Home » » Ritual Sex di Gunung Kemukus 10

Ritual Sex di Gunung Kemukus 10


Bandar Taruhan - "Wajahmu sangat mirip ayahmu seperti pinang dibelah dua." bisik Codet memelukku.
Dengkulku terasa lemas, kupikir Codet akan menyerangku. Ternyata dia memelukku. Benar benar ular berbisa yang pandai bersandiwara. Codet merangkul pundakku melihat ke arah ke 4 orang anak buahnya yang usianya rata rata 30an. Wajah mereka terlihat sangar.
"Kalian lihat baik baik wajah pemuda ini, mulai sekarang dia menjadi pemilik Club xxx. " kata Codet kepada anak buahnya.
Apakah ini sebuah ancaman tersembunyi? Pikirku. Aku sudah masuk dalam lingkaran hitam dan aku tidak bisa mundur lagi. Mundur berarti hancur. Perlahan tekadku semakin menguat. Aku bukanlah orang lemah, kemampuan bertarungku sudah termasuk hebat. Aku selalu menyempatkan diri berlatih setiap hari. Apalagi sejak Mang Udin tinggal berdekatan denganku, aku punya sparing patner berlatih dengan gaya yang berbeda. Aku telah menjadi lebih kuat lagi.

"Bagaimana dengan uang keamanan yang harus kami bayarkan?" tanya Bu Dhea mengajukan pertanyaan pada intinya.
"Sabar dulu Bu. Kita rayakan dulu kehadiran Bos baru Club xxx. Aku berharap club ini menjadi lebih besar lagi dari pada waktu dipimpin mendiang Pak Budi. Seperti kita tahu, Pak Budi selalu bersedia menyisihkan penghasilan Club sebesar 2.1/2%, jumlah yang cukup adil. Sekarang dengan kehadiran bos baru yang masih muda, 5% kurasa cukup adil, karna tugas kami bertambah mendidik anak muda ini agar lebih kuat." kata Codet. Suaranya melengking tinggi memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Diiringi sahutan 4 orang anak buahnya yang meyetujui.
"Itu gak adil Bos. Pak Budi pernah mengajukan keberatan dengan jumlah tersebut." kata Bu Dhea yang merasa keberatan.
"Bagaimana Bos? Kamu setuju?" Codet tidak menggubris sanggahan Bu Dhea. Dia justru bertanya padaku, bocah bau kencur yang bisa diintimidasi.
"5% saya harus pikir pikur dulu Bos." kataku dengan suara mengambang. Antara takut, marah dan benci. Begitu sombongnya orang yang bernama Codet ini. Aku tidak selemah yang dia pikirkan.

Jawaban yang mengejutkan Codet. Dia menatapku tajam, heran karna intimidasinya tidak berhasil. Codet melangkah mundur, lalu duduk di kursi empuk. Tanganya mengambil gelas berisi minuman yang diangkat ke atas.
"Mari berpesta.!" katanya yang diiringi 4 orang anak buahnya bangun.
Menurut informasi yang kuterima dari Mang Karta, 4 orang yang selalu mengawal Codet adalah jago jago pilihan dengan kemampuan yang luar biasa. Mereka para petarung jalanan yang telah membunuh banyak lawannya dalam pertarunga tangan kosong. Mereka adalah anjing peliharaan Codet yang paling setia. Mang Karta meyuruhku waspada menghadapi mereka, apa lagi aku belum berpengalaman menghadapi pertarungan jalanan yang brutal. Maka satu satunya cara menghadapi mereka adalah melakukan serangan mematikan secepat mungkin.

Lagi pula di ruangan sekecil ini ke 4 orang itu tidak akan bisa mengeroyokku. Mau tidak mau mereka harus bertarung satu satu. Dan salah satu keunggulan silat cimande murni adalah sejak pertama kali berlatih kami sudah biasa berlatih di ruang sempit. Karna pencipta silat cimande Mbah Khair menciptakan jurus secara sembunyi sembunyi dan kemudian melatih pemuda pemuda di dalam rumah berpasangan, di ruang yang sempit. Makanya aku melarang Mang Udin yang mau maju menghadapi begundalnya Codet Ini juga untuk membungkam kesombongan Codet yang telah berani meremehkanku. Aku bukan anak ingusan. Salah seorang anak buah Codet menyerangku dengan pukulan cepat bertenaga mengarah ke wajahku. Aku hanya menggerakkan tangan kiriku ke kanan menepis pergelangan tangannya dibarengi kakiku melangkah maju dan tangan kananku melepaskan pukulan upercut yang menuju dagunya dengan kecepatan tinggi.

Pria itu kaget, dia berusaha mundur menghindari pukulanku. Keputusan yang salah karna kakinya tertahan meja dan aku tidak menyia nyiakan kesempatan itu, kakiku maju dan tangan kiriku bergerak memakai jurus pamacan, mencakar selangkangannya yang tidak terjaga. Aku meremasnya dengan kekuatan penuh. Membuat lawanku membungkuk kesakitan, aku tidak menyia nyiakannya. Sebuah uper cut keras dengan dorongan tubuhku menghantam dagu lawanku. Terdengar bunyi tulang patah. Lawanku terhempas ke belakang menghantam meja yang berisi botol minuman dan gelas yang langsung hancur seketika. Melihat temannya terkapar tidak berdaya, salah satu pria yang terdepan maju. Tapi terlambat, aku sudah maju lebih dulu ke arahnya memanfaatkan kelengahannya yang terkejut melihat temannya terkapar. Tinjuku menghantam wajahnya yang belum siap menghadapi serangan. Wajahnya terkena pukulanku membuatnya terhuyung kesakitan memegang hidungnya yang patah. Kesempatan yang tidak kusia siakan. Dengan jurus pepedangan, tanganku menyabet dari samping menghantam tulang rusuknya hingga patah. Lawanku terjungkal tanpa ampun.

Dua orang berhasil aku lumpuhkan dalam waktu singkat, dan itu membuat ke dua pengawal Codet lainnya merasa gentar dan ragu untuk menyerang. Sedang aku tidak bisa memulai penyerangan seperti tadi, kamar yang menjadi porak poranda dan dua lawanku yang tergeletak di lantai membuat ruangku untuk melakukan serangan menjadi terhalang. Tiba tiba masuk seorang security Club tanpa mengetuk pintu. Matanya terbelalak melihat ruangan VVIP porak poranda.
"Ada apa?" tanya Bu Dhea yang berhasil menguasai dirinya setelah melihat pertempuran singkatku.
"Ada pertarungan di depan Bu. Anak buah Codet bertarung melawan Si Jeger dan teman temannya." kata security itu dengan wajah pucat.
"Kamu sudah mencari penyakit seperti ayahmu." Codet berkata dengan suara dingin lalu memerintahkan anak buahnya menggendong dua temannya yang mengerang kesakitan.

Saat aku akan menghalangi jalan mereka, Mang Udin berbisik.
"Biarkan mereka pergi. " kata Mang Udin.
Aku mengangguk setuju. Kami mengikuti Codet ke ruangan depan yang terlihat berantakan oleh pertempuran sengit yang sudah selesai. Aku lihat Mang Karta, Kang Herman dan Jeger berdiri dengan beberapa orang yang belum aku kenal. Sementara anak buah Codet yang berjumlah 10 orang berjongkok ketakutan. Rupanya mereka sudah berhasil dikalahkan. Mang Karta dan Codet saling bertatapan dengan kemarahan yang terpancar dari mata mereka.
"Ternyata kamu Karta. Ingat urusan ini belum selesai.!" kata Codet dengan suara bergetar menahan amarah.
"Harusnya aku yang berkata begitu. Urusan kita belum selesai Codet. Kematian Gobang harus kamu bayar lunas." kata Mang Karta dengan suara dingin penuh ancaman.

Setelah Codet dan orang orangnya pergi, Bu Dhea memerintahkan semua pegawai yang bersembunyi berkumpul untuk membereskan ruangan yang porak poranda karena pertarungan tadi. Bu Dhea mengajakku ke ruangan kantorku di lantai 3, karena di lantai dua dijadikan kamar kamar tempat prostitusi. Aku mengajak Mang Karta, Mang Udin, kang Herman dan Kang Jeger untuk berunding.
"Kenapa kita lepaskan Codet begitu saja Mang?" tanyaku heran.
"Karena target kita bukan Codet. Ada dalang di balik semuanya. Codet hanyalah pion yang akan segera dilenyapkan oleh si dalang karena telah gagal." kata Mang Karta tenang.
"Siapa Dalangnya Mang?" tanyaku heran. Ternyata banyak yang disembunyikan Mang Karta dariku.
"Siapa Mang? Kenapa Codet mengenal Ibu?" tanyaku penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri siapa dalangnya. Dulu Codet tergila gila pada ibumu ayahmu marah. Wajah Codet dibuat cacat oleh ayahmu.." jawab Mang Karta singkat. Lalu berpamitan kepadaku. Sedangkan Mang udin memilih menungguku di bawah.

