adalah Rani tidak berusaha menutupi ketelanjangannya. Sedangkan Rini masih berusaha menutupi dada dan selangkangan dengan ke dua tangannya.
"Apa maksud kalian?" tanyaku. Pertanyaan bodoh yang tidak perlu jawaban.
"Kami akan menyerahkan keperawanan kami sebagai bukti bahwa kami butuh pertolongan Kang Ujang." kata Rani dengan suara yang kembali tegas. Kebulatan tekad yang luar biasa. Sebegitu luar biasakah masalah yang mereka hadapi sehingga harus menyerahkan keperawanan mereka.
"Kenapa kalian minta perlindungan? Memangnya nyawa kalian terancam? " tanyaku heran. Entah kenapa kontolku tidak terusik dengan tubuh indah ke dua gadis itu.
"Iya Ayah menyuruh kami ke Kang Ujang karena nyawa kami terancam. Cuma Kang Ujang dan Pak Karta yang bisa menyelamatkan nyawa kami." Rani menatapku dengan penuh harap.

Entah keberanian dari mana, Rini yang sejak kemarin hanya diam tiba tiba menghampiriku dan meraih tanganku yang terkulai di sandaran kursi. Tanganku ditempelkan ke memeknya yang tanpa bulu. Gerakan tangannya begitu kaku dan canggung.
"Akang boleh ngambil perawan Rini dan Kak Rani." kata Rini terdengar malu malu tapi keberaniannya mengambil keputusan mengalahkan rasa malunya yang besar.
Aku mulai tergoda, tanganku menyentuh memek seorang gadis perawan yang lunak dan hangat dihiasi bulu tipis yang jarang. Melihat keberanian adiknya, Rani menarik tanganku. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku berjalan mengikuti kemauannya menuju ranjang. Tiba tiba ketukan pintu kamar mengagetkan kami.
"Siapa ?" tanyaku sambil menyuruh Rani dan Rini memakai baju mereka.
"Saya Kang.!" kata Pak Supir membuatku menarik nafas lega.
Setelah Rani dan Rini berpakaian aku membuka pintu kamar
"Ada apa Pak?" tanyaku.
"Tadi saya nelpon Pak Karta, kita disuruh ke Bogor sekarang. Ada tempat untuk menyembunyikan anak anaknya Codet." kata Pak Supir.

Jam 5 sore kami berangkat ke Bogor. Perjalanan yang memakan waktu 4 jam. Sampai gerbang Tol Bogor jam 9 malam. Supir mengarahkan mobil ke alamat yang diberikan lewat telpon. Tentu saja Pak supir lebih tahu alamat yang dituju. Kami memasuki perkarangan rumah yang besar. Disamping rumah ada jalan dan pintu pagar tinggi sehingga tidak terlihat dari luar. Seseorang berlari membuka pintu sehingga mobil bisa masuk ke dalamnya. Ternyata di dalamnya ada rumah petakan berjajar saling berhadapan. Ada 10 rumah di setiap sisinya. Totalnya 20 rumah. Tanpa kusadari, hatiku gentar melihat beberapa orang berwajah sangar duduk duduk di teras. Mereka menatap kami seperti melihat sesuatu yang aneh. Rani dan Rini memegang tanganku kencang. Terlihat wajah mereka yang ketakutan. Tubuh mereka memeluk tanganku meminta perlindungan. Ternyata Mang Karta mempunyai tempat seperti ini yang seperti sebuah markas dengan penjagaan berlapis. Pak Supir mengajakku masuk salah satu rumah yang berada di tengah.

"Kang Karta nyuruh tunggu di sini. Besok Kang Karta ke sini." kata seorang pria berwajah sangar sambil memberikanku kunci rumah.
Rumah yang aku masuki mempunyai dua kamar tidur yang berdampingan. Perabotannya juga terbilang komplit, di ruang tamu ada kursi dan meja serta tv 21in.
"Kalian istirahat saja di kamar. Kalian aman di sini." kataku. Kata aman sebenarnya aku tujukan untuk diriku sendiri.
"Takut Kang." kata Rani. Tangannya memegang tanganku dengan erat.
"Kalian aman di sini." kataku berusaha meyakinkan mereka walau sebenarnya aku tidak yakin. Karena aku tidak bicara langsung dengan Mang Karta lewat telepon. Tapi lewat Pak Supir.

"Temenin tidurnya Kang." kata Rini gadis berusia 17 tahun yang sempat kuelus memeknya. Kalau saja Pak supir tidak mengetuk pintu, keperawanan dua gadis cantik ini pasti sudah hilang.
"Takut kenapa?" tanyaku heran. Toch rumah ini sudah terkunci. Tapi koncikan bisa didobrak. Entah siapa yang sebenarnya ketakutan. Mereka atau aku.
"Takut diperkosa Kang. Kang Ujang liatkan, tadi di luar semuanya cowok" kata Rani gelisah.
"Kalau kalian tidurnya aku temenin, nanti malah aku yang merkosa kalian." kataku berusaha mencairkan ketegangan.
"Gak apa apa kalau yang merkosa Kang Ujang kan tadi juga Kang Ujang udah ditawarin." kata Rini menunduk malu.
"Kang Ujang kebanyakan ngomong. Emang mau merkosa Rani apa Rini?" tanya Rani menjadi lebih berani.
"Rani dan Rini." kataku sambil menarik tangan ke dua gadis itu masuk kamar.

Aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang, berusaha menghilangkan rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Aku berusaha mengabaikan pikiran buruk terhadap tempat ini. Mataku terpejam merasakan tubuhku sedikit rilleks dan otot otot ditubuhku mulai mengendur. Kubiarkan ke dua gadis anak Codet dengan pikiran mereka. Spring bed terasa bergoyang ketika Rani dan Rini naik ke ranjang dan tidur di samping kiri dan kananku. Hampir saja aku tertidur kalau saja tidak kurasakan salah satu diantara gadis itu meraba kontolku yang masih bersembunyi di balik celana. Reflek tanganku meraih tangan yang meraba kontolku dan menoleh ke arah pemilik tangan. Ternyata Rini yang sudah dalam keadaan bugil berbaring di sisi kiriku. Di sisi kananku Rani juga sudah berbaring dalam keadaan bugil. Sebenarnya aku yang mau merkosa mereka atau mereka yang akan merkosa aku.
"Kok kalian pada telanjang?" tanyaku heran.
"Katanya Kang Ujang mau merkosa kami !" kata Rini agresif.
Gadis ini lebih agresif dari kakaknya. Rini membuka bajuku dan juga celanaku hingga bugil. Matanya terbelalak melihat kontolku yang masih setengah tegang.
"Ich, gede amat." teriaknya kaget.
"Ich, pasti sakit kalau masuk memek." kata Rani menutup mulutnya.
"Kaya kontol di film bokep." kata Rini memberanikan diri memegang kontolku yang semakin tegang melihat tubuh ke duanya yang bugil.
"Makin gede aja!" kata Rani ikutan memegang kontolku.
Kubiarkan saja ke gadis itu takjub dengan ukuran kontolku yang sudah berhasil menaklukan banyak wanita.

Kulihat Rini membungkuk mencium kontolku dengan bibirnya yang tebal, lidahnya terjulur menjilat, terlihat kaku dan canggung. Mungkin dia ingin praktekan pengetahuannya dari film film porno yang dilihatnya.
"Rini kok kamu jilatin gitu?" kata Rani yang terlihat risih melihat adiknya yang begitu nekat.
Aku menarik Rani ke pelukanku. Kucium bibirnya dengan bernafsu dan tanganku meremas payudaranya yang besar dan kenyal. Entah sejak kapan Rini berjongkok dan memegang kontolku yang digesek gesekan di belahan memeknya yang mulai basah.
"Aduhhh sakitttt.!" Rini merintih tertahan saat kontolku merobek selaput daranya. Aku melihat kontolku sudah terbenam di memeknya. Bukan aku yang merkosa tapi aku yang sedang diperkosa gadis belia itu.
"Rini gila kamu...!" kata Rani menoleh ke arah adiknya melihat kontolku sudah terbenam di memek Rini.
"Bukan aku yang merkosa adikmu. Tapi adikmu yang merkosa aku." bisikku di telinga Rani yang menunduk malu melihat kelakuan adiknya yang binal.

Rani mulai terpancing oleh kebinalan adiknya, dia menyodorkan payudaranya ke mulutku yang menyambutnya dengan bernafsu. Payudara terbesar ke dua setelah payudara Marni yang mengeluarkan ASI. Aku biarkan Rini memacu tubuhku karena aku begitu asik dengan payudara jumbo Rani yang sangat menggiurkan. Tanganku meraba memek Rani yang mulai basah karena terangsang dan akan memudahkan kontolku merobek selaput daranya.
"Kak Rani memekku sakit tapi enak...!" kata Rini yang semakin asik memacu tubuhku.
"Mau aku jilatin gak memek kamu?" tanyaku ke Rani.
Wajahnya langsung merah karena malu. Tapi dia mengikuti perintahku berjongkok di atas wajahku dan aku melahap hidangan yang tersaji dihadapanku dengan rakus. Tiba tiba Rini menekan pinggulnya semakin keras di iringi geliat tubuhnya menggapai puncak orgasme pertamanya. Hingga pada akhirnya gadis belia itu terkapar di sampingku. Nafasnya mulai kembali normal.

"Ayo Ran. Sekarang kamu masukin kontolku ke memekmu seperti Rini." kataku menyuruh Rani.
"Aku di bawah aja Kang." kata Rani berusaha menolak mengikuti jejak Rini memperkosa aku.
"Kan kamu yang minta diperawanin...!" kataku.
"Gak apa apa Kak. Sakitnya cuma waktu masuknya aja. Setelah itu enak banget." kata Rini memprovokasi kakaknya.
Akhirnya Rani mengalah, dia berjongkok dan memegang kontolku terus digesek gesekan ke belahan memeknya yang sudah basah karena jilatanku. Perlahan kontolku mengoyak selaput daranya yang lebih tipis dari milik adiknya.
"Aduh sakittt..!" Rani meringis merasakan benda asing masuk bagian tubuh terdalamnya.
Gadis itu terdiam, takjub dengan benda asing yang berada di dalam bagian terdalam tubuhnya. Matanya menatapku sayup. Perlahan Rani bergerak memacu tubuhku, seperti seorang joki yang belajar menunggang kuda. Gerakannya kaku dan canggung.

Rini agresif mencium bibirku, walau canggung dan kaku. Tapi ciuman seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya terasa nikmat. Aku telah menjelma menjadi seorang Pangeran yang sedang dilayani hasrat seksualnya oleh dua dayang pilihan. Rani berpacu dengan teratur dan lembut. Kebalikan dari adiknya yang binal dengan sisi liarnya yang mulai muncul. Hingga akhirnya aku menyerah, tubuhku terhempas oleh badai kenikmatan yang membawaku ke langit ke 7. Tubuhku menyemburkan beribu benih kehidupan ke dalam tubuh Rani yang menyambutnya dengan rintihan panjang. Ya pada saat bersamaan Rani terhempas oleh orgasme pertama dan terindahnya. Kami berpelukan menggapai kenikmatan yang hanya sesaat. Kenikmatan yang membuat kami mencapai puncak nirwana.

Pagi pagi ada orang yang menggedor pintu membangunkan kami yang sedang tertidur nyenyak setelah semalaman mengayuh birahi. Entah berapa kali aku menyemburkan benih benih kehidupan ke dalam tubuh Rani dan Rini secara bergantian sehingga aku kehabisan tenaga dan tidur dalam pelukan dua gadis cantik. Aku bangun begitu juga Rani dan Rini. Kami segera berpakaian. Aku menyuruh ke dua gadis itu tetap berada di kamar. Ternyata seseorang membawakan kami sarapan dan kopi. Mereka berpesan agar setelah sarapan aku ke halaman belakang karena akan ada yang harus dibicarakan. Setelah sarapan akupun pergi ke halaman belakang sendiri. Aku berpesan ke Rani dan Rini untuk tetap di dalam rumah. Di halaman belakang sudah berkumpul beberapa orang. Kuperkirakan ada dua puluh orang dan mereka semua memakai baju pangsi yang biasanya dipakai untuk berlatih silat. Beberapa orang di antara mereka sedang berlatih dengan temannya. Tempat ini seperti sebuah perguruan silat. Cuma anggotanya semuanya sudah berumur 30-50 tahun. Berarti aku yang paling muda dibandingkan semua yang hadir. Begitu melihat kehadiranku, mereka semua berhenti berlatih. Mereka menatapku. Mata mereka terlihat waspada melihat kehadiranku. Kewaspadaanku meningkat hingga ke level tertinggi.
"Ini anaknya Kang Gobang! Apa dia juga sehebat Kang Gobang?" tanya seseorang yang memandangku remeh.
Aku tersinggung mendengar orang itu begitu meremehkanku. Tapi aku juga tidak bisa sembrono memancing pertarungan terbuka apa lagi harus menghadapi orang banyak yang ahli bela diri.