Aku masuk kamar yang berada di ruang kerjaku. Aku masih bingung harus melakukan apa. Bu Dhea hanya memberiku berkas yang harus aku tanda tangani. Ada beberapa berkas yang berisi angka angka yang membuatku semakin bingung. Apalagi pada hari pertamaku kerja, aku mengalami kejadian hebat. Bertarung dengan para preman yang menguasai sebagian besar daerah Jakarta. Dan menurut Mang Karta mereka hanyalah pion. Karena dalang yang sesungguhnya masih ada di tempat yang gelap. Kupikir Codet adalah target utamaku. Ternyata bukan. Lalu siapa orang itu? Lamunanku buyar, terdengar ketukan pintu dari ruang kerjaku. Aku bangkit membuka pintu ruang kerjaku. Kupersilahkan Bu Dhea yang berdiri di depan pintu untuk masuk ruanganku.

"Tidak nyangka ternyata Bos baru saya seorang jagoan hebat dan juga anaknya Kang Gobang. " kata Bu Dhea kagum.
"Bu Dhea kenal dengan ayah saya?" tanyaku.
"Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Kang Gobang jagoan legendaris yang sangat ditakuti kawan maupun lawan. Tapi saya sering mendengar namanya. Kalau dengan Pak Karta, dulu saya beberapa kali bertemu." kata Bu Dhea menjelaskan.
"Oh iya Pak. Ini perkiraan kerugian kita hari ini." kata Bu Dhea menyerahkan kertas berisi perincian kerugian yang diakibatkan perkelahian tadi.
"Jangan panggil saya Pak. Saya kan masih muda." kataku protes.

"Iya maaf. A Ujang. A Ujang terlihat tegang dan lelah. Mau saya panggilin gadis pemijit A? Tinggal pilih aja A. Biar A Ujang rileks." kata Bu Dhea menyodorkan album photo gadis gadis di sini.
Aku membuka album photo yang memajang wajah wajah cantik penghuni Club ini. Tapi aku tidak tertarik sama sekali. Aku lebih tertarik dengan tubuh montok Bu Dhea, apa lagi dengan ukuran teteknya yang jumbo. Kalaupun waktu itu aku terkesan menolak ajakan Bu Dhea, karena nama Codet merusak seleraku.
"Kenapa bukan Bu Dhea saja yang memijit saya?" tanyaku iseng. Mungkin ajakannya yang kemarin malam masih berlaku.
"Sya gak bisa mijit badan, bisanya mijit kontol pake memek aa." kata Bu Dhea vulgar. Kemudian dia berdiri dan keluar meninggalkanku sendiri.

Wah, ternyata ajakannya yang semalam sudah tidak berlaku. Atau mungkin dia balas dendam karena semalam aku telah menolaknya. Dasar nasib, aku kurang beruntung. Tiba tiba Bu Dhea kembali masuk tanpa mengetuk pintu. Lalu mengunci pintu ruangan kerjaku. Bu Dhea menghampiriku, menarik tanganku masuk kamar tempat istirahatku.
"Buka dulu bajunya, A. Nanti kusut dan bau parfum Dhea nempel di baju. " kata Bu Dhea yang memberi contoh dengan membuka baju setelan kerjanya hingga wanita berwajah mirip Ayu Azhari itu bugil.
Aku senang karena Bu Dhea memperingatkanku. Kalau aku ketahuan selingkuh, bisa terjadi perang di rumahku. Aku segera membuka seluruh pakaianku sementara mataku tertuju ke payudara Bu Dhea yang benar benar besar. Aku menghampiri Bu Dhea setalah tubuhku polos. Kuremas teteknya yang besar dan terawat sehingga bentuknya tetap indah dan mempesona.

"Idih A Ujang Ujang maen remes tetek aja. Kontolnya gede amat!" kata bu Dhea takjub melihat ukuran kontolku yang sudah ngaceng sempurna.
Dhea mendorong tubuhku rebah di atas spring bed kecil. Dhea kemudian merangkak di atas tubuhku. Lalu mencium bibirku dengan bernafsu, aku membalasnya dengan senang hati. Tanganku meremas pantatnya yang sekal dan berisi. Bu Dhea mulai menjilati belakang telingaku membuatku merinding nikmat. Lidahnya menjilati setiap bagian leherku dengan ganas. Seperti seekor kucing yang sedang menjilati anaknya. Begitu ahli Bu Dhea mempermainkan birahiku. Lidahnya menjalar ke dadaku, dengan teliti Bu Dhea menjilati setiap bagian dadaku tanpa menyentuh putingnya. Bu Dhea menggeser posisi tanganku sejajar dengan kepalaku sehingga ketiakku terbuka. Dan hal yang tidak kusangka terjadi, Bu Dhea menjilati ketiakku membuatku geli geli nikmat. Jilatannya beralih ke ketiakku sebelahnya tanpa merasa jijik. Puas menjilati ketiakku, lidahnya kembali menjalar di sekujur dadaku dan ahirnya sampai pada putingku yang sudah menjadi sensitif.

Jilatannya kembali bergerak turun ke arah perutku, menggelitik pusarku dengan liar membuat birahiku semakin membumbung tinggi. Bu Dhea benar benar binal. Berbeda sekali dengan Lilis yang berusaha mempraktekan apa yang dibacanya dari cerita porno tentang mandi kucing. Jilatan Lilis terasa kaku dan terburu buru. Dan perbedaan lainnya adalah, Dhea melakukannya dengan binal dan kepuasaan sex semata. Sedangkan Lilis melakukannya dengan cinta dan kasih sayang untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Puas bermain dengan perutku, lidahnya bergerak turun ke samping kontol dan pelerku tanpa menyentuhnya. Nafasnya yang halus mengenai kontolku yang terasa semakin sensitif. Dhea benar benar mempermainkan birahiku. Lidahnya bergerak semakin turun hingga pahaku. Dhea melebarkan pahaku, dia membungkuk menjilati bagian dalam pahaku kiri dan kanan. Sekujur tubuhku merinding hingga ubun ubun. Dan saat lidah Dhea mulai menjilati pangkal kontolku, tanpa dapat kutahan, tubuhku menggeliat oleh rasa nikmat yang luar biasa. Seperti orgasme tanpa mengeluarkan pejuh. Lidahnya liar menjilati batang kontolku lalu melahapnya dengan bernafsu. Mulut Bu Dhea mengocok kontolku sambil menghisapnya.
"Sudah Bu nanti keburu keluar...!" kataku menyerah kalah.

Bu Dhea tersenyum menatapku. Dia berjongkok di atas kontolku yang masih dalam genggamannya. Perlahan pinggulnya turun, memeknya yang sudah basah dengan mudah menelan kontolku.
"Bu ko langsung dimasukin? Saya pengen jilatin memek Bu Dhea." kataku melihat memeknya yang menelan kontolku. Begitu bersih tanpa jembut yang rutin dicukurnya.
"Nanti aja A. Saya mau ngasih hadiah karena A Ujang sudah bisa ngalahin Codet. Sekarang A Ujang nikmati saja jepitan memek Dhea." kata Bu Dhea mulai mengocok kontolku.
Bu Dhea menyodorkan tetek jumbonya yang harum ke mulutku, tanpa penolakan aku melahap pentilnya dengan rakus. Sementara pinggul bu Dhea bergerak makin cepat memompa kontolku yang sangat keras seperti pentungan hansip.
"Gila kontol kamu gede amat, belom pernah memek Dhea dientot kontol segede punya kamu." kata Dhea terus memompa kontolku. Sementara tetek jumbonya aku hisap dan kuremas.
Memek Bu Dhea jepitannya cukup kuat sehingga gesekan kontolku dengan dinding memeknya terasa nikmat. Tidak kalah dengan jepitan memek istriku dan calon istriku Lilis.