Ritual Sex di Gunung Kemukus 9


Bandar Taruhan - Aku memeluk Lilis dengan bingung. Kubiarkan kakak iparku yang cantik menangis dalam pelukanku. Agar semua bebannya sedikit berkurang.
"A Budi, Jang....!" Lilis kembali menangis tidak bisa meneruskan perkataannya.
"Kenapa dengan A Budi, Lis?" tanyaku was was.
"A Budi ditangkep polisi di sebuah club malam di Jakarta. Club xxxxx itu tempat prostitusi terselubung kaum gay. Mereka sedang pesta sex dan narkoba Semalam Lilis ditelpon polisi." kata Lilis setelah bisa mengendalikan dirinya.
"Terus?" tanyaku kaget dan tidak tahu harus berkata apa.
"Sekarang A Budi sedang menjalani pemeriksaan. Kalau terbukti bersalah A Budi masuk penjara. Lilis takut Jang. Aduh maaf Jang. Kamu baru sampe belum duduk." kata Lilis setelah menyadari keadaanku yang baru sampai dan belum sempat duduk.
Ahirnya aku bisa duduk juga lega rasanya, apa lagi melihat istriku yang cantik keluar membawa kopi panas kesukaanku. Tanpa menunggu dingin aku meminum kopi sedikit. Segar sekali rasanya.

"Lis aku pinjem telpon buat nelpon Bi Narsih, siapa tau dia punya kenalan yang bisa bantuin buat nolong A Budi." kataku.
"Jangan Jang. Nanti Bi Narsih tau aib Lilis. Lilis malu Jang." kata Lilis mencegahku menelpon Bi Narsih.
"Terus kita harus bagaimana buat nolong Pak Budi?" tanyaku bingung.
"Biarin aja Jang. Yang penting jangan sampai kedengeran orang lain." kata Lilis sambil memeluk pinggangku.
Perempuan memang aneh tadi nangis. Sekarang bibirnya tersenyum bahagia. Sebenarnya apa yang dirasakan Lilis saat ini? Membingungkan.
"Eh Lilis lupa ada Ningsih." kata Lilis tertawa. "Maaf ya Ning." kata Lilis sambil pindah tempat duduk.
"Gak apa apa Teh." kata Ningsih.
Lilis berdiri menarik tangan Ningsih yang duduk agak jauh dariku diciumnya pipi Ningsih dengan penuh kasih sayang. Lalu dituntunnya tangan Ningsih agar duduk di sampingku.
"Suami baru dateng bukannya dipeluk." kata Lilis menggoda adiknya.

Aku melingkarkan tanganku di pundak istriku sambil kubelai rambutnya yang panjang dan halus. Kucium mesra pipinya yang halus. Pipinya terlihat semakin cuby saja. Bukan hanya Ningsih yang terlihat semakin gemuk, Lilis juga terlihat lebih gemuk mungkin karna kehamilan mereka.
"Aa mandi dulu sana terus istirahat. Pasti cape dari Gunung Kemukus ke sini kan jauh pasti A Ujang kurang tidur." kata Ningsih melihatku yang terlihat mengantuk.
"Iya Aa mandi dulu ya!" kataku beranjak bangun.
Selesai mandi dan ganti baju, Aku merebahkan tubuhku yang lelah si kasur empuk. Ningsih duduk di sampingku, bibirnya menatapku tersenyum. Diciumnya bibirku dengan mesra.
"Istirahat ya Sayang, Cintaku. Ningsih mau masak dulu." katanya sambil meningggalkanku sendiri.
Bangun jam 2 siang dengan tubuh segar, Ningsih dan Lilis langsung menyuruhku makan, mereka melayaniku dengan sangat baik, aku seperti raja yang dilayani oleh dua ratu.
Aku lupa seharusnya aku sudah lapor ke Bi Narsih tentang hasil penyelidikan tentang Codet ke Bi Narsih atau juga Mang Karta. Sekarang posisinya menjadi sulit, menelpon dari rumah ini pasti akan memancing kecurigaan Lilis dan Ningsih. Belom waktunya mereka tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Apa lagi aku juga harus merahasiakan pernikahanku dengan Anis. Harus tetap menjadi rahasia tidak ada yang boleh tahu. Kalau sekarang aku ke rumah Bi Narsih tentu juga akan menimbulkan kecurigaan. Masa baru pulang sudah mau jalan lagi. Belum lagi kios yang harus aku kelola dan menurut Ningsih sudah mulai buka sejak aku pergi. Ningsih menjaganya berdua dengan Lastri, hari ini Ningsih sengaja libur karna aku pulang. Aku juga belum menemui ibuku tercinta. Biarlah urusan laporan ke Bi Narsih dan Mang Karta aku lakukan besok.

Kadang menikahi Anis adalah keputusan yang sangat bodoh, dia orang yang meracun ayahku. Tapi menolak pernikahan itu juga bukan hal yang mudah. Aku sudah bisa merasakan kehebatan Pak Shomad. Kalau sampai menolak menikahi Anis, bukankah aku akan celaka saat itu juga. Bukan hanya menghadapi Pak Shomad, bisa jadi aku akan menghadapi banyak orang. Aku belum pernah bertarung di pertarungan yang sebenarnya apa lagi harus menghadapi lebih dari satu orang. Bukankah itu artinya mati konyol. Walau dari kecil aku berlatih silat Cimande yang asli dan tidak dipertarungkan di pertandingan resmi IPSI. Sejak pertama kali aku berlatih jurus, sudah langsung menghadapi lawan. Satu orang melancarkan pukulan dan yang lain akan menangkis lalu memukul. Selalu bergantian menangkis dan memukul. Dimulai dengan duduk sambil menangkis dan memukul. Lalu berdiri dengan kuda kuda, kemudian berlatih tendangan, barulah kami berlatih bantingan dll. Hanya ada 7 jurus yang aku ulang ulang selama belasan tahun. Tapi apakah ilmu silat yang aku pelajari bisa berguna menghadapi pertarungan sebenarnya? Pertarungan brutal dengan gaya yang berbeda. Tapi bukankah prinsip dasar ilmu bela diri di manapun ada 3?
1. Serangan, bisa berupa pukulan tangan maupun tendangan.
2. Menangkis serangan atau menghindari serangan.
3. Bantingan atau kuncian seperti yang diperagakan dalam ilmu gulat.

"Sayangku, cintaku. Kok Lilis perhatiin dari tadi kamu ngelamun ?" tanya Lilis memeluk leherku dari belakang. Diciumnya pipiku dengan mesra.
"Ujang lagi mikirin, apa ritual Ujang sudah benar benar sempurna apa belom." kataku sambil mengusap rambut Lilis yang panjang bergelombang. Di dalam rumah Lilis selalu melepas jilbabnya.
"Mudah mudahan sempurna A. " menjawab pertanyaan yang sebenarnya aku tujukan pada diriku sendiri.
"Mudah mudahan. Kamu makin gemuk aja Sih!" kataku sambil memperhatikan Ningsih yang baru duduk di depanku.
"Namanya juga orang hamil A. Pasti kegemukan. Teh Lilis aja kegemukan. Liat aja pipi Teh Lilis jadi tembem." kata Ningsih menunjuk Lilis yang berjalan dan kemudian duduk di sampingku.
"Biarpun Lilis jadi gemuk, tapi tetap cantik ya Jang.?" kata Lilis sambil melumat bibirku. Sementara tangannya meraba kontolku yang mulai bangkit.
"Ujang baru dicium aja kontolnya langsung bangun. Hihihi." kata Lilis menggodaku.
"Teteh yang punya aja belom megang." kata Ningsih cemberut.
"Iya adekku sayang. Tuch Jang. Ningsih minta jatah. Hihihi." kata Lilis sambil menghampiri Ningsih yang cemberut. Ditariknya tangan adiknya agar mendekat ke arahku.

Aku menarik tangan istriku hingga jatuh ke dalam pelukanku. Kulumat bibirnya yang mungil dengan mesra. Aku menumpahkan semua kerinduanku lewat kulumanku di bibirnya.
"Aa kangen !." bisikku lalu kucium belakang telinga Ningsih menggelitiknya membuat Ningsih tertawa geli.
"Geli Aa...hihihihi !" Ningsih menjauhkan kepalanya.
"Ngentotnya di kamar aja yuk A. Kalau di sini nanti Teh Lilis kepengen." kata Ningsih sambil melirik Lilis.
"Teh Lilis gak akan pengen. Paling juga suami Ningsih Teteh perkosa." kata Lilis menghampiri Ningsih lalu menggelitik perutnya.
Ninggsih menggelinjang kegelian di pangkuanku. Aku memegangnya erat agar tidak terjatuh.
"Sudah ah jangan becanda mulu. Emang badannya Ningsih enteng? Berat tau. Kita langsung maen bertiga aja biar gak saling iri." kataku sambil menarik tangan Lilis agar duduk di sampingku.

Kulumat bibir Lilis yang duduk di sampingku sambil memanggku istriku. Lilis membalas ciumanku dengan mesra, semua ingatannya terhadap suaminya hilang begitu saja. Kami saling berciuman mesra. Ningsih tidak mau kalah, dia menciumi kuping belakangku, lidahnya menjilat dengan lincah. Tiba tiba Ningsih turun dari pangkuanku, ditariknya celana panjang dan CD ku berbarengan, lepas lewat kakiku. Kontolku yang sudah mulai menegang, berdiri dengan gagahnya walau kekerasannya baru mencapai 80%. Melihat Ningsih membuka celanaku, Lilis ikut ikutan membuka bajuku. Ningsih mulai menjilati kantong pelerku hingga batang kontolku, lidahnya begitu lincah. Sedangkan Lilis menjilati dadaku dan menghisap hisap pentilnya. Aku benar benar dimanjakan oleh kakak beradik yang cantik. Mereka berlomba memberikanku kenikmatan surga dunia. Ningsih mengulum kontolku dengan lahap dan dia semakin ahli mempermainkan kontolku di mulutnya yang mungil, sehingga giginya tidak mengenai kontolku. Ningsih benar benar belajar cara memberiku kenikmatan. Sementara Lilis menciumi dadaku dan menghisap pentilnya dengan mesra menambah kenikmatanku semakin menjadi. Aku mengangkat wajah Lilis, lalu kulumat bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah. Kami berciuman dengan mesra menumpahkan kerinduan setelah hampir 2 minggu berpisah.

Aku merasakan kontolku sudah tidak disepong Ningsih. Pandanganku ke arah Ningsih terhalang wajah Lilis sehingga aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan istriku. Tiba tiba aku merasakan Ningsih naik ke pangkuannku. Kontolku di pegang dan menyentuh daging lunak yang lembab. Lalu kontolku memasuki lobang sempit yang hangat. Hmmm kontolku sudah masuk memek istriku.
"Aduh ahirnya memek Ningsih disodok kontol A Ujang lagi." kata Ningsih saat kontolku terbenam di memeknya yang sudah sangat basah.
"Ningsih udah ngeduluin aja!" kata Lilis sambil mencubit pelan pipi adiknya yang tembem.
"Biarin kontolnya A Ujang kan punya Ningsih." kata Ningsih tersenyum menggoda Lilis. Pinggulnya memompa kontolku dengan pelan dan berirama.
Perlahan aku meremas tetek istriku yang semakin membesar sejak kehamilannya. Ningsih mencium bibirku dengan penuh perasaan lidahnya menggelitik rongga mulutku.
"Ennnak A,...!" kata Ningsih sambil mempercepat goyangannya memacu kontolku.
Kulihat Lilis membuka pakaiannya hingga bugil, matanya nemandang cemburu melihat adiknya memacu kontolku.
"Ennnnak Ningsih. Kok memek kamu rasanya makin rapet aja..." kataku sambil memegang pantatnya yang bulat, aku membantu menggerakkan pantat istriku agar tidak terlalu capek karna kehamilan muda sangat berisiko.

Lama juga Ningsih memacu kontolku, dia bergerak begitu santai seakan ingin menggoda Lilis yang menyaksikan kami. Hingga akhirnya Ningsih tidak mampu menahan orgasmenya lagi. Dia mengeram kuat diiringi tubuhnya yang mengejang.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr ennnak...!" kata Ningsih sambil menghisap leherku. Ahirnya setelah badai orgasmenya reda, Ningsih turun dari pangkuanku.
Melihat kontolku yang basah oleh lendir memek Ningsih, Lilis segera berjongkok lalu menjilati kontolku dengan bernafsu. Tidak ada perasaan jijik menjilati lendir memek adiknya.
"Teh Lilis kontol Aa kan bekas memek Ningsih. Kok dijilat !" kata Ningsih melihat Lilis yang rakus menghisap kontolku.
"Biarin,...!" kata Lilis sambil bangun dan kemudia naik ke pangkuanku. Tangannya meraih kontolku, stelah pas pinggulnya bergerak turun menelan kontolku.
"Jang kontol kamu kok ennnak banget. Bikin Lilis ketagihan." kata Lilis sambil memacu kontolku. Nikmat sekali rasanya kontolku masuk di dua memek kakak beradik yang sama sama cantik.
"Lis terus goyang. Memek kamu ennnak..." kataku sambil meremas pantat Lilis yang sekal.
Semakin lama Lilis memompa kontolku dengan cepat tapi tetap lembut. Bibirnya mengulum bibirku dengan mesra tangannya memeluk leherku.