"Jang Dhea gak tahannnn kelllluarrrrr nikmat...." kurasakan tubuh Dhea mengejang menyambut orgasme pertamanya. Tubuhnya menindihku.
Aku memeluk tubuhnya erat, membiarkan wanita itu merasakan orgasmenya dengan tuntas. Setelah tubuhnya mengendur lemas, aku miringkan tubuh perlahan agar kontolku tidak terlepas dari memeknya. Ahirnya posisiku menindih Bu Dhea, perlahan aku mulai memompa kontolku mengocok memek Bu Dhea yang tampak sangat menikmati. Terdengar desis nikmat dari bibir sensualnya. Aku mencium bibirnya dengan bernafsu. Sangat bernafsu. Berbeda saat aku mencium bibir istriku dan Lilis, aku selalu melakukannya dengan selembut mungkin dan penuh perasaan.
"Ampunnn Aa. Kontolnya ennnnak banget." kata Bu Dhea sambil menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku di memeknya yang semakin basah.
Hingga akhirnya aku tidak mampu bertahan lama, tubuhku menegang disertai semburan pejuh dari kontolku.
"Buuuuu aku gak kuat. Kelllluarrrrr...." kataku sambil menghujamkan kontolku ke dasar memeknya.
"Dhea jugaaa kelllluarrrrr A. Kontol A Ujang ennnnak banget..." Dhea memelukku erat.

Jam 12 malam aku pamitan pulang ke Bu Dhea sebab menurut Bu Dhea, mendiang Pak Budi juga selalu pulang jam 12 malam. Tiba tiba aku teringat belum mencuci kontolku dengan sabun sehabis ngentot dengan Bu Dhea. Bahaya. Karena Lilis terbiasa mencium kontolku ketika pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan aku berdoa agar Lilis tidak terbangun saat aku pulang. Aku takut Lilis memeriksa kontolku dan mencium bau memek Bu Dhea di kontolku. Kalau dia mencium bau memek Bu Dhea, bisa runyam urusannya. Dia pasti marah besar. Ternyata doaku tidak dikabulbukan, mungkin karena aku belum mandi junub. Begitu aku masuk lewat garasi, ternyata Lilis sudah menyambutku di ruang keluarga. Senyumnya yang indah berubah sangat menakutkan buatku. Apa lagi kalau ingat ancamannya yang akan memotong kontolku kalau ternyata dia mencium bau memek wanita lain di kontolku.
"Aduh..." teriakku tanpa sadar memegang perutku yang tiba tiba terasa mulas.
"Kenapa A?" tanya Lilis hawatir melihatku yang kesakitan memegang perutku.
"Aa dari tadi nahan mules...!" kataku sambil berlari ke kamar mandi.

Aku terbangun oleh ciuman lembut di bibirku. Mataku masih terpejam membiarkan bibirku dicium. Dari wangi tubuhnya pasti Ningsih. Aku bisa membedakan bau tubuh Ningsih dan Lilis tanpa melihatnya.
"Aa sudah bangun belum?" suara Lilis bertanya ke Ningsih. Tepat dugaanku yang menciumku Ningsih.
"Ini lagi dibangunin Teh." jawab Ningsih kembali mencium bibirku dengan mesra.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membalas ciuman istriku tercinta. Aku tetap berpura pura tidur menggodanya.
"Ngebangunin A Ujang jangan dicium bibirnya, gak akan bangun bangun" kata Lilis suaranya semakin dekat.
Tiba tiba celanku ditarik ke bawah, otomastis kontolku yang selalu bangun di pagi hari keluar dari kukungannya.
"Nih begini ngebangunin si Aa." kata Lilis langzung mencaplok penisku. Tanpa dapat kutahan, aku mengerang nikmat.
"Aa jahat. Pura tidur." Ningsih mengomel dan mencubit tanganku. Lumayan sakit. Aku langsung memeluknya dengan mesra.
"A mandi dulu sana. Ambu mau pulang. Anterin ke terminal y!" kata Lilis, suaranya terdengar lembut.
"Minta tolong Mang Udin buat nganter sampe Garut. Kan kasian kalau Ambu pulang sendiri naik bis." kataku.
"A Ujang berangkat kerjanya naik apa?" tanya Lilis.
"Kan mobil ada dua nanti Aa nyari supir pengganti Mang Udin selama ke Garut. " kataku memberi solusi.

Selesai mandi aku menemui Mang Udin yang sedang membantu ibuku berjualan. Meminta tolong agar Mang Udin mengantar Ambu sampai Garut.
"Nanti yang mengantar Akang berangkat kerja siapa?" tanya Mang Udin.
"Nanti saya bicarakan dengan Mang Karta, kira kira siapa yang bisa ngegantiin Mang Udin sementara." kataku.
"Neng, Akang beberapa hari gak bisa bantuin Neng Kokom jualan gak apa apa kan?" tanya Mang Udin ke ibuku membuatku curiga ada apa apa dengan mereka berdua.
"Gak apa apa Kang. Kasian Ceu Imas kalau pulang ke Garut sendiriian." suara ibuku terdengar lembut membuat kecurigaanku semakin tebal.
"Ya udah Kang Ujang, Mamang siap siap dulu. Akang pamit ya Neng." Mang Udin berpamitan dan ibuku mendahuluiku menjawab ucapan salam Mang Udin.
"Ibu pacaran ya sama Mang Udin?" tanyaku terus terang.
Aku memandang wajah ibuku dengan seksama, di usia ke 40 ibuku terlihat cantik. Walau pakaian dan penampilannya sederhana hanya memakai bedak bubuk namun kecantikannya tetap menonjol. Bahkan banyak tetanggaku di kampung bilang kalau saja ibuku mau bersolek, kecantikannya tidak kalah dengan artis.
"Kamu ngeliatin ibu seperti itu Jang? Emang gak boleh kalau ibu nikah lagi" kata ibuku menggodaku.

Baru aku menyadari ibuku ternyata cantik. Tapi kenapa ayahku bisa menghianati ibuku. Tiba tiba aku teringat Ningsih, aku punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi aku juga akan menikahi Lilis yang wajahnya lebih cantik dari pada Ningsih, tapi kenapa semalam aku tergoda dengan Bu Dhea. Kalau dibandingkan dengan Ningsih, sepertinya lebih cantik Ningsih. Waduh, ternyata ini penyakit turunan. Semoga saja ke dua adikku yang cantik tidak mendapatkan suami sebejat ayahnya dan kakaknya.
"Jang kamu malah diam ditanya, Ibu." kata ibu membuyarkan lamunanku.
"Ibu masih muda, Ujang gak akan melarang Ibu menikah lagi. " kataku dengan tulus.
Sudah waktunya Ibuku bahagia dengan pria yang dicintainya. Apakah pria yang dicintai Ibu adalah Mang Udin?
"Ibu kenal dengan Codet?" tanyaku tiba tiba teringat Codet.
"Codet siapa?" tanya Ibuku heran.
Aku baru sadar, Codet adalah nama panggilan dan aku belum tau nama aslinya.
"Gak apa Bu. Ibu gak ke rumah Lilis? Kan Ambu sudah mau pulang." tanyaku mengalihkan pertanyaanku tentang Codet.
"Ibu gak tau kalau Ceu Imas mau pulang hari ini, kalau tahu ibu gak akan jualan." kata ibuku. "Teh, Ibu ke rumah Aa ya, kamu jaga sendiri dulu,ya!" kata ibuku ke adik pertamaku yang selalu dipanggil Teteh oleh kami.

Sepanjang jalan aku merangkul ibuku, entah kenapa sudah sebesar ini aku selalu merangkul ibuku setiap ada kesempatan. Di teras ternyata sudah ada Mang Udin yang sudah berganti pakaian.
"Mang Udin nama si Codet siapa?" tanyaku mengalihkan perhatian Mang Udin yang tertuju kepada ibuku.
"Komar," jawab Mang Karta singkat.
Wajah ibuku terlihat pucat mendengar nama Komar. "Komar temannya A Gobang. Dulu Ibu tinggal di Jakarta waktu pertama kali nikah. Codet sering datang ke rumah nyari ayahmu. Sampai suatu hari ayahmu datang saat Codet ada di rumah. Ayahmu marah besar. Komar wajahnya diiris golok beberapa kali. Ibu belum pernah melihat ayahmu semarah itu. Sejak itu Ibu memilih tinggal di desa." kata Ibuku menerangkan. Wajahnya terlihat sangat ketakutan mengingat kejadian di depan matanya. Pertama kali dalam hidupnya dia melihat darah berceceran.

Lanunan ibuku buyar saat Ningsih keluar menyambut kedatangan ibuku.
"Ibu kok gak langsung masuk?" Ningsih keluar lalu mencium tangan ibuku. Dirangkulnya ibuku masuk rumah.
Di dalam ternyata Ambu sudah siap pulang. Ibu dan Ambu saling berpelukan dan menempelkan pipi kiri dan kanan.
"Ceu Kokom, Abdi (saya) pulang dulu ke Garut. Nitip Lilis dan Ningsih Ceu.!" kata Ambu berpamitan.
Kami mengantar Ambu masuk mobil yang sudah disiapkan Mang Karta. Setelah mobil yang membawa Ambu pergi, Ningsih dan Lilis mengajak Ibuku masuk tapi ibuku menolak dengan halus. Ahirnya Lilis dan Ningsih masuk rumah.

"Jang ada rahasia yang mau ibu beritahukan padamu." kata Ibu setelah Ambu pulang dan Lilis serta Ningsih sedang sibuk dengan urusannya.
"Apa Bu?" tanyaku penasaran.
"Ibu curiga ayahmu belum mati. Waktu mayat ayahmu ditemukan wajahnya hancur dan mulai membusuk. Tapi ibu tidak melihat tanda hitam sebesar uang benggol di atas kemaluannya." penjelasan Ibu membuatku sangat terkejut.
"Itu sebabnya Ibu meminta tolong Mang Karta untuk menyelidikinya. Karena Mang Karta dan ayahmu adalah sahabat akrab sejak mereka kecil." kata ibu lagi.
Rahasia apa lagi? Kenapa hidupku berubah menjadi serumit ini. Apakah karena aku sudah melakukan ritual sesat yang menjadikan hidupku seperti ini?
"Jang Ibu jualan lagi." kata ibuku pamit. Mataku mengantar kepergiannya dengan jiwa yang terguncang.

"Bi, apa benar bahwa Ayahku masih hidup?" tanyaku ke Bi Narsih yang baru saja membuka pintu rumahnya.
"Teh Kokom yang bilang? Ini baru kecurigaan tapi belum terbukti. Kamu masuk dulu" kata Bi Narsih.
Aku duduk di ruang tamu sementara Bi Narsih membuatkanku kopi kesukaanku. Baru jam 2, Mang Karta masih lama pulangnya. Tidak lama Bi Narsih keluar membawakan kopi untukku.
"Setahun setelah kematian ayahmu, Mang Karta mendengar kabar ada seseorang yang juga hanyut pada saat ayahmu hanyut di sungai. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Sejak itu Mang Karta juga mulai curiga ayahmu masih hidup. Apa lagi Mang Karta ikut mengkafani mayat ayahmu yang sudah mulai busuk. Sedangkan menurut ibumu ada tanda hitam sebesar uang logam benggol di atas kemaluan ayahmu. Dan Mang Karta tidak melihat tanda tersebut di mayat ayahmu. " kata Bi Narsih.

Saat kami mengobrol tiba tiba Mang Karta masuk tanpa mengetuk pintu. Mukanya terlihat tegang.
"Kebetulan kamu di sini, Jang. Mang Karta dapat kabar Codet mati kecelakaan. Mobilnya tabrakan dengan truk. Kita kehilangan jejak lagi." kata Mang Karta marah.
"Kehilangan jejak apa Mang?" tanyaku heran.
"Jejak siapa di belakang semua ini. Kamu pikir sebuah kebetulan kamu bisa jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta?" coba kamu belajar berpikir Jang. " suara Mang Karta terdengar lebih keras dari biasanya.
Aku tersentak mendengar penjelasan Mang Karta. Berarti bukan sebuah kebetulan aku jadi Bos Club malam, ada yang sudah mengaturnya termasuk kematian Pak Budi.

Apakah Ritual Sex di Gunung Kemukus juga sudah diatur seseorang? Karena setelah ritual Mas Gatot dan Mbak Wati tiba tiba mempunyai kios besar dan pindah rumah lebih besar. Dari mana mereka mendapatkan uang sebanyak itu?
"Apakah Mang Karta curiga orang yang mengatur semuanya adalah ayahku?" tanyaku dengan suara bergetar.
Mang Karta tampak terkejut. Lalu menoleh ke arah Bi Narsih.
"Teh Kokom yang cerita." kata Bi Narsih menjelaskan sebelum Mang Karta bertanya.
Aku termenung mendapatkan kejadian yang tidak pernah aku duga sebelomnya. Kejadian yang membuatku shock. Kalau benar yang mengatur semuanya adalah ayahku, lalu tujuannya untuk apa? Aku benar benar marah. Berarti dalang di balik pembunuhan Pak Budi adalah ayahku. Lalu kenapa harus mengorbankan Pak Budi. Agar aku bisa mengambil alih Club malam miliknya mungkin. Tapi untuk apa.

"Mang Ujang mau ke rumah temen." kataku mencium tangan Mang Karta dan Bi Narsih.
"Kamu gak mau denger cerita Mang Karta?" tanya Mang Karta melihatku dengan penuh kasih sayang.
"Biar Ujang nenangin diri dulu." kataku sambil berjalan meninggalkan mereka.
Aku berpikir untuk mendatangi Mas Gatot dan Mbak Wati untuk membuktikan kecurigaanku. Apakah benar mereka juga terlibat. Lalu apa tujuannya menggiringku ke Gunung Kemukus? Rasanya tak masuk akal, dengan ritual Gunung Kemukus, hanya dalam waktu singkat kita menjadi kaya dan sukses. Ini hanya ada dalam cerita dongeng.
Dulu aku memulai ritual Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, maka penyelidikanku akan kumulai dari Mbak Wati juga. Tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk sampai kios Mas Gatot dan Mbak Wati, sekitar 30 menit aku sudah sampai.

Kios Mas Gatot semakin maju saja, sudah punya 4 orang pelayan. Jadi tugas mas Gatot hanya membuat bakso dan meracik bumbu. Hebat, dalam waktu singkat mereka sudah mempunyai pelayan. Padahal Mbak Wati baru 3 x ritual dan kehidupan mereka sudah berubah drastis. Melihat penampilan Mbak Wati yang semakin mencolok. Badannya dipenuhi perhiasan emas.
"Jang kok baru muncul lagi? Kirain sudah lupa." kata Mbak Wati menyambut kedatanganku.
"Mas Gatot ke mana Mbak?" tanyaku karena tidak melihat Mas Gatot.
"Di rumah sekarang aku dan mas Gatot bagian masak di rumah. Kios kan sudah ada pelayannya. Ke rumah yuk Jang. Mas Gatot sering nanyain kamu." ajak Mbak Wati.
Rumah Mba Wati tidak jauh dari Kiosnya. Rumah yang ditempatinya cukup besar dibandingkan saat dia ngontrak. Mas Gatot yang sedang duduk diluar kesenangan melihat kehadiranku. Kami duduk di ruang keluarga, masih seperti dulu kami duduk dilantai beralas tikar. Mbak Wati membuatkanku kopi walau aku sudah berusaha menolak tapi Mbak Wati memaksaku.

"Mas dulu yang nyuruh Mas ngajak aku ke Gunung Kemukus siapa? " tanyaku langsung pada tujuan kedatanganmu menemuinya.
Wajah Mas Gatot terlihat seperti terkejut mendengar pertanyaanku yang begitu tiba tiba.
"Gak ada yang nyuruh. Aku emang sudah niat nyuruh Wati ritual Gunung Kemukus biar cepat kaya. Alhamdulillah sekarang sudah terlihat hasilnya." kata Mas Gatot.
Aku tahu Mas Gatot berbohong karena saat dia bicara dia tidak menatap wajahku. Hal yang bukan kebiasaanya. Karena biasanya Mas Gatot selalu memandang wajah orang yang diajak bicara.
"Codet, bukan?" aku bertanya lagi. Entah kenapa aku mengucapkan nama itu.
"Codet siapa? Aku tidak kenal." kata Mas Gatot tanpa melihat wajahku.
"Ngomongin apa sich?" tanya Mbak Wati dengan membawa nampan berisi kopi
"ini loh Ujang tiba tiba jadi aneh. Dia bertanya siapa yang nyuruh kita buat ngajak dia ritual di Gunung Kemukus. " kata Mas Gatot
"Gak ada yang nyuruh Jang." kata Mbak Wati mencium bibirku dengan cueknya di depan Mas Gatot.

Aku baru ingat Mas Gatot CUKOLD, kenapa tidak aku manfaatkan untuk mengorek keterangannya. Aku membalas ciuman Mbak Wati dengan bernafsu. Tanganku meremas payudara jumbonya dengan keras. Karena Mbak Wati paling suka payudaranya diremas keras.
"Ujang payudara Mbak maen remes aja ada Mas Gatot juga." kata Mbak Wati melihat ke arah mas Gatot.
Ucapan yang sengaja ditujukan ke Mas Gatot agar semakin terangsang. Aku membuka baju Mbak Wati sehingga menyisakan BH dan celana dalamnya yang segera menyusul terlepas dari tubuhnya. Mas Gatot menyingkirkan gelas ke pojok ruangan.
"Mas liat si Ujang kurang ajar. Wati ditelanjangin." kata Mbak Wati ke Mas Gatot sambil merebahkan tubuhnya terlentang di antara aku dan mas Gatot.
Aku membungkuk menghadap ke arah mas Gatot, sambil aku menjilati puting payudara Mbak Wati yang sudah mengeras. Sementara jariku meraba memek Mbak Wati yang ternyata sudah basah. Dua jariku masuk ke memeknya sambil aku kocok kocok membuat Mbak Wati merintih keenakan.
"Mas memek Wati dikobel si Ujang." kata Mbak Wati histeris.