"Ennnnak A..... Lilis benar benar bahagia bisa selalu dekat dengan Ujang. " kata Lilis. Matanya yang sayu menatapku bahagia.
Setelah beberapa lama aku merasakan memek Lilis berkedut semakin kencang meremas kontolku. Matanya terpejam merasakan sensasi yang luar biasa.
"Jang Lilis kelllluarrrrr..... nikmat banget kontol kamu...." Lilis memelukku sangat erat dan saat yang sama kontolku menembakkan pejuh.
"Ujang jugaaaa Lissss ennnak...!" kami berpelukan erat menikmati orgasme yang dahsat.

"A bangun sudah jam 4, Aa mau ke pasar gak?" Ningsih membangunkan. Tangannya menggoyangkan tubuhku dengan pelan.
Aku menggeliat malas Ningsih duduk di pinggir ranjang dengan tubuh bugil menggoyang goyang tubuhku. Kulihat ke sampingku, Lilis masih terlelap dengan tubuh bungil. Semalam kami tidur bertiga atas permintaan Lilis. Aku bangun Ningsih mengajakku mandi bareng. Selesai mandi Ningsih membuatkanku kopi. Jam 4:30 aku berangkat ke pasar. Suasana jalan masih begitu sepi. Aku berlari lari kecil sambil menggerakkan tanganku ke samping. Sampai pinggir jalan raya tiba tiba dua orang menghampiriku dengan membawa pentungan kayu. Melihat gerak gerik mereka yang mencurigakan membuatku meningkatkan kewaspadaan.

Dan kecurigaanku terbukti, salah seorang tiba tiba menghantam kepalaku dengan pentungan kayu yang biasa digunakan untuk bermain kasti. Reflek aku menghindar ke samping, tapi belum lagi aku siap. Pria satunya menghantamkan pentungannya mengarah kepalaku. Sekali lagi aku bisa menghindar, mundur berusaha menjauhi ke dua orang itu. Tapi langkah mereka begitu ringan mengejar langkah mundurku. Mereka berdua sudah terbiasa dengan pertarungan jalanan, sehingga mereka bisa menduga apa yang akan aku lakukan. Kembali pentungan kayu itu mengarah kepala dan tulang igaku secara bersamaan, menutup semua gerakanku untuk menghindar. Benar benar serangan mematikan dan satu satunya cara menghindar yang paling mungkin aku lakukan adalah menangkis pentungan kayu yang mengarah ke tulang igaku dan membungkuk, sehingga pentungan yang mengarah kepalaku dapat kuhindari. Sementara aku membungkuk menghindari pentungan yang mengarah kepalaku, tulang kering tanganku beradu dengan pentungan kayu yang keras. Sakit sekali rasanya, tanganku seperti patah.

Tangan kiriku menangkis sambil menghindari serangan, sedangkan tangan kananku dengan sigap mengambil pentungan yang aku tangkis. Inilah jurus pertama yang aku pelajari, tangkisan yang dibarengi mengunci. Dan aku berhasil merebut pentungan bersamaan dengan serangan yang kembali mengarah ke kepalaku. Reflek aku menangkis dengan pentungan yang berhasil aku rebut. Dan orang yang pentungannya berhasil aku rebut tiba tiba melancarkan tendangan menyapu kakiku. Sapuan yang sia sia, kakiku sudah terlatih dengan kuda kuda cimande, tulang kering betisku sudah sangat keras karna bertahun tahun ditempa. Justru kakinya yang menyapu aku hantam dengan pentungan yang berhasil aku rebut membuat pria itu bergulingan menahan sakit.

Melihat temannya bergulingan menahan sakit, pria itu kembali menyerangku membabi buta membuatku kewalahan menahan serangannya, sehingga lupa prinsip dasar Cimande yang sudah aku latih bertahun tahun. Ketika menangkis, harus disusul dengan serangan. Aku terus mundur menghindari serangannya, hal yang tidak diajarkan dalam silat Cimande, karna dengan menghindar mundur, posisiku justru dalam bahaya. Dan ketika aku menyadarinya, aku jatuh tersandung batu. Melihatku terjatuh, pria yang menyerangku tidak memberiku kesempatan sama sekali. Kakinya menendang wajahku yang jatuh terduduk. Dalam keadaan terpepet kemampuanku yang sebenarnya kembali muncul. Aku merebahkan tubuhku ke belakang, kakiku menendang kaki kirinya membuat pria itu terjatuh. Pria itu berguling menjauhiku agar terhindar dari serangan susulanku. Aku tidak berani mendekatinya karna temannya sudah siap menghadapiku kalau.

Tiba tiba ada mobil berhenti dan ke dua orang itu masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa memandangi mobil itu berlari meninggalkanku. Siapa mereka? Apa mungkin anak buah Codet yang mau mencelakakanku? Lalu kenapa mereka meninggalkanku begitu saja, padahal di dalam mobil aku melihat beberapa orang. Kalau mereka mengerubutiku, bukankah aku benar benar celaka saat ini. Lalu kalau itu anak buah Codet, dari mana dia tahu tentang keberadaanku? Apakah Anis menghianatiku seperti dia menghianati ayahku? Tapi aku tidak menghianatinya seperti ayahku yang menghianatinya. Tadi dari kejadian ini aku sadar, kemampuan silatku masih belum teruji di pertarungan jalanan seperti tadi. Aku harus berlatih lagi dan harus meningkatkan kewaspadaanku. Terutama juga aku harus mulai memikirkan keselamatan keluargaku. Tapi bagaimana caranya melindungi keluargaku sedangkan aku tidak selamanya bersama mereka. Ingin rasanya aku kembali pulang ke rumah, tapi pasti akan menimbulkan kecurigaan. Dan kalau istriku dan Lilis tahu apa yang terjadi, tentu mereka akan sangat was was. Untuk sementara aku harus merahasiakannya.

Di pasar pikiranku tidak terlalu fokus menjaga tokoku. Bahkan beberapa kali aku salah mengambil permintaan pembeli, apa lagi aku belum hapal letak barang barang maupun harganya. Untungnya Lastri sudah hapal letak barang barang dan juga harganya. Aku berkali kali mengucapkan terimakasih dengan tulus ke Lastri. Tanpa dia, hari pertamaku berjualan akan berantakan.
"A sepertinya sedang banyak pikiran?" tanya Lastri saat tidak ada pembeli. Dia menatapku penuh selidik.
Aku menatap Lastri, berusaha mencari tahu apakah gadis ini bisa aku percaya dan bisa aku andalkan. Aku menarik nafas berusaha menarik kesimpulan walaupun mungkin kesimpulanku itu salah. Tapi aku tidak punya pilihan lain, selain bedusaha mempercayainya.

"Aku mau menceritakan sesuatu kepadamu. Tapi kamu harus berjanji untuk tidak menceritakannya lagi ke orang lain. Kamu harus bersumpah akan menjaga rahasia ini." kataku menatap Lastri berusaha menyakinkan diriku bahwa wanita ini bisa dipercaya.
"Lastri bersumpah akan menjaga rahasia A Ujang." kata Lastri mengucapkan sumpahnya.
Lalu aku mulai menceritakan semuanya kepada Lastri, dimulai dari terbunuhnya ayahku. Aku menceritakan semuanya hingga penyerangan tadi. Hanya pernikahanku dengan Anis yang tidak kuceritakan.
"A Ujang mulai sekarang harus hati hati. " kata Lastri dengan tatapan mata penuh kehawatiran.
Aku lega setelah menceritakan semuanya ke Lastri. Entah kenapa aku tiba tiba mempercayai gadis itu. Walau aku tahu dia tidak akan bisa membantuku. Satu satunya bantuan yang bisa diberikannya adalah urusan kios dan terbukti dia sangat terampil.

Jam 4 sore kios tutup, aku langsung ke rumah Bi Narsih untuk menceritakan kejadian yang menimpaku tadi pagi. Sampai rumah bi Narsih aku kaget bukan kepalang melihat dua orang pria yang menyerangku ada di ruang tamu sedang mengobrol dengan Mang Karta.
"Duduk Jang. Jangan takut, ke dua orang ini memang Mang Karta suruh untuk menyerang kamu tadi subuh. Biar kamu terbiasa dengan pertarungan jalanan dan juga mengasah kewaspadaan kamu." kata Mang Karta menjelaskan panjang lebar.
"Jadi, ?" tanyaku bingung.
"Selama ini Mang Karta maksa kamu belajar silat ke Abah Haji tujuannya biar kamu siap menghadapi semua kemungkinan. Bisa menjaga dirimu. Tapi sekarang kamu harus lebih siap lagi menghadapi pertarungan yang sebenarnya. Pertarungan yang liar. Makanya Mang Karta menyuruh Herman dan Jeger menguji kemampuan kamu. Mereka ini dulunya bekas anak buah kesayangan Ayahmu. Kamu juga masih kenal dengan orang ini kan?" tanya Mang Karta menunjuk seorang pria berumur 45 an yang dari tadi hanya duduk dan tidak sempat aku perhatikan.
"Mang Udin !" Ujarku kaget melihat kehadiran Mang Udin Tompel yang pernah bertemu denganku di Garut.

Aku menyalami ke 3 orang itu, para pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan Mang Karta. Walau usia mereka sudah berumur, aku yakin kemampuan bertarung mereka tidak diragukan. Terutama Herman dan Jeger, aku yakin kalau tadi mereka bersungguh sungguh tentu aku sudah celaka sekarang.
"Sudah dulu ngobrolnya, ini kopi dan pisang gorengnya dimakan." kata Bi Narsih keluar membawa kopi dan pisang goreng.
Kami meminum kopi dan makan pisang goreng yang dibawa Bi Narsih sambil menyusun rencana yang tidak sepenuhnya aku mengerti. Aku tidak tahu apa apa tentang dunia premanisme. Hidupku selama ini lurus dan cenderung monoton. Semuanya berubah setelah aku melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Jang si Herman ini jago taekwondo, dia megang pasar xxxx. Walaupun wilayahnya kecil, tapi preman preman besar segan sama dia. Dulu dia pernah bentrok dan dihianati oleh Codet sehingga mendekam di penjara selama 10 tahun. Baru bebas setahun yang lalu. Si Jeger dulu pernah jadi tangan kanan si Codet, tapi dalam sebuah transaksi Narkoba dia dihianati, sehingga mendekam di penjara 12 tahun. 6 bulan dia baru menghirup udara bebas. Kalau Mang Udin pasti kamu kenal. Adiknya dijerumuskan menjadi PSK oleh Codet. Kejadiannya 14 tahun yang lalu. Kamu jangan menganggap remeh kemampuan Mang Udin ini. Di antara anak buah ayahmu Yang paling tangguh adalah Mang Udin. Bahkan Mang Karta tidak bisa mengalahkan Mang Udin dalam pertarungan satu lawan satu. Dia menguasai Silat Sera yang sempurna." kata Mang Karta memperkenalkan teman temannya.

"Bagaimana dengan, Anis ?" tanya Bi Narsih kepadaku.
"Anis sudah mengakui bahwa dirinya yang mencampurkan racun." lalu aku menceritakan semua kejadiannya dengan detil, kecuali pernikahanku dengan Anis yang aku rahasiakan.
"Kamu harus hati hati terhadap Anis, bisa saja dia akan menikammu dari belakang." kata Bi Narsih mengingatkanku.
"Iya, bi!" kataku.
"Menghancurkan si Codet bukan hal mudah. Dia mempunyai jaringan yang kuat. Dia menguasai klub malam di beberapa tempat yang dijadikan sarang prostitusi dan peredaran Narkoba. Dia juga dilindungi orang orang penting di Jakarta. Selain orang penting, dia juga berhasil mengkordinasi sebagian besar preman di Jakarta. Dia sangat licik. Kita tidak bisa berhadapan langsung dengannya, kita bisa mati konyol." kata Mang Karta meneruskan.
"Tugas Ujang sekarang apa?" tanyaku bingung. Otakku tidak mampu berpikir. Aku terlalu naif untuk urusan seperti ini.
"Mang Karta sudah berhasil membongkar kedok Club xxx, salah satu club milik Codet. Ini akan membuat Codet marah dan bisa mengalihkan perhatian dia." kata Mang Karta tidak menjawab pertanyaanku.
Club xxx, bukankah itu club tempat Pak Budi diciduk polisi. Bahkan sampai sekarang Pak Budi masih belum keluar. Ternyata Club itu milik Codet.

7 hari setelah berkumpul di rumah Mang Karta.
Di kios aku lega melihat hasil kerja Lastri yang sangat bagus. Sejak 5 hari yang lalu semua urusan Kios aku serahkan ke Lastri, dari mulai menyusun pembukuan, keuangan dan keluar masuknya barang semua bisa dijalankan dengan baik. Aku juga menambah pekerja yang akan membantu semua pekerjaan Lastri. Sebenarnya ini cukup beresiko, bagaimana kalau ternyata Lastri tidak jujur dan menggelapkan keuangan? Kios ini akan bangkrut. Tapi semuanya sudah aku pikirkan. Ada rencana besar lainnya, yaitu balas dendam. Kata yang terdengar aneh buatku. Jujur, rencana balas dendam jauh dari pikiranku. Kalaupun Balas Dendam menjadi tujuanku, karna aku ingin membalas budi ke Mang Karta dan Bi Narsih. Hal yang yang paling aku takuti sekarang adalah mati muda. Bagaimana anak yang dikandung Ningsih kalau aku mati? Untung saja Mang Karta ada. Bi Narsih memberiku tungas ringan, yaitu mendekati anak si Codet. Aku melhat foto yang kupegang.

Namanya Sisca, anak pertama Codet dari istri pertamanya. Seorang Mahasiswi di salah satu Univ Swasta di Bogor. Cantik juga, walau masih lebih cantik istriku. Mendekati seorang gadis, terdengarnya mudah. Tapi menurutku itu hal yang sulit. Aku belum pernah mendekati seorang gadis apa lagi harus mengejarnya. Selama ini aku mendapatkan kemudahan lewat ritual Sex Gunung Kemukus. Tanpa basa basi dan proses yang berbelit.
"Jang kok dari tadi melamun terus?" tanya Lastri mengagetkanku.
"Gak apa apa Las. Nanti malam kamu kuliah gak?" tanyaku berbasa basi.
"Enggak kan malam minggu. Emangnya kenapa?" tanya Lastri tersenyum manis.
"Tutup kios kita jalan jalan yuk!" ajakku.
"Gak mau. Ke kontrakan Lastri aja. Mumpung suaminya Mbak Heny keluar kota." kata Lastri.
"Kan ada Mbak Heny." kataku.
"Gak apa apa lagi pula kamu ditungguin Mbak Heny." kata Lastri lagi.
"Mbak Heny ada perlu, apa?" tanyaku heran.
"Pengen dihamilin kamu." kata Lastri setengah berbisik membuatku kaget. Wah, aku bakalan 3some lagi, nich.

Setelah menutup kios aku mengantar Lastri pulang ke kontrakannya yang tidak jauh dari pasar. Ternyata Heny kakaknya Lastri sudah pulang lebih dahulu.
"Wah Ujang ke mana aja? Lupa ya sama Heny? Kan kamu udah janji mau ngehamilin Heny!" kata Heny tanpa basa basi lagi.
"Mbak Heny A Ujang baru sampe udah ditagih janji. " kata Lastri tertawa geli melihatku yang salah tingkah.
"Eh sibuk Mbak." kataku agak risih mendengar perkataanya yang tanpa tedeng alingnya.
Mbak Heny tidak menggubris ledekan Lastri, dia duduk di sampingku, sementara Lastri masuk dapur mau membuatkanku kopi.
"Jang kok kamu tegang amat? Santai aja kan mau dikasih enak. Mau dapet dua memek." kata Heny sambil meraba kontolku yang masih tidur dari luar celana.
Lastri yang membawa kopi hanya geleng geleng melihat kelakuan Mbaknya yang gak tahu malu.
"Mbak jaga image apa. Ketauan amat pengen ngentotnya." kata Lastri mengingatkan Heny sambil meletakkan kopi di meja.
"Namanya juga ngebet pengen hamil." Kata Heny cuek.

Melihat kelakuan Heny yang kegatelan membuatku horny, aku memeluk wanita bersuami itu. Kucium bibirnya dengan bernafsu. Tanganku menyusup masuk ke selangkangannya yang ternyata sudah tidak memakai celana dalam, sehingga tanganku menyentuh jembutnya yang lebat dan belahan memeknya yang ternyata sudah basah.
"Memek Mbak sudah basah ya?" tanyaku sambil jariku menusuk masuk memeknya.
"Iya liat kamu datang memekku langsung basah." kata Heny membiarkan jariku mengocok ngocok memeknya. Heny membuka tank topnya dengan cuek.
"Mbak pindah ke kamar inikan ruang tamu." kata Lastri memperingatkan.
Kali ini Heny mau mendengar perkataan Lastri. Dia menarik tanganku masuk kamarnya. Tidak ada ranjang, hanya kasur busa besar di atas lantai. Heny membuka roknya sehingga kini dia benar benar bugil mempertontonkan tubuhnya yang langsing menggoda. Ada yang membuka bajuku dari belakang ke atas dan melepaskannya lewat kepala. Aku yakin itu Lastri. Karna Heny sibuk melepaskan ikat pinggang dan kancing celanaku lalu meloloskannya lewat kaki.

Heny berjongkok di hadapan kontolku, dilahapnya kontolku dengan rakus sambil tangannya mengocok ngocok kontolku, wanita yang sangat berpengalaman memanjakan kontol cowok. Lastri tidak mau kalah, dia menciumi bibirku dengan sepenuh hati, berbeda dengan ciuman Heny yang penuh nafsu. Ciuman Lastri seperti ciuman Ningsih dan Lilis yang penuh cinta dan.perasaan.
"Udah Mbak aku nanti keburu keluar...!" kataku menahan kepala Heny yang sedang mengocok kontolku.
"Iya Jang. Kalau mau ngecrot di memek aja biar aku cepet hamil." kata Heny sambil tidur terlentang dengan paha mengangkang lebar.
Aku segera membungkuk se selangkangan Heny, mulutku nyosor ke memeknya yang agak membuka dan lubangnya terlihat basah berlendir. Tentu akan terasa nikmat kalau aku seruput cairannya yang gurih.

"Ennnak Jang memekku diemut kamu terussss....!" Heny menggelinjang nikmat saat lidahku bergerak liar di lobang memeknya dan itilnya.
Sengaja ku permainkan birahinya agar mencapai puncaknya sebelom kontolku mengocok memeknya. Dan benar saja setelah lidahku menggelitik memeknya, tidak sampai lima menit, Heny menjerit mendapatkan orgasmenya.
"Jang akkkku kelllluarrrrr.. Gila lidah kamu..!" Heny menjambak rambutku dan membenamkannya di memeknya. Tubuhnya mengejang nikmat. Jambakannya lepas saat orgasmenya reda.
Aku bangkit menoleh ke arah Lastri yang sudah bugil dan duduk memperhatikan kami. Kutarik tangan Lastri agar tiduran di samping Heny. Aku membuka pahanya agar mengangkang lebar. Saat aku membungkuk untuk menjilatinya, Lastri menutupi memeknya dengan telapak tangannya.
"Memek Lastri jangan dijilatin. Memek Lastri kotor, pernah dientot puluhan kontol. Memek Lastri pernah jadi pelacur. Langsung entot aja." kata Lastri melarangku menjilati memeknya.

Aku mengalah, merangkak di atas tubuh mungil Lastri yang menuntun kontolku di pintu masuk memeknya yang ternyata sudah basah. Terbukti kontolku dengan mudah menerobos masuk memeknya dengan mudah.
"Ennnnak kontol A Ujang sampe mentok memek Lastri." kata Lastri matanya terlihat sayu, tangannya merangkul leherku.
Perlahan aku memompa memeknya dengan lembut selembutnya agar Lastri tidak ingat penderitaannya saat menjadi PSK di Gunung Kemukus. Aku yakin, setiap pria yang dilayaninya akan memperlakukannya dengan kasar dan terburu buru.
"Ennak A ngentotnya....!" Lastri mencium bibirku, terlihat rona bahagia di wajahnya yang cantik.
Pinggulku terus memompa memeknya dengan berirama berusaha memberikan kenikmatan maksimal ke wanita yang sudah sangat membantuku mengelola kiosku. Hingga akhirnya Lastri berteriak lirih menyambut orgasme yang begitu dahsat. Pinggulnya terangkat menyambut hantaman kontolku.

"A Ujang Lastri kelllluarrrrr... Nikmat...!" memek Lastri berkontraksi meremas kontolku dengan lembut disertai rasa hangat menyelimuti batang kontolku. Tangannya memelukku sangat erat.
Lastri melepaskan pelukannya setelah badai orgasmenya reda, aku bangkit dari atas tubuhnya lalu pindah merangkak di atas tubuh Heny yang langsung mengangkang siap menerima hujaman kontolku di lobang memeknya. Dengan mudah kontolku menerobos masuk memeknya yang sudah sangat basah. Pelahan aku mulai memompa memek Heny yang sangat becek sehingga jepitannya tidak begitu terasa.
"Cepetin ngentotnya Jang biar enak." kata Heny sambil menggerakkan pinggulnya naik turun dengan cepat.
Aku memompa memeknya dengan cepat dan bertenaga menimbulkan bunyi keciplak yang merdu. Aku melirik kontolku yang keluar masuk memeknya terlihat berkilat dan lengket oleh cairan memek Heny berpadu dengan lendir memek Lastri.

"Gilaaa Jang. Kontol kamu sampe mentok memek gue..." kata Heny sambil memegang pinggulku membantunya agar bergerak semakin cepat mengocok memeknya yang sudah sangat licin.
"Jang gueee kelllluarrrrr lagiii..." Henya menarik pinggulku agar kontolku terbenam hingga dasar memeknya.
Seyelah badai orgasmenya reda, aku kembali memompa memeknya membabi buta agar secepatnya meraih orgasme. Agak lama aku memompa memeknya dengan cepat, hingga ahirnya aku merasa kontolku berkedut akan menembakkan pejuh disertai rasa nikmat yang membuat tubuhku mengejang tanpa dapat aku tahan.
"Mbak, akkkku kelllluarrrrr...." tubuhku mengejang nilmat. Dan tidak lama kemudian.
"Gueeeee jugaaa keeelllluarrrrr...." Heny mengejang dan tangannya memeluk pinggangku dengan keras.

Jam 8 aku sampai rumah, betapa kagetnya saat aku melihat Ningsih yang membuka pintu sambil menangis.
"Ada apa Ning?" tanyaku hawatir.
Ningsih tidak menjawab, memegang tanganku masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ternyata Lilis juga sedang menangis membuatku semakin hawatir, apa yang sebenarnya terjadi?
"Abah Haji meninggal Jang..!" kata Lilis sambil memelukku.
"Abah Haji siapa Lis?" tanyaku bingung. Setahuku mertuaku belum jadi Haji.
"Ayahnya A Budi A.. Kena serangan jantung." Ningsih menjawab pertanyaanku.
Aku kaget mendengar berita mendadak ini. Saat itu juga tanpa meminta persetujuan Lilis aku menelpon Mang Karta memberitahu kabar duka ini dan sekalian minta tolong dicarikan supir untuk mengantar kami ke Garut malam ini juga dengan menggunakan mobil Pak Budi. Untungnya Mang Udin masih ada di rumah Mang Karta dan dia biasa jadi supir. Jam 10 kami berangkat ke Garut. Alhamdulillah perjalanan lancar, jam 3 pagi kami sudah sampai di rumah orang tua Pak Budi.

Sampai rumah, Ambu ibunya Pak Budi langsung memeluk Lilis, ke dua wanita itu berpelukan sambil menangis. Setelah bisa menguasai diri, Ambu mengajak Lilis masuk kamarnya, cukup lama mereka di dalam kamar, sedangkan aku dan Mang Udin langsung mengaji Yassin di samping jenazah. Tiba tiba Ningsih memanggilku dan mengajakku masuk kamar yang biasa di tempati Lilis. Kulihat Lilis sedang memperhatikan beberapa lembar foto.
"Ada apa Lis?" tanyaku was was.
"Abah kena serangan jantung setelah melihat foto foto ini. Foto yang sama seperti yang Lilis terima sehari sebelum Ujang pulang dari Gunung Kemukus." kata Lilis sambil memperlihatkan foto foto Pak Budi sedang bermesraan dengan seorang pria tampan yang pernah aku temui di penginapan.
Aku termenung menatap photo photo Pak Budi yang tergeletak di kasur. Ningsih memeluk Lilis yang terisak menangis pelan. Entah Lilis menangis untuk siapa. Untuk kematian mertuanya atau untuk
kemalangan dirinya.

Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan penyebab Lilis menangis. Aku lebih tertarik siapa yang mengirim photo photo ini ke Lilis dan Abah Haji sehingga Abah Haji terkena serangan Jantung. Apa maksudnya mengirim photo photo ini. Hidupku menjadi semakin ruwet. Aku memutuskan kembali ke depan mengaji Yassin di dekat mayat Abah Haji. Kusuruh Ningsih menemani Lilis. Jam 10 siang mayat baru dikubur setelah Pak Budi datang dari Jakarta. Rupanya dia sudah dibebaskan karna tidak terbukti dia sedang dalam pengaruh Narkoba. Dia sedang sial saja kena ciduk saat pesta sex dengan sesama jenis. Ya, Pak Budi seorang homo. Setelah jenazah Abah haji dikubur semua pelayat kembali pulang ke rumah masing masing kecuali Pak Budi yang tetap di makam menangisi kepergian ayahnya. Aku dan Mang Udin duduk di teras depan bersama para tetangga yang berkumpul, tiba tiba kami dikejutkan dengan teriakan Lilis yang sangat kencang. Kami berlarian masuk ke dalam, ternyata Lilis di kamar Ambu Haji yang tergeletak lah mungkin pingsan karna shock dengan kepergian Abah Haji.