Tiba tiba aku menghentikan aktifitasku. Aku bangkit ke kamar mandi minta ijin mau kencing. Sehabis kencing kulihat Mbak Wati mengocok memeknya dengan jarinya sambil meremas payudaranya.
"Mas, aku mau pulang dulu ya!" kataku pamitan membuat Mbak Wati menghentikan aktifitasnya dan Mas Gatot terkejut mendengar aku mau pulang.
"Kok gitu Jang? Watikan belom kamu entot!" kata Mas Gatot keberatan.
"Niat saya ke sini pengen tahu siapa yang nyuruh Mas Gatot supaya ngajak aku ritual di Gunung Kemukus." kataku sambil berjalan ke ruang tamu.
"Pak Budi yang menyuruhku ngajak kamu ke Gunung Kemukus." kata Mas Gatot membuatku sangat terkejut.
"Apa Pak Budi?" tanyaku terkejut.
Hal yang masuk akal. Berarti yang memberi kios dan modal cukup banyak ke Mas Gatot adalah Pak Budi. Yang jadi pertanyaanku adalah untuk apa? Agar Lilis mau melakukan ritual denganku. Mungkin ini jawaban masuk akal. Tapi kalau ini jawabannya berarti tidak ada hubungannya dengan BIG BOS yang menurut kecurigaan Mang Karta adalah ayahku.

Kepalaku rasanya mau pecah dengan pikiran dan argumenku. Semuanya menemui jalan buntu. Apa lagi kematian Codet sudah menutup jalanku untuk mengetahui siapa dalang semua ini. Kutinggalkan Mas Gatot dan Mbak Wati yang mengomel karena hasratnya tidak tersalurkan. Jam di tanganku menunjukan angka 15:00. Aku masuk ke dalam wartel menelpon Bu Dhea mengabarkan tidak akan masuk kerja. Malu juga minta ijin tidak masuk kerja di hari ke duaku. Tapi tidak apalah, kan aku bosnya. Kepalaku benar benar tidak mampu berpikir lagi. Aku lebih cocok jadi bos Mie Ayam. Tidak perlu berpikir yang rumit rumit. Tinggal ngitung Mie habis berapa kilo, ayam berapa kilo dll. Simple, tidak seperti sekarang. Kepalaku mau pecah. Ahirnya aku sampai rumah tanpa aku sadari. Ternyata sebingung bingungnya aku masih ingat rumah. Tapi aku tidak langsung pulang melainkan ke rumah kontrakan ibuku. Ibuku terlihat sibuk menurunkan barang dagangannya dari gerobak di bantu adik tertuaku. Aku segera membantu mereka. Ibuku tidak banyak berkomentar, melihat wajahku yang terlihat kusut. Selalu begitu dari dulu, Ibu akan membiarkanku saat wajahku terlihat kusut. Toh pada akhirnya aku akan bicara mengeluarkan unek unekku.

"Kamu dari mana? Gak pulang ke rumahmu?" itu pertanyaan yang tadi dia ucapkan dan aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Selesai membereskan semua peralatan berjualan aku pulang. Aku berpikir bagaimana cara bertanya ke Lilis tanpa menyinggung perasaanya. Karena aku yakin, Lilis juga adalah korban. Apakah aku juga korban setelah aku mendapatkan banyak keuntungan dari semuanya. Entahlah. Otakku sudah tidak mampu lagi berpikir.
"Aa kenapa?" tanya Ningsih yang membukakanku pintu.
Aku tersenyum lalu mengecup bibirnya yang hangat dan terlihat selalu basah. Kurangkul pundaknya berjalan ke ruang keluarga, Lilis tanpak asik memeriksa tumpukan bon bon Toko Agen Sembako yang bertumpuk.
"Lilis waktu diajak Pak Budi ke Gunung Kemukus kenapa mau?" tanyaku sambil duduk di hadapannya.
Sejenak Lilis menatapku. Heran dengan pertanyaanku yang tiba tiba.
"Karena kata Pak Budi yang akan jadi pasangan Lilis A Ujang." kata Lilis sambil meneruskan memeriksa bon bon yang bertumpuk.

"A Ujang gak kerja?" tanya Ningsih menyenderkan kepalanya ke pundakku.
"Kata Bu Dhea gak usah tiap hari datang, semua urusan sudah ditangani Bu Dhea." kataku berbohong.
"Aa kok jadi kepikiran kita bisa ketemu di Gunung Kemukus ya?" kataku mulai memancing Ningsih.
"Lilis jadi heran kenapa A Ujang nanya masalah gunung kemukus?* tanya Lilis menatapku penuh selidik.
"Heran aja dengan nasib Aa yang ajaib, dari seorang penjual Mi Ayam keliling tiba tiba punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi akan menikahi wanita secantik Lilis. Dari seorang penjual Mi Ayam tiba tiba jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta." kataku.
Pikiran melayang kemasa masa sulit jadi kuli bangunan di Jakarta, tidur di bedeng berdesakan dengan beralas kardus. Meningkat jadi penjual Mi Ayam, tinggal di rumah petakan bersama beberapa orang. Tidur masih beralaskan kardus.

Setelah ritual di Gunung Kemukus kehidupanku berubah total Hanya dalam waktu 4 bulan kehidupanku berubah 180 derajat. Hanya bukan aku yang berubah, bahkan pasanganku Mbak Wati pun kehidupannya meningkat drastis.
"A Budi yang nganjurin Ningsih ke Gunung Kemukus. Katanya bisa menghilangkan semua kesialan Ningsih. Tadinya Ningsih gak mau Tapi lama lama kepikiran juga sampe kebawa mimpi ketemu kakek kakek yang nyuruh Ningsih ke Gunung Kemukus. Ahirnya Ningsih nelpon A Budi. Ningsih dianter ke Gunung Kemukus sama teman Pak Budi." kata Ningsih menjelaakan.
"Siapa yang nganter?" tanyaku agak cemburu. Pasti cowok.
"Bu apa namanya, Ningsih gak nanya. Orangnya seperti Ayu Azhari." kata Ningsih membuatku terkejut. Berarti Bu Dhea tahu tentang semua ini.
Kulihat Lilis tidak terkejut mendengar keterangan Ningsih, berarti Lilis sudah lama tahu.
"Lilis tahu hal ini?" tanyaku.
"Iya Lilis tahu. Emangnya kenapa A? Dari tadi A Ujang nanyain masalah ritual Gunung Kemukus. ?" tanya Lilis merasa curiga.
"Gak ada apa apa. Aa masuk kamar dulu ya mau mempelajari berkas berkas peninggalan Pak Budi." kataku berpamitan masuk kamar.

Di dalam kamar aku mengambil buku agenda peninggalan Pak Budi .Aku membaca buku agenda peninggalan Pak Budi, mungkin aku bisa menemukan petunjuk di dalamnya. Tapi nihil. Tidak ada petunjuk apapun di dalamnya. Aku hampir putus asa. Satu satunya petunjuk mengarah ke Bu Dhea. Harusnya aku tadi berangkat kerja jadi bisa mengorek keterangan darinya. Satu satunya cara untuk mengetahuinya adalah berhadapan langsung dengan si Dalang dan apa hubungannya dengan semua ini. Kalau aku harus menyelidiki niat Pak Budi yang mengatur aku agar melakukan ritual, kurasa adalah pekerjaan yang sia sia. Saat aku berpikir ke situ tiba tiba jatuh selembar kertas bukti tranfer uang sebesar Rp.xxx.xxxz.xxx jumlah yang sangat besar ditujukan untuk Mas Gatot. Juga ada rekening bukti transfer Tuan xxx sebesar Rp.xxz.xxx.xxx ke Pak Budi. Dan itu semua tidak tertulis di berkas pembukuan. Untuk apa Pak Budi transfer uang sebesar itu ke Mas Gatot? Dan jumlah yang sama ditranfer ke Pak Budi dari Bapak xxx. Berarti ada seseorang di balik ini semua. Lalu siapa? Ayahku? Sungguh tidak masuk akal bagi logikaku yang memandang segala sesuatu dengan lugas. Dan sekarang aku berhadapan dengan teka teki yang tidak aku pahami.