Di sini kesigapan Mang Udin aku ancungi jempol, dia menyuruh orang untuk mengangkat tubuh Ambu Haji ke mobil dan yang lainnya disuruh menjemput Pak Budi di makam. Semuanya bergerak dengan cepat secepak Pak Udin melarikan mobil ke RS terdekat dengan ditemani aku dan Lilis yang sepanjang jalan menangis. Serangan jantung, kata seorang Perawat yang mendorong ranjang setengah berlari memasuki ruang ICU. Kami bertiga terduduk lemas di ruang tunggu. Waktu terasa berjalan sangat lama. Aku menarik nafas sedikit lega melihat Pak Budi berlari menghampiri kami.
"Bagaimana keadaan Ambu Jang?" tanya Pak Budi mengguncang tubuhku dengan keras.
Aku terdiam sulit untuk memberitahukan keadaan Ambu karna jiwaku sendiri cukup terguncang menghadapi semua masalah yang tiba tiba datang silih berganti. Mang Udin memeluk pundak Pak Budi, berusaha menenangkan Pak Budi yang sangat terguncang menghadapi situasi seperti sekarang. Ayahnya belum ada 24 jam mebinggal dan sekarang Ibunya sedang menghadapi masa kritis.

"Keluarga Ibu Haji xxxx! " seorang perawat keluar memanggil.
Aku menoleh ke Pak Budi. Kulihat wajah pria itu pucat, bibirnya bergetar tanpa suara. Panggilan perawat wanita seperti sesuatu yang sangat mengerikan.
"Iya Suster. Kami keluarga Ibu Haji." Mang Udin menjawab tenang.
"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibu Haji." kata perawat itu terdengar dingin, seolah berita yang disampaikannya sebuah berita biasa yang tidak akan membawa pengaruh apa apa.
Mendengar berita kematian Ambu Haji, Pak Budi terhuyung ke belakang lalu kehilangan kesadarannya. Beruntung Mang Udin bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua adegan itu terlihat seperti adegan sinetron yang diperlambat sebelum akhirnya pelukan Lilis menyadarkanku dari berita kematian Ambu Haji yang mengagetkanku.

Mang Udin membatingkan Pak Budi di bangku panjang, berusaha menyadarkan Pak budi dengan pijitan lembut di telapak kakinya, sedangkan aku dan Lilis mengurus biaya administrasi dan biaya Ambulan untuk membawa mayat Ambu Haji. Tidak lupa aku menelpon rumah Ambu mengabarkan kematiannya. Ini seperti kematian Romeo and Juliet yang bersumpah sehidup dan semati. Kematian yang membuat hati kecilku ketakutan. Aku belum siap untuk mati apa lagi meninggalkan istriku yang sedang mengandung anakku. Hari itu juga jenazah Ambu dimakamkan satu liang lahat dengan Suaminya seperti permintaan Ambu dan Abah yang semasa hidupnya selalu berpesan ke orang orang di sekelilingnya terutama ke Pak Budi agar saat mereka mati dikubur dalam satu liang lahat. Setelah seminggu kematian Abah Haji dan Ambu, kami berlima, aku, Mang Udin, Pak Budi, Lilis dan Ningsih pulang ke Bogor.

"Jang Aa mau membicarakan sesuatu." kata Pak Budi saat aku baru tiba dari Pasar.
Sudah seminggu sejak kepulangan kami dari Garut, Pak Budi tidak pernah keluar rumah. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar.
"Iya A." aku duduk di hadapannya.
"Bukan di sini Jang. Kita pergi ke suatu tempat apa yang akan kita bicarakan ini hanya menjadi rahasia kita berdua tidak boleh ada yang tau." kta Pak Budi terdengar sangat mencurigakan.
Sebenarnya aku ingin menolak ajakan Pak Budi yang mencurigakan. Entah kenapa sejak tahu Pak Budi adalah seorang Gay, aku selalu merasa risih setiap kali dekat dengan Pak Budi. Apa lagi sekarang dia mengajakku pergi, aku ketakutan sendiri. Bagaimana kalau dia memaksaku melayani nafsunya? Pikiran yang membuat perutku menjadi mual. Tapi, kenapa aku harus takut. Bukankah aku punya silat Cimande yang sudah mulai terbukti kehebatannya dalam perkelahian. Kalau Pak Budi macem macem, bisa kuhantam dengan satu dua pukulan.
"Awas jangan macam macam sama A Ujang!" ancam Lilis saat kami akan pergi. Tatapan matanya terlihat penuh kecurigaan. Pak Budi hanya tersenyum tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Wajahnya terlihat jauh lebih tua.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, situasinya menjadi sangat rumit. Posisiku, Lilis dan Ningsih menjadi terjepit kalau sekarang Pak Budi menceraikan Lilis. Toch selama ini Pak Budi menikahi Lilis karna orang tuanya, setelah orang tuanya tidak ada, maka sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Kalau Lilis dan Pak Budi bercerai, apakah Pak Budi akan menghentikan semua bantuannya kepadaku, sedangkan kios yang aku kelola masih seumur jagung. Yang menjadi pikiranku kalau Lilis dan Pak Budi bercerai bagaimana dengan nasib Lilis? Aku tidak mungkin menikahinya, dia kakak iparku. Lalu bagaimana nasib anakku yang dikandung Lilis? Pikirannku semakin gelisah karena sepanjang perjalanan Pak Budi tidak bicara sepatah katapun. Entah ke mana tujuannya. Ternyata Pak Budi membawaku ke sebuah hotel yang dulu membongkar rahasianya. Kewaspadaanku meningkat dengan sendirinya.
"Jangan takut Jang. Kamu bukan tipeku." kata Pak Budi tersenyum menenangkanku. Kegelisahanku terbaca oleh Pak Budi.
Pak Budi mengetuk pintu kamar. Seorang wanita membuka pintu kamar. Tanpa dipersilahkan, Pak Budi masuk, aku mengikuti masuk. Pak Budi menyuruhku duduk di kursi yang menghadap ranjang, sedangkan dia duduk di kursi sebelahku. Ada meja kecil di tengah kursi yang kami duduki. Wanita itu duduk di ranjang menghadap kami.

"Ini Bu Dhea, patner bisnisku di dunia hitam. Aku punya beberapa Club malam yang menyediakan wanita wanita penghibur di Jakarta. Atau bahasa kasarnya Aku Seorang Mucikari Sekarang posisiku sedang terancam oleh seseorang yang mulai main kotor." Pak Budi tidak melanjutkan perkataannya. Dia beralih melihat Bu Dhea wanita berusia 40an yang berwajah cantik seperti artis film.
"Semua berkas yang aku pinta sudah kamu siapkan Bu Dhea?" tanya Pak Budi.
"Sudah Pak." Bu Dhea menyerahkan setumpuk berkas tebal ke Pak Budi yang langsung membukanya dan menelitinya satu persatu.
Aku tidak tahu apa berkas yang dibaca Pak Budi, aku lebih asik memperhatikan wajah Bu Dhea yang cantik dengan hidung mancung. Wajahnya mengingatkanku dengan wajah artis cantik Ayu Azhari. Kulitnya yang putih semakin mempercantik wajahnya. Merasa kuperhatikan, Bu Dhea membalas tatapanku. Bibirnya tersenyum membuatnya semakin cantik. Entah aku salah lihat, Bu Dhea mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Tangannya meraba dadanya yang terlihat menonjol dari balik baju yang dikenakannya.

"Jangan ngeledek, Ujang ini cowok normal. Dia adik iparku. Jangan main api dengan adik iparku, kamu bisa klepek klepek." kata Pak Budi yang melihat Bu Dhea sedang menggodaku.
"Jang berkas ini isinya surat surat berharga. Berkas berkas ini adalah aset resmiku. Kamu berikan ini ke Lilis. Simpan baik baik. Sekarang kamu pulang. Tolong jaga Lilis, bilang aku mencintainya walau aku tidak bisa jadi pria. Aku ada urusan yang harus aku selesaikan." kata Pak Budi lebih tenang dari pada biasanya. Mungkin dia sudah bisa merelakan kepergian orang tuanya.

Lilis yang membukakan pintu untukku. Matanya menatapku penuh selidik. Lilis melihatku dari atas ke bawah berulang ulang kali,.
"Aku gak disuruh masuk Lis?" tanyaku heran dengan kelakuan Lilis.
Tanpa menjawab Lilis menarik tanganku masuk, setelah menutup pintu Lilis mengajakku ke ruang keluarga. Ningsih berdiri menyambut kedatanganku. Diciumnya tanganku. Berbeda dengan Lilis, dia menciumi sekujur tubuhku mencari bau aneh yang bukan bau asliku. Setelah puas menciumi sekujur tubuhku dan tidak mendapatkan bau yang aneh, Lilis menarik nafas lega.
"Ujang gak diapa apai A Budi kan? Itu apa yang kamu bawa Jang? " tanya Lilis melihat map berisi berkas yang aku bawa.
"Ini dari Pak Budi supaya disimpan baik baik." kataku menyerahkan berkas berkas. Lilis membawa berkas ke kamar.
"Ningsih masuk kamar dulu ya A !" kata Ningsih sambil masuk kamar.

Sejak pulang dari Garut, Ningsih sering uring uringan kalau dekat denganku. Bahkan tidak mau tidur denganku. Kata ibuku itu bawaan bayi, dulu juga waktu ibuku hamil aku, ibuku gak mau tidur dan dekat dengan ayahku. Keadaan Ningsih berbanding terbalik dengan Lilis yang selalu curiga kalau aku pulang. Dia akan menciumi sekujur tubuhku mencari bau parfum wanita lain. Bahkan dia memintaku menyanyikan lagu NINA BOBO kalau mau tidur.
"Jang sini donk !" Lilis memanggilku dari dalam kamar.
"Iya ada apa?" tanyaku sambil masuk kamar yang pintunya terbuka.
Lilis berbaring dengan tubuh bugil. Bibirnya yang sensual tersenyum menyambut kedatanganku.
"Buka baju dulu Jang." kata Lilis saat aku akan naik ke atas ranjang.
Aku segera membuka bajuku hingga bugil, kontolku sudah tegang sejak pertama melihat Lilis bugil. Entah kenapa nafsuku semakin besar saja sejak pulang dari Gunung Kemukus. Jangankan melihat wanita bugil, melihat wanita berpakaian agak terbuka saja bisa membuat kontolku tegang sempurna.

"Ujang belum mandi Lis!" kataku sambil naik ke atas ranjang memeluk Lilis.
"Gak usah mandi jadi kalau kamu selingkuh pasti ketauan." kata Lilis membalas pelukanku. Bibirnya menyambambar bibirku dengan mesra. Kami berciuman cukup lama.
"Jang Lilis makin cinta dan sayang sama kamu. Kalau Lilis cerai dengan A Budi Ujang nikahin Lilis ya, gak apa apa Lilis jadi istri muda Ujang juga." kata Lilis sambil mendorong tubuhku agar terlentang.
Lilis menciumi leherku dengan mesra, lidahnya menjilati kulit leherku yang masih dipenuhi sisa sisa keringat dan debu. Tapi Lilis seperti tidak perduli dengan hal itu. Kadang Lilis menggigit pelan leherku. Perlahan ciumannya turun ke dadaku, dijilatinya setiap permukaan dadaku dengan segenap jiwanya. Lalu hinggap ke puting susuku yang semakin mengeras. Menghisapnya dan mengkombinasi dengan jilatan yang membuat sekujur tubuhku merinding oleh rasa nikmat yang aneh. Rasa nikmat yang semakin membangkitkan birahiku hingga batas maksimal.

Puas memnggelitik dadaku, ciuman Lilis merambat turun ke bawah lalu hinggap di batang kontolku yang sangat tegang hingga batas maksimal. Lilis menjilati batang kontolku, membuatku mendesah nikmat. Terlebih saat kepala kontolku masuk dalam mulut hangat Lilis. Hisapan Lilis begitu lembut dan lidahnya lincah menggelitik kepala kontolku.
"Aduh Lisss. Seponganmu enak banget." kataku sambil mengusap rambutnya yang tebal dan halus.
Kepala Lilis naik turun mengocok kontolku di dalam mulutnya yang mungil. Aku semakin menggeliat mendapatkan kenikmatan luar biasa. Hampir saja pejuhku muncrat, untung aku bisa mengendalikan diriku sehingga pejuhku tidak jadi muncrat di mulutnya.
"Udah, Lilis. Gantian Ujang jilatin memek Lilis." kataku sambil mendorong kepalanya menjauhi kontolku.
"Ujang malam ini gak boleh jilatin memek Lilis, malam ini Lilis yang akan melayani Ujang." kata Lilis memegang kontolku, lalu berjongkok di atas kontolku yang mengarah tepat di lobang memeknya.