Keesokan harinya aku menemui Bu Dhea di Club. Tekatku sudah bulat untuk memberikan bukti transfer ke Bu Dhea.
"Bu Dhea tahu tentang ini?" tanyaku memperlihatkan bukti transfer yang aku temukan.
Bu Dhea menelitinya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Saya gak tahu Kang" kata Bu Dhea singkat.
"Bu Dhea tahu siapa yang ngirim uang ke mendiang Pak Budi?" tanyaku lagi.
"Kalo dari namanya seperti kenal Kang. Tapi sudah lama jadi agak lupa." kata Bu Dhea yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Sebenarnya ada apa Kang?" tanya Bu Dhea yang tiba tiba sudah duduk di pangkuanku dengan 2 kancing bagian atas kemejanya yang terbuka sehingga aku bisa melihat gundukan payudaranya yang putih.
"Bu saya lagi pengen konsen." kataku menolak dengan halus saat Bu Dhea mencium kuping belakangku. Entah kenapa aku tidak terpancing dengan godaan Bu Dhea.

Padahal tanpa digodapun setiap pria akan terangsang melihat kemolekan dan kecantikannya. Tapi sekarang pikiranku tertuju dengan teka teki yang tidak aku ketahui jawabannya. Aku tidak terbiasa berpikir sesuatu yang rumit.
"Kamu sedang berpikir tentang penyebab kematian Pak Budi ya?" kata Bu Dhea berbisik sambil menjilat belakang telingaku.
Kematian Pak Budi? Kenapa aku tidak berpikir ke situ. Aku lebih asik memikirkan urusanku sehingga lupa mengenai penyebab kematian Pak Budi. Bisa saja dia dikorbankan agar aku naik ke posisiku yang sekarang.
"Iya Bu Dhea. Apa Bu Dhea tahu penyebab kematian Pak Budi? Siapa yang terlibat dengan pembunuhan Pak Budi?" tanyaku.
Perhatianku kini teralih ke Bu Dhea yang sedang berusaha memancing gairahku.

Bu Dhea tidak menjawab, tanganya menyusup masuk ke balik kemejaku yang sejak kapan kancingnya terbuka. Tangannya memelintir puting dadaku yang sensitif sementara bibirnya begitu aktif menciumi leherku.
"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya. Itu kenyataan yang sebenarnya." kata Bu Dhea turun dari pangkuanku dan berjongkok di antara kakiku. Tangannya begitu lincah membuka ikat pinggang dan resleting celanaku.
"Tapi ada seseorang yang mengatur agar Pak Budi bunuh diri." melanjutkan perkataannya sambil mengeluarkan kontolku yang mulai terpancing gairahnya.
"Maksud Bu Dhea Pak Budi dibunuh, lalu dibuat seperti bunuh diri?" tanyaku teringat dengan film film yang sering aku tonton tentang pembunuhan dan korban pembunuhan dibuat seakan akan bunuh diri.
Bu Dhea tidak menjawab, mulutnya tersumpal kontolku yang semakin tegang, terusik oleh kebinalan Bu Dhea.

"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya yang dianggap telah menghianatinya karena mengirim photo saat mereka sedang bermesraan ke Orang Tuanya, sehingga orang tua Pak Budi meninggal terkena serangan jantung." jawab Bu Dhea sambil mengocok kontolku dengan cepat.
Kalau tentang photo aku sudah tau. Yang aku heran kenapa Bu Dhea tahu hingga sedetil itu. Dan itu menimbulkan kecurigaanku kepada wanita cantik bertubuh aduhai ini. Kewaspadaanku meningkat memperhatikan Bu Dhea yang kembali mengulum kontolku disertai kocokan di batangnya.
"Kang Ujang curiga saya terlibat?" tanya Bu Dhea sambil membuka rok dan celana dalamnya. Matanya menatapku dengan senyum menggoda.
Bu Dhea naik ke pangkuanku, tangannya meraih kontolku dan menerobos memeknya.
"Dhea tidak terlibat dengan rencana melenyapkan Pak Budi. Ada jaringan yang sangat kuat ingin melenyapkan Pak Budi." Dhea tersenyum binal. Tubuhnya bergerak memacu kontolku dengan liar.
"Buat apa Pak Budi dilenyapkan? Salahnya apa?" tanyaku berusaha mengimbangi gerakan liar Bu Dhea. Tanganku meremas pantatnya yang bulat berisi.
"Dhea gak tahu." Wajah wanita cantik itu terlihat begitu menikmati hentakan demi hentakannya yang berirama.
"Lalu kenapa kamu mengantar istriku ke Gunung Kemukus?" aku memegang pantat Bu Dhea dan bangkit berdiri.
Kuletakkan pantatnya yang besar di atas meja kerjaku. Akan kutunjukkan dominasiku kepadanya. Aku sekarang bukanlah pemuda lugu yang polos.

"Karena permintaan Pak Budi, rencananya Kang Ujang melakukan ritual dengan Bu Lilis dan Ningsih agar mereka hamil." jawab Bu Dhea.
Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku dengan keras. Menahan terpaan badai kenikmatan yang datang bertubi tubi, melambungkan jiwanya ke langit ke tujuh.
"Kenapa aku harus menghamili mereka?" tanyaku berusaha mengorek semua keterangan yang diketahuinya.
Aku terus menyeretnya dalam pusaran kenikmatan. Tidak kubiarkan dia beristirahat. Kontolku terus menohok bagian terdalam memeknya.
"Agar kamu bisa menikah dengan Ningsih dan otomatis akan lebih mudah mengawasimu." jawab Bu Dhea diiringi teriakan kenikmatan saat kontolku menghujam dasar memeknya dengan hentakan keras membuat matanya mendelik menggapai kenikmatan yang datangnya seperti ombak yang gulung gemulung tampa henti.
"Kenapa mereka harus terus menerus mengawasiku?" tanyaku marah.
Kutumpahkan semua kemarahanku dengan menusuk bagian terdalam memek Bu Dhea berulang ulang tanpa henti. Tak kuberi ampun wanita cantik itu dihantam badai kenikmatan bertubi tubi.
"Akuuu tidakk tahuuuu Kang. Tugasku yang harussssss mengawasimuu?" tubuh wanita cantik itu menggeliat, matanya terpejam dengan nafas tersengal sengal. Tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Siapa yang menyuruhmu?" kataku sembil menghantam dengan keras, menembakkan beribu ribu sel sel kehidupan ke dalam rahim Bu Dhea.
"Sang Dalang......!" teriak Bu Dhea menerima semburan sel sel kehidupan yang bergerak cepat masuk rahimnya.
"Siapa Sang Dalang yang kamu maksud?" tanyaku pelan. Staminaku sudah terkuras habis. Aku jatuh terduduk di kursi kerjaku yang empuk.
"Bu Narsih......!" Bu Dhea menjawab lirih.
Jawaban yang terdengar seperti suara petir yang menyambar di siang hari tanpa hujan.

Aku terhentak mendengar nama Bi Narsih, bagaimana mungkin wanita yang aku kenal bisa terlibat dalam sebuah rencana besar. Apa mungkin Bi Narsih yang menyebar photo mesum Pak Budi? Bu Dhea masih tergeletak di meja kerjaku, pahanya terbuka lebar mempertontonkan belahan memeknya yang membuka dan dari dalamnya perlahan mengalir pejuhku. Bu Dhea mengambil cairan pejuhku dan menelannya dengan lahap. Bu Dhea menatapku menggoda.
"Bu Dhea gak bohong kalau Bu Narsih yang mengaturku ke Gunung Kemukus? Apa dia juga yang menyebarkan photo photo Pak Budi?" tanyaku semakin penasaran.
Bu Dhea duduk di meja, kakinya kirinya menginjak sandaran tangan kursi yang aku duduki sehingga memeknya tepat menghadapku.
"Bu Narsih tidak terlibat dengan masalah photo, karena Bu Narsih dan Pak Budi sudah membuat kesepakatan untuk menyerahkan semua Club dan bisnis prostitusi ini ke Kang Ujang. Tadinya Pak Budi sudah berniat mundur dan menyerahkan semuanya ke Dhea, tapi Dhea menolaknya." kata Bu Dhea, jari kakinya membelai kontolku yang sudah kembali masuk sarangnya.
Kubiarkan saja jari kaki Bu Dhea membelai kontolku. Pikiranku lebih tertuju, bagaimana jadinya kalau waktu itu Ningsih ritual dengan pria lain lalu hamil. Bukankah rencana untuk menikahkan Ningsih denganku akan berantakan. Rencana yang cenderung ke arah judi.