Lilis menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku. Ternyata memek Lilis sudah sangat basah. Lilis mulai memompa kontolku dengan lembut dan berirama, wajahnya terlihat semakin cantik. Matanya berbinar bahagia memandangku dengan senyum termanis yang pernah aku lihat dari bibirnya.
"Lilis bahagia Jang. A Budi mau cerain Lilis. Jadi Lilis bisa nikah sama kamu. Lilis bisa jadi istri sah Ujang." kata Lilis terus memompa kontolku dengan pelan.
Aku terkejut mendengar Pak Budi akan menceraikan Lilis. Bagaimana mungkin aku menikahi Lilis, dia adalah kakak iparku. Nanti sajalah aku pikirkan, sekarang aku sedang menikmati gesekan memek Lilis yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.
"Jang enak banget kontol kamu." kata Lilis sambil terus bergerak memompa kontolku.
Melihat dadanya yang semakin besar bergerak indah, membuatku menjadi gemas. Aku meremasnya perlahan lahan agar tidak menyakitinya. Lilis membungkukkan tubuhnya sehingga dadanya mendekati mulutku. Aku menyambutnya, kuhisap putingnya yang mengeras dengan rakus. Ternyata ASInya belum keluar. Padahal aku berharap ASInya keluar seperti ASInya Marni yang mengucur deras.

"Jang Lilis keluarrrrrrr ennnnak banget kontol Ujang." kata Lilis menekan pinggulnya, sehingga kontolku terbenam makin dalam. Memek Lilis berdenyut meremas kontolku dengan lembut.
Serelah badai orgasmenya reda, Lilis kembali memompa kontolku dengan lebih cepat dari tadi. Kadang pinggulnya bergerak memutar lain dari pada biasanya.
"Lilis gak mau tuker posisi?" tanyaku heran.
"Kan udah Lilis bilang, malam ini biar Lilis yang melayani,Ujang." kata Lilis sambil terus memompa kontolku sambil mengedut ngedutkan memeknya meremas kontolku. Nikmat sekali rasanya.
Lilis menciumi bibirku dengan mesra. Kami berciuman sambil berpelukan, sementara pinggulnya bergerak memompa kontolku dengan cepat dan berirama menimbukan bunyi merdu akibat hujaman kontolku yang mengocok memeknya. Batas antara cinta dan nafsu sudah lebur menjadi satu. Aku tidak tahu persetubuhan ini apakah ungkapan rasa cinta Lilis ke diriku atau sekedar pemuasan birahi yang butuh pelampiasan. Tapi yang jelas, kami sama sama menikmati sepenuh hati.

"Jang Lilis keluar lagi.....! " kembali lilis mendapatkan orgasmenya sementara aku belum juga mendapatkan orgasme.
Lilis menindihku pinggulku memompa memeknya dari bawah berusaha mendapatkan kenikmatan yang belum aku dapatkan. Perlahan Lilis mengimbangi pinggulku yang bergerak memompa memeknya. Pinggulnya bergerak lebih cepat dari tadi. Kami kembali berciuman sambil saling menggerakkan pinggul. Gesekan kontolku dan memeknya semakin membuat kontolku semakin sensitif. Hingga ahirnya kontolku menyemburkan pejuh yang cukup banyak ke dasar memek Lilis.
"Jang Lilis kelllluarrrrr lagiiii." saking hebat orgasme yang dirasakannya, Lilis menggigit pundakku sehingga mengurangi rasa nikmat orgasmeku.

Jam 3 pagi kami dikejutkan suara ketukan pintu yang cukup keras. Kewaspadaanku langsung meningkat. Lilis terlibat ketakutan memelukku.
"Gak apa apa Lis. Lilis tunggu di sini, biar Ujang buka pintu." kataku sambil memakai baju. Sebelum ke depan, aku mengambil pentungan hansip yang tergantung di ruang keluarga.
Ketukan itu kembali terdengar keras, aku mengintip lewat horden. Ternyata dua orang polisi yang mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu.
"Apa ini rumahnya Pak Budi Natapraja?" tanya polisi itu.
"Benar Pak. Ada apa Pak?" tanyaku was was.
"Pak Budi mengalami kecelakaan, jasadnya ada di kamar mayat di RS xxx. Kami harap pihak keluarga datang ke RS untuk mengidentifikasi mayatnya." kata polisi itu membuatku shock dan kaget setengah mati sehingga tidak bisa bicara sepatah katapun.
"Apa A Budi meninggal?" suara Lilis terdengar kaget.

Aku menoleh berbalik ke belakang, ternyata Lilis dan Ningsih sudah ada di ruang tamu. Lilis terlihat shock mendengar kematian suaminya yang tiba tiba, kematian yang berurutan dalam tempo 2 minggu. Tragis, sungguh tragis. Akhirnya aku ikut Polisi ke RS untuk mengidentifikasi mayat Pak Budi, sedangkan Lilis aku larang ikut karna kehamilannya masih muda. Ternyata benar, mayat yang dimaksud adalah Pak Budi. Dari rumah sakit aku dibawa ke kantor Polisi untuk memberikan beberapa keterangan yang dilakukan, karna ini bukan sekedar kecelakaan. Kronologi yang sebenarnya adalah, Pak Budi membunuh pacar prianya di sebuah hotel, menikam pria yang photonya membuat orang tua Pak Budi shock dan kena serangan jantung. Lalu setelah membunuh kekasih prianya, Pak Budi bunuh diri dengan cara memotong lehernya sendiri. Kejadian itu di dengar resepsionis hotel saat pria yang dibunuh berteriak meminta tolong. Di kantor Polisi aku menjawab semua pertanyaan polisi selama 1 jam. Semua keterangan dicatat. Setelah semua pertanyaan dianggap selesai, aku kembali ke RS untuk mengurus jenazah Pak Budi.

Setelah jenazah diotopsi dan atas pertolongan pihak RS. Jenazah dimandikan dan dikafani pihak RS. Jadi saat mayat dibawa pulang, tetangga tidak akan ada yang tahu penyebab kematian yang sebenarnya. Orang hanya akan tahu penyebab kematian Pak Budi adalah kecelakaan, termasuk juga Lilis tidak boleh tahu. Siang hari jenazah sudah boleh dibawa pulang dan di sholatkan di masjid dekat rumah. Masjid yang dibangun dengan biaya dari almarhum tanpa bantuan donatur lainnya. Kemudian jenazah di makamkan. Keesokan harinya Ambu datang sendiri tidak bersama Abah. kata Ambu, Abah masih harus mengurus pembagian harta peninggalan almarhum abah Haji. Karna Pak Budi sebagai ahli waris tunggal telah mendermakan semua harta kekayaan Abah untuk masyarakat kampungnya. Kecuali rumah dan 1 hektare sawah yang tetap dipertahankan Pak Budi.

Seminggu setelah kematian Pak Budi, Lilis mulai membuka berkas berkas peninggalan Pak Budi. Ternyata semua kekayaan Pak Budi sudah atas nama Lilis, hanya sebagian yang masih dalam proses balik nama.
"A gak nyangka niat Pak Budi yang mau menceraikan Lilis setelah melahirkan ternyata sebuah firasat." kata Lilis sambil membaca berkas berkas peninggalan almarhum. Sudah seminggu ini Lilis memanggilku dengan sebutan Aa.
"Jang setelah Lilis melahirkan kamu harus menikahi Lilis. Ningsih sudah bilang ke Ambu memberi ijin kamu menikahi Lilis." kata Ambu begitu tiba tiba, sehingga membuatku tersedak air minum.
"Ambu juga sudah tau semuanya, bahwa Lilis hamil anak kamu. Ambu juga sudah tau almarhum Budi itu seorang homo, dia menikahi Lilis hanya untuk menutupi kekurangannya. Kenapa Lilis yang dipilih jadi istrinya? Karna Lilis anak penurut." kata Ambu.

Aku tidak berani menolak, karena akan menyakiti hati Lilis. Tetapi secara hukum aku tidak bisa menikahi Lilis karena dia adalah kakak kandung Ningsih. Haram hukumnya memadu dua orang kakak berdik, kecuali aku bercerai dengan Ningsih. Tapi aku tidak mungkin menceraikan Ningsih. Aku sudah jatuh cinta pada istriku terlebih dia sedang hamil anakku. Seperti mengerti apa yang aku pikirkan, Ambu melanjutkan perkataanya.
"Kamu gak perlu menceraikan Ningsih buat menikahi Lilis. Lilis itu anak adik Ambu yang meninggal waktu Lilis berusia 3 tahun. Ambu yang merawat Lilis seperti anak kandung ibu." kata Ambu menjelaskan.
Karma, itu yang pertama muncul di pikiranku. Dulu ayahku menghamili Bi Narsih yang ternyata bukan adik kandung ibuku. Sekarang aku menikahi Ningsih dan sekarang harus menikahi Lilis, juga. Ruwet.

"Ningsih ikhlas dimadu A. Yang jadi madu Ningsih kan Teh Lilis. " Ningsih meyakinkanku.
"A Ujang harus mau nikahin Lilis." kata Lilis menatapku dengan senyum terindah yang pernah aku lihat di wajah Lilis. Semua beban penderitaan yang selama ini membayang di wajahnya telah sirna.
Saat kami asik ngobrol, tiba tiba telpon berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon. Hanya sebentar, lalu telpon dirutup kembali.
"A Bu Dhea tadi nelpon. Aa disuruh ngambil berkas almarhum jam 5 sore di tempat Aa ketemu Bu Dhea kemarin." kata Lilis.
Kewaspadaanku langsung neningkat makzimal saat nama Dhea disebut. Bukankah sebelum Pak Budi meninggal, sore itu kami bertemu Bu Dhea? Malamnya Pak Budi ditemukan meninggal. Menurut polisi, Pak Budi membunuh teman prianya, setelah itu Pak Budi menggorok lehernya bunuh diri. Bisa kejadiannya bukan seperti itu. Teman pria Pak Budi dan Pak Budi dibunuh oleh orang yang sama. Bukankah Pak Budi sempat mengatakan bahwa ada seseorang yang menikamnya dari belakang untuk merebut bisnis kotornya.

Aku ingin mengutarakan keberatan dan kenggananku untuk datang. Tapi begitu melihat wajah Lilis. Keberanianku timbul. Kalau benar mereka berniat mencelakakanku untuk menghilangkan bukti, ini saat yang tepat untuk menangkap mereka.
"Lilis kenal dengan Bu Dhea?" tanyaku ke calon istriku yang cantik ini.
"Kenal A. Bu Dhea orang kepercayaan almarhum dalam mengurus bisnisnya di Jakarta." kata Lilis tanpa menoleh. Dia terlihat asik mempelajari buku pembukuan toko toko agen Pak Budi.
Telpon kembali berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon yang berada di sampingnya. Terjadi percakapan singkat, lalu Lilis menutupnya kembali.
"A kata Bu Dhea pertemuannya diundur jam.7 malam. Berkasnya belum lengkap semua." kata Lilis lagi.
Kecurigaanku semakin bertambah. Bu Dhea pasti berencana melenyapkanku agar semua petunjuk tentang kematian Pak Budi lenyap.

Lalu Lilis ke kamar Pak Budi, tidak lama kemudian Lilis kembali dengan membawa bungkusan yang tertata rapi. Ada tulisan : "Berikan buku ini ke Ujang kalau aku mati sebagai rasa terimakasihku sudah memberikan sedikit kebahagian untuk Abah dan Ambu. Harapan kepada Abah dan Ambu untuk mempunyai cucu". Lilis memberikan buku yang terbungkus itu kepadaku.
"Ini hadiah untuk A Ujang dari almarhum. Aa bacanya di kamar aja." kata Lilis.
Aku segera masuk kamar untuk membaca buku. Kok hadiahnya hanya sebuah buku. Untuk apa? Pikirku. Di lembar pertama tertulis :
Jang, aku menyerahkan semua bisnis club malamku untukmu. Di buku ini ada tata cara mengelola club malam. Kamu akan dibantu oleh Dhea, orang kepercayaanku yang selama ini berjasa mengelola club malam.
Sedang asik membaca cara cara mengelola Club malam yang diberikan Pak Budi, ku kebelet kencing. Setengah berlari aku ke kamar mandi belakang karna kamar mandi utama sedang rusak dan belum sempat diperbaiki. Menunggu masa berkabung selesai.
Tanpa mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup aku masuk. Ternyata ada Niat yang mau mandi. Tubuh bugilnya yang montok membuatku terangsang. Apalagi melihat perutnya yang mulai membuncit.