"Kenapa Bu Dhea tidak mau mengambil alih bisnis hitam Pak Budi?" tanyaku heran.
Bisnis yang sangat menggiurkan dengan jumlah uang yang besar.
"Dhea tidak punya kemampuan berada di pucuk pimpinan. Kang Ujang akan segera tahu bisnis macam apa yang sekarang Kang Ujang jalani." kata Bu Dhea turun dari meja.
Segera dia memakai celana dalamnya setelah melihatku tidak merespon godaanya.
Hei, bagaimana dengan nasib Ratna setelah kematian Codet? Tiba tiba aku teringat dengan gadis yang sudah menjadi anak tiriku.
"Bu Dhea tahu di mana rumah Codet?" tanyaku ke Bu Dhea yang mau membuka pintu.
Wanita itu berbalik ke arahku, lalu diciumnya bibirku dengan bernafsu sementara tangannya meremas kontolku. Wanita yang hyper sex dan tidak pernah puas. Membuatku bergidik ngeri.

"Kang Ujang tentu menginginkan anak gadis Codet yang cantik cantik kan?" tanya Bu Dhea dengan kerling matanya yang binal. Bu Dhea mengangkat telpon lalu memencet tombolnya.
"Bawa burung burung ke ruangan Bos!" Bu Dhea memberi perintah ke seseorang.
"Setiap penguasa yang mati terbunuh oleh lawan lawannya, maka daerah kekuasaannya akan menjadi milik orang yang mengalahkannya. Termasuk anak dan istrinya bisa kita ambil kalau orang yang mengalahkannya menginginkannya." kata Bu Dhea menjelaskan tanpa kupinta.
Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan Bu Dhea. Baru saja aku mau bertanya, Bu Dhea sudah mulai menjelaskan.
"Codet punya 3 orang anak gadis yang semuanya sudah kita amankan. Sekarang tergantung Kang Ujang mau dijadikan apa mereka. Bisa saja mereka kita pekerjakan di Club." kata Bu Dhea.
Ratna pasti salah satunya Ratna. Hatiku bergetar mengingat gadis yang sempat kuanggap sebagai adikku. Lalu kenapa ke 3 gadis itu sekarang ada di sini? Apa yang terjadi, sebenarnya? Teka teki yang tidak pernah bisa kutebak.
Baru saja aku mau kembali bertanya, suara ketukan dipintu menghentikan niatku. Bu Dhea mempersilahkannya masuk.

Tiga orang pria berwajah sangar masuk dengan masing masing membawa seorang gadis dan salah satunya tepat seperti dugaanku adalah Ratna yang sekarang menjadi anak tiriku. Aku segera menghampiri Ratna yang menunduk ketakutan.
"Ratna kamu tidak apa apa? " tanyaku lembut. Ratna mengangkat wajahnya melihat ke arahku lalu langsung memelukku.
"A Ujang tolong Ratna !" kata Ratna menangis dalam pelukanku.
Bu Dhea menatapku heran. Beberapa saat kami saling bertatapan dengan pikiran berbeda. Akhirnya Bu Dhea berhasil mengendalikan dirinya, dia menyuruh ke 3 pria itu untuk menunggu di luar.
"Apa maksudnya Bu Dhea?" tanyaku setelah ke 3 pria itu keluar.
"Terserah Kang Ujang ke 3 gadis ini mau diapain. Kang Ujang sekarang yang jadi Bosnya." kata Bu Dhea singkat.
"Siapa nama kalian?" tanyaku ke dua gadis yang berdiri ketakutan. Gadis gadis belia yang cantik, bagaimana mungkin mereka mempunyai ayah berwajah buruk.
"Aku Rani dan ini adikku Rini" kata gadis tertua yang umurnya kuperkirakan 19 tahunan.
"Kalian boleh pergi aku jamin orang orangku tidak akan ada yang mengganggu kalian." kataku mempersilahkan mereka pergi. Ternyata mereka bukannya pergi, malah ke dua gadis itu memegang tanganku minta pertolongan.
"Tolong kami Kak, kami takut." kata ke dua gadis itu.
"Kalian bisa pulang ke rumah. Atau kalian mau aku antar?" tanyaku.
"Kami gak mau pulang ke rumah, nanti kami akan dijadikan pelacur oleh musuh musuh ayah kami. Ayah kami sudah meninggal, sudah tidak ada yang akan melindungi kami." kata Rani, gadis itu memohon.
"Iya Kak. Kami mau kerja apa saja buat Kakak, tapi jangan jadikan kami pelacur." kata Rini sambil menangis ketakutan.

Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku memutuskan untuk menitipkan ke dua gadis itu ke Anis. Setelah itu baru aku pikirkan rencana selanjutnya. Sekarang yang paling penting adalah membawa Ratna ke Anis. Malam itu juga aku berangkat ke Cirebon mengantarkan Ratna sekaligus menitipkan Rani dan Rini. Terjadi hal menjengkelkan ketika mobil sudah masuk daerah Cirebon, Rani meminta dicarikan hotel untuk menginap dia dan adiknya. Mereka akan menungguku di Hotel dan ikut pulang ke Jakarta. Padahal mereka sudah kusuruh pulang, tapi mereka memaksa ikut ke Cirebon dan tinggal dengan Ratna. Setelah perdebatan singkat, ahirnya aku menuruti kemauan mereka. Aku menyuruh Supir sekaligus pengawalku yang menggantikan tugas Mang Udin untuk sementara waktu. Sedangkan aku memilih naek becak ke rumah Pak Shomad.

Sampai rumah Pak Shomad jam 3 malam. Aku dan Ratna berjalan ke samping rumah, lalu mengetuk jendela kamar Anis perlahan.
"Anis buka pintu ini A Ujang." kataku mengetuk jendela kamar dan memanggil nama Anis beberapa kali.
"Iya A..!" terdengar Anis menjawab lalu membuka gorden jendela. Matanya terbelalak melihat Ratna bersamaku.
Aku menuntun Ratna kembali ke depan. Tidak lama Anis membuka pintu dan berteriak memeluk Ratna yang membalas pelukannya. Dari belakang aku melihat Pak Shomad dan istrinya yang terbangun dengan kedatanganku. Mereka terlihat terkejut melihar Ratna yang datang bersamaku. Pak Shomad menyuruh kami masuk ke ruang keluarga. Lalu memintaku menceritakan bagaimana kejadiannya sampai Ratna bersamaku. Awalnya aku agak ragu bercerita apa lagi kalau sudah menyerempet masalah Gunung Kemukus. Jadi masalah Gunung Kemukus sengaja aku lewati.

"Jadi sekarang kamu sudah menjadi Bos Club malam warisan kakak iparmu?" tanya Pak Shomad takjub dengan nasibku yang dianggapnya sangat beruntung.
"Hati hati A." kata Anis yang tampak sangat hawatir mendengar aku sudah menjadi Bos Club malam. Tentunya dia tahu resiko yang aku hadapi karena dia pernah menjadi istri Codet.
"Iya Pak sekarang Ujang sudah jadi Bos Club malam. Iya Nis. A Ujang akan selalu hati hati. Nanti sore A Ujang pulang lagi, belom bisa lama lama di sini. " kataku.
Wajah Anis terlihat kecewa. Pak Ujang menyuruh kami istirahat. Aku tidur di kamar dulu pertama kali aku menginap, sedangkan Anis menemani Ratna tentu mereka kangen. Jadi terpaksa aku harus tidur sendirian gak bisa nidurin istriku. Ternyata aku salah, tidak lama aku rebahan setelah memakai baju yang sudah disiapkan Anis. Anis mengetuk pintu memanggilku. Segera aku membuka pintu.
"Anis gak nemenin Ratna?" tanyaku heran sekaligus senang.
"Ratna nyuruh Anis nemenin A Ujang. Sore kan A Ujang sudah pulang ke Jakarta. A Anis takut." kata Anis memelukku dengan kencang. Rambutnya yang harum membuatku terangsang.
"Takut kenapa Nis?" tanyaku sambil balas memeluk tubuhnya yang montok.

Anis tidak menjawab, dia melepaskan pelukannya dan membuka pakaiannya hingga bugil.
"Takut orang yang sangat ditakuti Codet akan mencelakakan A Ujang." kata Anis sambil membuka seluruh pakaianku. Lalu berjongkok melahap kontolku yang sudah tegang.
Mataku terpejam menikmati lidah Anis yang mengelik menimbulkan rasa geli dan nikmat yang menjadi satu.
"A Ujang tahu siapa yang membunuh Codet?" tanya Anis berdiri menatapku.
Tangannya memeluk leherku.
Aku menggeleng, kuangkat tubuh Anis dan meletakkannya di atas kasur empuk. Aku mencium bibirnya dengan mesra. Berusaha mengusir pikiranku yang selama beberapa hari ini terasa kusut. Anis membalas ciumanku dengan mesra. Setelah selesai berciuman, Anis berbisik.
"Anis mencintai Aa." katanya sambil menciumi leherku. Bisikan Anis membuatku sedikit rileks setelah menghadapi berbagai masalah.

Anis tiba tiba mendorong tubuhku telentang dan menindihku. Aku kaget dengan kekuatan Anis yang mampu membalikkan tubuhku dengan cepat tanpa kusadari. Hanya seorang pesilat tangguh yang bisa melakukannya. Tiba tiba aku teringat dengan perkataan Bi Narsih yang menyuruh selalu waspada terhadap Anis. Tanpa dapat kucegah kewaspadaanku kembali meningkat.
"A Ujang kok wajahnya jadi tegang begitu?" tanya Anis yang heran melihat wajahku yang menjadi tegang.
"Gak apa apa cuma kaget Anis bisa ngebalikkin badan Aa dengan mudah. Anis bisa silat?" tanyaku mulai menyelidikinya.
"Setelah bercerai dengan Codet Anis belajar silat ke Pak Shomad." kata Anis berjongkok di atas kontolku yang masih tegang walau aku sempat kaget. Tanpa pemanasan, Anis masukkan kontolku ke bagian terdalam memeknya yang lembab.
Kembali tubuh dan pikirannku rileks oleh sensasi yang ditimbulkan oleh gesekan kontolku dan dinding memek Anis yang terasa nikmat. Kewaspadaan yang sempat timbul, hilang begitu saja.
"Ennak A....!" kata Anis terus memacu tubuhku dengan irama yang perlahan, lalu menjadi cepat. Anis begitu pintar memberikan kenikmatan yang berbeda.
"A, Anis gak mau kehilangan A Ujang. Anis gak mau anak kita lahir tanpa seorang ayah..!" kata Anis meraih tanganku agar meremas dadanya yang indah dan sekal.
"Anis hamil?" tanyaku.
Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Apakah semudah ini aku menghamili seorang wanita? Bisa saja dia hamil oleh pria lain, aku jangan terlalu percaya kepda Anis, itu yang Bi Narsih katakan padaku.

Kupeluk tubuh Anis, lalu aku balikkan seperti tadi Anis membalikkan tubuhku. Sekarang aku yang memacu tubuhnya yang terlentang pasrah.
"Terussss Aa. Ennak.!" Anis menatapku sayu, tangannya merangkul pinggangku yang memacu tubuhnya.
Hingga akhirnya aku meraih puncak kenikmatan tanpa dapat kutahan lagi. Bendunganku jebol membanjiri lobang yang menyimpan sejuta kenikmatan. Kami terbaring kelelahan setelah mengayuh birahi yang cukup lama di ranjang sempit yang sebenarnya diperuntukkan untuk satu orang.

"A, hati hati dengan seseoarang yang sangat ditakuti oleh Codet. Seseorang yang berulang kali berusaha dicelakai tapi orang itu tetap hidup tanpa cedera sedikitpun. Dulu Codet pernah berpesan ke Anis, apa bila terjadi sesuatu pada dirinya Anis disuruh minta perlindungan ke Kang Karta satu satunya orang yang bisa menghadapinya." kata Anis lagi.
Mang Karta? Kenapa harus meminta perlindunga Mang Karta? Kenapa semua masalah kembali ke orang orang terdekatku. Tiba tiba Ratna mengetuk pintu dan memanggil ibunya. Kami bergegas memakai pakaian kami. Anis membuka pintu kamar. Ratna langsung masuk tanpa dipersilahkan.
"A Ujang, eh salah. Pak kata pak Codet kalau terjadi apa apa dengannya, Ratna harus nyari Pak Ujang ngasih surat supaya diberikan ke Pak Karta." kata Ratna.
"Mana suratnya?" tanyaku. Ada rahasia apa lagi. Kenapa sekarang petunjuk mengarah ke Mang Karta dan Bi Narsih. Mang Karta dan Bi Narsih orang orang terdekatku. Ratna memberikanku sebuah surat yang ditujukan ke Mang Karta.
Jam 2 siang dengan naik becak aku ke hotel tempat menginap Rani dan Rini serta supirku.

Aku mengetuk kamar ke dua gadis anak Codet pelan. Tidak berapa lama pintu dibuka oleh Rani. Harus kuakui gadis ini cukup cantik dan paling menonjol adalah dadanya yang besar mengingatkanku dengan Marni walau dada Marni lebih besar karena sedang menyusui bayi. Aku duduk di kursi yang menghadap ke arah ranjang. Rini terlihat sedang asik membaca novel. Merekapun sudah berganti pakaian yang entah dia dapatkan dari mana. Seingatku semalam mereka hanya memakai pakaian dan membawa tas kecil yang biasa dibawa seorang wanita. Jadi aku yakin mereka tidak membawa pakaian kecuali pakaian yang mereka pakai.
"Dari mana kalian dapat pakaian baru?" tanyaku heran.
"Beli di pasar dianter Pak Supir." kata Rani.
Dia terlihat lebih tenang dari pada semalam. Mungki karena dia mulai mempercayaiku.
"Tadinya saya datang ke Club memang mau bertemu dengan Kang Ujang, tapi malah dicurigai dan ditangkap anak buah Kang Ujang. Mereka nganggap saya mata mata yang dikirim buat memata matai." kata Rani menjelaskan.
Berarti mereka sengaja datang mencariku untuk minta perlindungan dan diantarkan menemui Mang Karta. Ada permainan apa Mang Karta dengan Codet?

Kenapa semua masalah ini datang bertubi tubi dan aku tidak bisa menikmati apa yang telah aku dapatkan. Harta dan jabatan peninggalan Pak Budi tidak membuatku nyaman. Wanita wanita yang mengelilingiku justru membelengguku. Bahkan sex yang begitu diagung agungkan oleh para pemujanya, hanya mampu memberiku kenikmatan beberapa menit.
"Kok diam Kang? Apa kang Ujang juga tidak percaya pada kami?" tanya Rani
Aku hanya menatap gadis cantik, berbeda sekali dengan wajah ayahnya yang buruk. Kenapa pula Codet menyuruh anak anaknya mencariku? Apa benar untuk balas dendam atas kematian ayahnya seperti kecurigaan Bu Dhea. Jelas jelas aku tidak terlibat dengan kematian ayah mereka, bahkan aku tidak kenapa ayah mereka mati. Itu bukan urusannku. Aku hanya anak bau kencur yang dipaksa menghadapi situasi sulit seperti ini. Perlahan aku menggelengkan kepala berusaha membuang beban yang kurasakan.

"Kang Ujang juga benar benar tidak percaya kepada kami?" kata Rani sambil berusaha mendengar isak tangisnya yang mungkin akan pecah.
Hal yang tidak terduga terjadi, Rani tiba tiba membuka pakaiannya hingga bugil dan Rini mengikuti jejak kakaknya. Yang membedakannya adalah Rani tidak berusaha menutupi ketelanjangannya. Sedangkan Rini masih berusaha menutupi dada dan selangkangan dengan ke dua tangannya.
"Apa maksud kalian?" tanyaku. Pertanyaan bodoh yang tidak perlu jawaban.
"Kami akan menyerahkan keperawanan kami sebagai bukti bahwa kami butuh pertolongan Kang Ujang." kata Rani dengan suara yang kembali tegas. Kebulatan tekad yang luar biasa. Sebegitu luar biasakah masalah yang mereka hadapi sehingga harus menyerahkan keperawanan mereka.
"Kenapa kalian minta perlindungan? Memangnya nyawa kalian terancam? " tanyaku heran. Entah kenapa kontolku tidak terusik dengan tubuh indah ke dua gadis itu.
"Iya Ayah menyuruh kami ke Kang Ujang karena nyawa kami terancam. Cuma Kang Ujang dan Pak Karta yang bisa menyelamatkan nyawa kami." Rani menatapku dengan penuh harap.

Entah keberanian dari mana, Rini yang sejak kemarin hanya diam tiba tiba menghampiriku dan meraih tanganku yang terkulai di sandaran kursi. Tanganku ditempelkan ke memeknya yang tanpa bulu. Gerakan tangannya begitu kaku dan canggung.
"Akang boleh ngambil perawan Rini dan Kak Rani." kata Rini terdengar malu malu tapi keberaniannya mengambil keputusan mengalahkan rasa malunya yang besar.
Aku mulai tergoda, tanganku menyentuh memek seorang gadis perawan yang lunak dan hangat dihiasi bulu tipis yang jarang. Melihat keberanian adiknya, Rani menarik tanganku. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku berjalan mengikuti kemauannya menuju ranjang. Tiba tiba ketukan pintu kamar mengagetkan kami.
"Siapa ?" tanyaku sambil menyuruh Rani dan Rini memakai baju mereka.
"Saya Kang.!" kata Pak Supir membuatku menarik nafas lega.
Setelah Rani dan Rini berpakaian aku membuka pintu kamar
"Ada apa Pak