"A Ujang ngagetin aja. " kata Ningsih mencubit pinggangku pelan.
Aku hanya tersenyum, lalu mengeluarkan kontolku untk kencing. Ningsih malah memperhatikan air kencing yang keluar dari kontolku, apa lagi melihat kontolku yang mulai mengeras tegang.
"A Ujang liat Ningsih telanjang langsung ngaceng. Kaya gak pernah liat Ningsih telanjang aja. Sini A, Ningsih cebokin kontol A Ujang." kata Ningsih mengambil gayung air dari peganganku.
Ningsih berjongkok menghadap kontolku dan hal yang tidak terduga terjadi. Ningsih melahap kontolku yang belum dibersihkan dari sisa sisa air kencing.
"Ning kontol A Ujang belum dicuci..!" kataku kaget. Istriku sepertinya tidak merasa jijik sama sekali melahap kontolku yang masih bau pesing.
Lilis mengulum dan menghisap kontolku dengan bernafsu, kepalanya bergerak mengocok kontolku membuatku blingsatan oleh rasa nikmat.
"Ning, aduh ennnnak banget seponganmu." kataku sambil membelai rambutnya yang hitam legam. Ingin rasanya aku menjambak rambutnya dan menggerakkan kepalanya dengan cepat mengocok kontolku. Tapi dia wanita yang aku cintai. Tidak mungkin aku bermain kasar dengan istriku sendiri.

Setelah puas mengulum kontolku, Ningsih bangun memeluk leherku. Kami berciuman lama. Kuremas pantatnya yang bulat dan besar dengan lembut.
"A Ningsih dari kemaren pengen dientot di kamar mandi." kata Ningsih menatapku malu.
"Kok gak bilang sayang?" tanyaku mesra.
"Malu !" kata Ningsih tersenyum. Ningsih menungging, tangannya berpegangan bak kamar mandi.
"Entot Ningsih sekarang A!" kata Ningsih tidak sabar.
Aku mengarahkan kontolku di pintu masuk memek Ningsih yang sudah basah. Bles, dengan mudah kontolku menerobos masuk memek Ningsih yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.
Perlahan aku memompa memek istriku dengan lembut, gesekan yang ditimbukan dan sensasi yang aku rasakan semakin dahsat.
"A ennnak memek Ningsih dientot kontol gede A Ujang...." rintiha. Ningsih terdengar merdu.

Perlahan aku meremas pantat bohay istriku dengan gemas. Pantatnya terlihat semakin besar dan keras. Mungkin karna kehamilannya.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr ennnnak banget." kurasakan memek Ningsih berkedut lembut meremas kontolku disertai rasa hangat yang nikmat.
Kubiarkan kontolku terbenam di dasar memek istriku hingga badai orgasmenya reda. Kemudian aku kembali memompa memeknya dengan sedikit lebih cepat tapi tetap lembut.
"Ganti posisi A...!" kata Ningsih menahan perutku. Aku menuruti kemauannya. Aku mencabut kontolku dari memeknya.
Ningsih duduk di pinggir bak mandi. Satu kakinya diangkat ke pinggir bak mandi. Tangannya berpegangan pada leherku. Tanpa hambatan kontolku kembali menerobos masuk memeknya yang terlihat semakin basah saja.

Posisi seperti ini sebenarnya tidak begitu nyaman. Gerakan mengocokku terasa kaku berbeda dengan posisi yang biasa saja. Tapi sepertinya Ningsih lagi ngidam ngentot di kamar mandi. Jadi nikmati sajalah demi istriku tercinta. Kulihat Ningsih terlihat sangat menikmati sodokan kontolku yang lembut dan berirama. Saat sedang asik memompa memek Ningsih, tiba tiba pintu kamar mandi terbuka dan Ambu masuk. Kami sama sama kaget.
"Aduh kalian ini ngentot malah di kamar mandi. Ambu gak tahan pengen kencing" kata Ambu sambil menurunkan celana dalamnya sampai dengkul lalu mengangkat dasternya sampai perut sehingga aku bisa melihat pahanya yang besar dan memeknya yang tidak berbulu seperti memek Ningsih.
Ambu duduk di wastafel yang tepat berada di samping bak mandi, sehingga pemandangan indah terpampang jelas di depanku.

"Ambu gak malu memeknya kelihatan A Ujang?" protes Ningsih.
Terlanjur basah ditambah melihat memek Ambu yang tembem membuatku semakin terangsang. Aku kembali memompa memek istriku dengan cepat dan berirama, tidak kuperdulikan lagi kehadiran Ambu yang sudah selesai kencing dan matanya tertuju kontolku yang keluar masuk memek anaknya.
"Ambu jangan ngeliatin. Nanti Ambu pengen kontol Aa lagi." protes Ningsih melihat Ambu yang memperhatikan kontolku keluar masuk memek Ningsih.
"Gila Jang kontol kamu panjang dan gede amat! Coba liat Jang !" kata Ambu mendorong tubuhku hingga kontolku terlepas dari memek Ningsih.
"Edan Jang keras banget." kata Ambu menggenggam kontolku yang berlumuran cairan memek Ningsih.
"Ambu Ningsih udah mau keluar kontol A Ujang malah dipegang." kata Ningsih jengkel.
Ambu mengarahkan kontolku ke lobang memek Ningsih, aku langsung memompa memek istriku dengan bernafsu. Sementara Ambu keluar kamar mandi. Ahirnya aku tidak mampu lagi bertahan, kubenamkan kontolku ke dasar memek Ningsih, tubuhku mengejang dan kontolku menyemburkan pejuh ke dasar memek Ningsih.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr lagiii ennnak...!" Ningsih mendapatkan orgasmenya lagi.

Jam 5.30 aku berangkat ke tempat yang dijanjikan Bu Dhea. Kewaspadaanku sudah sampai pada level tertinggi. Akan kuhadapi apapun yang terjadi nanti. Anggaplah ini adalah latihan yang akan membuatku semakin kuat dan siap menghadapi si Codet. Aku hampir merasa yakin orang yang membunuh Pak Budi adalah Bu Dhea agar bisa merebut bisnis haram Pak Budi. Dan sekarang Bu Dhea merencanakan untuk melenyapkanku juga karna bisnis haram Pak Budi sudah diserahkan kepadaku. Surat surat kuasa dan balik nama Club malam milik Pak Budi sedang dalam proses. Bu Dhea yang sudah lama berkecimpung dan mengelola Club malam dan prostitusi bersama Pak Budi pasti tidak akan rela melepas semua jerih payahnya ke anak bau kencur seperti aku. Sampai kamar tempat pertemuan yang dijanjikan Bu Dhea, kewaspadaanku semakin meningkat. Mataku melirik setiap sudut yang kurasa mencurigakan. Setelah kurasa aman, aku mengetuk pintu.

Seorang pria bertubuh tinggi besar, badannya berotot membuka pintu. Rupanya pria ini yang akan menjadi algojo untuk megeksekusi aku. Reflek kakiku mundur satu langkah. Dengkulku agak menekuk memasang kuda kuda silat cimande. Kuda kuda yang tanggung. Aku sudah bersiaga penuh untuk memulai pertarungan, sedikit saja pria itu bergerak mencurigakan maka kepalan tanganku akan menghantamnya. Aku sudah mengukur bagian terlemah yang bisa membuatnya terjungkal dalam satu kali pukulan. Aku sudah belajar banyak dalam pertarungan dengan Pak Shomad dan Kang Herman serta Kang Jeger. Bertahan akan membuatku celaka. Pertahanan terbaik adalah menyerang. Melihatku dalam posisi siap, pria itu melangkah keluar dengan tenang tanpa takut. Hampir saja aku menyerang pria ini, kalau saja tidak terdengar suara merdu seorang wanita yang mempersilahkanku masuk kamar.

"Kang Ujang silahkan masuk !" kata Bu Dhea yang muncul dari belakang pria itu yang menyingkir melewatiku.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar melewati Bu Dhea, aroma parfumnya tercium lembut dan sensual. Mataku melihat sekeliling kamar mencari tanda tanda mencurigakan. Tidak ada tanda tanda yang mencurigakan atau mungkin belum terlihat olehku.
"Duduk Kang tenang saja. Tidak ada yang akan mencelakai Kang Ujang." kata Bu Dhea tersenyum simpul melihat kecurigaanku yang dianggapnya berlebihan. Kecurigaan khas seorang pemuda culun sepertiku.
Aku duduk di meja yang pernah aku duduki bersama Pak Budi, bedanya sekarang yang menduduki kursi di sebelahku adalah Bu Dhea yang memegang berkas tebal yang tidak aku mengerti apa isinya.
"Ini berkas berisi surat surat pelimpahan kepemilikan 3 buah club malam milik mendiang Pak Budi. Silahkan di baca dan ditanda tangani, Pak. Eh saya harus manggil apa enaknya?" tanya Bu Dhea sambil menyerahkan berkas berkas tersebut.
"Ujang saja Bu." kataku. Risih rasanya harus dipanggil bapak oleh wanita yang jauh lebih tua dariku.
"Ya udah saya panggil A Ujang saja." kata Bu Dhea dengan senyum menawan membuatku terpesona. Harus kuakui, Bu Dhea sangat cantik.

Perlahan aku membaca berkas berkas yang diberikan Bu Dhea, walau jujur aku tidak terlalu mengerti apa yang aku baca. Pendidikanku hanyalah sampai SMP dan tidak lulus. Dari usia 15 tahun aku sudah bekerja sebagai kuli bangunan. Di berkas yang aku baca dan aku mengerti garis besarnya bahwa kepemilikan saham 60% dari club menjadi milikku dan yang 40% adalah milik Bu Dhea yang akan tetap menjadi bertugas mengelola semua club peninggalan Pak Budi. Aku segera menanda tanganinya setelah membaca berkas tersebut. Bu Dhea mulai menerangkan tentang bisnis lendir yang selama ini dikelola Pak Budi. Bahkan penginapan ini juga ternyata Pak Budi mempunyai saham sebesar 30%. Pantas aku melihat ada beberapa wanita keluar masuk kamar penginapan di sini. Ternyata ada prostitusi terselubung di sini. Dan sekarang aku menjadi bos mucikari kelas atas. Predikat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cita cita terbesarku selama ini adalah menjadi bos mie ayam yang mempunyai banyak anak buah.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannku, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih masuk kamar. Pria itu tersenyum, mengangguk padaku. Lalu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.
"Saya Pak Handoko pemilik 70%saham penginapan ini, Pak !" kata Pak Handoko memperkenalkan diri. Setelah berbasa basi sebentar, Pak Handoko meninggalkan kami kembali berdua di kamar.
Bu Dhea membuka blazer warna hitamnya, sehingga payudaranya yang besar terlihat semakin menonjol dari balik kemeja putihnya, membuatku sedikit terangsang.
"Besok A Ujang harus datang ke kantor Club xxx untuk saya perkenalkan dengan para manager, staf dan para Mami. Mereka adalah tulang punggung yang menjalankan bisnis kita." kata Bu Dhea membuka 2 kancing atas kemeja yang dikenakannya sehingga aku bisa melihat sebagian payudaranya yang besar dan putih tersembunyi di balik BH yang juga berwarna putih.

Aku menelan air liur membasahi tenggoranku yang terasa kering. Sebuah tantangan terbuka dari Bu Dhea telah membangkitkan jiwa liarku. Ular yang tertidur di dalam celanaku menggeliat marah.
"Besok A Ujang juga harus bertemu dengan Codet, preman paling berpengaruh di Jakarta. Kita harus bernegosiasi agar tidak terjadi bentrokan dengan orang orang Codet. " kata Bu Dhea menghempaskanku dari awang awang yang tinggi. Birahiku yang sudah terpancing, musnah tidak berbekas. Aku sudah tidak tertarik lagi melihat kemolekan tubuh Bu Dhea yang sudah melepas kemejanya. Tubuhnya yang hanya tertutup BH dn celana dalam yang juga berwarna putih. Nama Codet sudah tidak membuatku berselera. Nama yang hanya aku dengar nama saja dan tidak pernah bertatap muka langsung. Nama yang selalu menghantuiku dan merubah tujuan hidupku.
"Saya harus pulang, Bu." kataku menolak saat Bu Dhea duduk di pangkuannku dan meraba dadaku.
"A Ujang gak minat sama Dhea!" kata Bu Dhea berbisik, lidahnya menggelitik kupingku.
"Saya harus pulang, istri saya sedang hamil." suaraku bergetar berusaha menyembunyikan ketakutanku mendengar nama Codet.

"Mang besok Ujang mau ketemu Codet." kata kepada Mang Karta yang saja membuka pintu.
"Masuk dulu Jang. Ceritain pelan pelan." kata Mang Karta yang terlihat terkejut mendengar berita dariku.
Aku menghempaskan tubuhku di kursi tamu yang empuk berusaha menghilangkan kegelisahanku.
"Narsih bikin kopi...!" Mang Karta memanggil Bi Narsih.
Hal yang tidak biasa dilakukannya. Biasanya Mang Karta tidak berteriak memanggil Narsih. Atau mungkin Mang Karta juga kaget mendengar berita dariku. Bi Narsih keluar menemui kami. Wajahnya terlihat kaget apa lagi melihatku yang duduk lunglai. Aku bangun dan mencium tangannya.
"Ada apa Jang?" tanya Bi Narsih menatapku penuh selidik.
"Jangan diajak ngobrol dulu, bikinin kopi biar Ujang tenang dulu." kata Mang Karta.
Tidak lama kemudian Bi Narsih membawa kopi.
"Coba cerita Jang !" kata Bi Narsih tegas.

Lalu aku mulai menceritakan semua kronologinya dari mulai Pak Budi mewariskan semua aset bisnis club malam dan prostitusinya hingga rencana pertemuanku yang sudah diatur oleh Bu Dhea dengan Codet.
"Kamu besok minta dikawal Mang Udin, kan Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Budi. Kamu gak usah takut, Codet gak akan gegabah. Yang penting kamu tenang. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu punya kekuatan. Mamang akan mengawasi kamu dari deket." kata Mang Karta menenangkanku.
Hampir saja aku lupa Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Pak Budi atau sekarang sudah menjadi milik Lilis. Tugas Mang Udin adalah menjaga keluargaku. Sehari hari dia membantu ibuku belanjan dan berjualan Mie Ayam. Aku merasa lega.
"Mang, Bi, ujang pulang dulu sudah malam." kataku berpamitan sambil mencium tangan mereka.

Jam 11 aku sampai rumah, Ambu membukakanku pintu. Aku mencium tangan wanita cantik yang wajahnya sangat mirip istriku. Di usia yang ke 50, wanita itu masih terlihat cantik dan manis. Aku yakin, para pria pasti masih tergila gila padanya.
"Kok malam amat pulangnya Jang?" tanya Ambu tersenyum lembut. Wajahnya begitu keibuan.
"Iya bu. Banyak berkas mesti diperiksa. Kok Ambu belum tidur?" tanyaku.
"Nungguin kamu pulang, Lilis kecapean dari jam 8 sudah tidur. Ningsih tidur jam 10, ngantuk katanya. " kata Ambu berjalan di sisiku ke ruang keluarga.
Kulihat tv masih nenyala menyiarkan acara Wayang Golek yang biasanya jadi kesukaanku. Tapi malam ini aku tidak berniat menontonnya. Aku ingin malam ini Ningsih mencumbuku dan memelukku dengan manja. Atau mungkin juga Lilis yang memanjakan tubuhku dengan jilatan jilatannya yang membuatku menggelinjang nikmat. Agar semua ketegangan hilang. Aku masuk kamarku, Ningsih tertidur dengan lelap. Wajahnya terlihat cantik dan polos. Perlahan aku mencium bibirnya dengan mesra. Aku tahu, Ningsih kalau sudah tidur susah bangun.

Lalu aku berpindah ke kamar Lilis. Wanita cantik itu tidur dengan nyenyaknya. Harus kuakui, Lilis lebih cantik dari pada istriku. Tubuhnya juga lebih indah dan proposional. Kata orang, body biola. Aku mencium bibir Lilis, berharap Lilis bangun dan memanjakan birahiku. Ternyata tidurnya benar benar nyenyak. Karna biasanya Lilis akan terbangun bila kucium bibirnya. Ahirnya aku keluar kamar, kulihat Ambu masih asik menonton Wayang Golek dengan dalang Asep Sunandar Sunarya. Menyadari kehadiranku, Ambu menoleh dan tersenyum melihatku yang seperti orang bingung.
"Kamu seperti orang bingung. Istri istri kamu sudah tidur, jadi gak ada yang ngelonin kamu, ya? Emang kamu belom puas ngentot di kamar mandi dengan Ningsih?" tanya Ambu menggodaku.
"Ich Ambu. Ujang cuma pengen liat Ningsih dan Lilis." kataku mengelak tuduhan Ambu yang benar.
Ambu pindah duduk ke sampingku. Pipiku dicubit pelan.
"Ambu ini sudah tua. Tahu gelagat lelaki yang lagi pengen. Mau Ambu bantuin ngeluarin pejuh kamu? Tua tua gini Ambu masih seksi." kata Ambu menggodaku. Tangannya meraba kontolku yang sudah tegang dari tadi sejak mau masuk rumah.
"Tuh, kontol kamu sudah ngaceng, !" kata Ambu yang tiba tiba mencium bibirku dengan bernafsu.

Aku kaget dengan kebinalan ibu mertuaku. Tak pernah aku membayangkan berbuat mesum dengannya. Tapi sekarang ibu mertuaku telah memulai perang membangkitkan nafsu sex ku yang besar. Aku membalas ciumannya. Tak perduli dia adalah ibu mertuaku. Karna nafsu tidak mengenal etika. Tanganku meremas payudara Ambu dengan gemas. Payudara yang pernah menjadi sumber makanan istriku tercinta. Biarpun payudara Ambu sudah kendur, tetapi kekenyalannya tetap terjaga. Sebagai wanita desa yang selalu sibuk mengerjakan berbagai macam pekerjaan, membuat tubuh Ambu walaupun gemuk, namum tetap kencang. Ambu membuka dasternya, ternyata Ambu tidak pakai BH dan celana dalam, tubuh bugilnya yang agak gemuk, tidak mengurangi keindahannya. Kulitnya yang putih tanpa cela. Memeknya yang tembem, mulus tanpa bulu. Ambu membuka bajuku dan juga celananku mengikuti jejaknya, bugil seperti bayi yang baru lahir. Ambu berjongkok, membelai kontolku yang sangat tegang.

"Ko bisa kontol kamu segede panjang dan sekeras ini sich Jang?”kata Ambu lidahnya mejilat pangkal kontolku sampai kepalanya. Begitu berulang ulang.
"Gak tau Mbu...!" kataku sambil menikmati jilatan Ambu yang sangat berpengalaman. Ada sensasi tersendiri karna yang melakukannya adalah ibu mertuaku. Ambu mengulum kontolku dengan bernafsu, menghisap dan menjilati kepala kontolku yang sensitif.
"Ampun Mbu... Gantian Ujang pengen jilatin memek Ambu yang tembem. " kataku sambil menarik tubuh mertuaku bangkit.
Aku berganti posisi dengan Ambu. Sekarang Ambu duduk dengan paha yang mengangkang lebar. Sementara aku berjongkok membuka belahan memeknya yang berwarna merah. Wangi memek Ambu yang alami sangat aku suka. Lidahku menerobos memek Ambu, membuat pinggulnya agak terangkat.
"Aduh ampun memek Ambu dijilat anak mantu sendiri." kata Ambu tangannya menekan kepalaku agar semakin terbenam di memeknya.

Lidahku dengan lincah bermain main di memek Ambu membuatnya menggeliat nikmat. Apalagi saat lidahku menggelitik itilnya yang tersembunyi di balik lipatan memeknya.
"Udah Jang. Entot Ambu...!" kata Ambu menarikku bangun. Ambu menuntun kontolku ke lobang memeknya yang sangat basah.
Perlahan aku menekan kontolku menembus memek mertuaku yang cantik. Sungguh sebuah sensasi yang tidak biasa membenamkan kontolku di memeknya. Perlahan aku mulai mengocok memek Ambu yang terasa masih sempit. Atau mungkin karna kontolku yang kegedean.
"Edan, kontol kamu kok gede gede amat.." kata Ambu menatap takjub memeknya yang tertembus kontolku.

Aku mengangkat dagu Ambu kucium bibirnya dengan bernafsu, lidahku menerobos mulutnya. Rasanya agak manis seperti permen. Pasti karna Ambu habis makan permen. Sementara kontolku memompa memek Ambu dengan cepat, gesekannya begitu terasa membuat tubuhku merinding karna wanita yang sedang aku entot adalah mertuaku sendiri.
"Ambuuu kelllluarrrrr Jang...!" Ambu berteriak pelan.
Badannya mengejang menyambut orgasmenya. Ternyata tidak perlu waktu lama membuat Ambu orgasme. Aku terus mengicok memek Ambu dengan irama yang terjaga. Tidak kuperdulikam Ambu yang sedang mendapatkan orgasme.
"Udah Jang. Gantian kamu duduk." kata Ambu mendorong dadaku. Aku segera mencabut kontolku dari memek Ambu.
Ambu segera bangkit, aku duduk di bekas tempat Ambu yang terasa hangat. Tidak membuang waktu Ambu segera berjongkok di pangkuanku. Ambu menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku. Aku meremas tetek Ambu yang terpampang di hadapan wajahku. Payudara Ambu harum seperti payudara istriku. Aku menghisap putingnya dengan lembut.

"Anak pinter udah gede kok masih nyusu?" kata Ambu sambil mengerakkan pinggulnya turun naik. Biarpun badannya agak gemuk, ternyata Ambu bisa bergerak lincah memompa kontolku.
"Memek Ambu ennnak amat..." kataku. Tanganku beralih meremas patatnya yang besar dan masih keras.
"Enak mana sama memek memek istri kamu Jang? Mantu Ambu yang kurang ajar. Memek mertua sendiri dientot." kata Ambu tersenyum menatap wajahku.
"Sama sama enaknya Mbu..." kataku sambil mencium bibirnya dengan mesra.
Semakin lama gerakkan Ambu semakin cepat mengocok kontolku, gerakannya mulai tidak beraturan. Memeknya berkedut kedut meremas kontolku. Rasanya seperti memek Bi Narsih yang bisa berkedut. Mungkin karna jam terbangnya yang sudah tinggi.
"Jang Ambu kelllluarrrrr lagiiii. Kamu pinterrr ngentot.." ambu membenamkan pantatnya di pangkuanku. Kontolku mentok sampai dasar memeknya.
Setelah badai orgasmenya reda, Ambu kembali menggerakkan pinggulnya memompa kontolku yang belum mengeluarkan pejuhnya. Tanganku membantu menggerakkan pinggul Ambu.

"Ambu gak capek?" tanyaku menatap wajah Ambu yang basah oleh keringat.
"Gak Jang. Ennnak banget ngentot sama mantu sendiri." kata Ambu sambil terus memompa kontolku. Kami kembali berciuman mesra.
Ahirnya aku merasa puncak orgasmeku semakin dekat. Ambu memompa kontolku semakin cepat saja.
"Ambu Ujang kelllluarrrrr..." tubuhku menegang menyemburkan pejuhku ke memek mertuaku. Dan saat yang bersamaan.
"Ambu jugaaaa kelllluarrrrr lagiiii....!" kami berpelukan dihempas oleh badai kenikmatan yang luar biasa.
Setelah badai orgasme reda, Ambu bangkit dan kembali memakai bajunya. Aku juga memakai bajuku.
"Jang makasih, belum pernah Ambu ngentot seenak ini." kata Ambu mencium pipiku lalu berjalan masuk kamar setelah mematikan TV.
Akupun masuk kamarku dan tertidur sambil memeluk tubuh istriku tercinta.

Dengan ditemani Mang Udin yang bertugas sebagai pengawal dan juga supir, aku berangkat ke Jakarta. Tujuanku adalah Club xxx yang sekarang sudah jadi milikku. Bu Dhea menyambut kedatanganku dan memperkenalkan ke staf manager dan para mami sebagai ujung tombak. Jam 8 malam, rombongan Codet masuk ruang VVIP. Hatiku bergetar mendengar namanya. Kami akan bertemu untuk membicarakan banyak hal. Aku berusaha mengumpulkan keberanianku. Toh pada akhirnya cepat atau lambat kami akan bertemu juga. Aku berjalan dengan didampimgi Bu Dhea dan Mang Udin, langkahku terasa ringan seperti tidak menapak. Membuka pintu ruang VVIP, ada 5 orang duduk di kursi panjang menghadap tv besar. Ada seorang pria dengan wajah yang sangat mengerikan. Mukanya dipenuhi bekas luka benda tajam dan yang paling panjang adalah sayan yang memanjang dari bawah mata kiri hingga samping bibir sebelah kanan. Benar benar wajah yang sangat mengerikan. Aku tidak mampu menahan lututku yang gemetar ketakutan. Aku menarik nafas panjang, menguatkan tekadku menghampiri pria itu yang sepertinya terkejut melihatku. Tentu dia mengenal wajahku yang sangat mirip dengan wajah ayahku. Seperti pinang dibelah dua. Codet berdiri lalu berjalan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Waspada dengan segala kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi.

"Apakah kamu anak si Kokom?" tanya Codet, suaranya jelas terdengar bergetar.
Pria ini mengenal ibuku? Paikirku heran. Mataku tidak berani menatap wajahnya yang sangat buruk. Perlahan aku mengangguk. Codet bergerak ke arahku dengan cepat saat, kedua tangannya membentang lebar. Aku tidak sempat untuk menghindar.

Agen Bola - Bandar Taruhan - Bandar Bola - Taruhan Bola - Judi Bola - Agen Sbobet - Agen Maxbet - Agen 368bet - Agen Cbo855 - Agen Sabung Ayam

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger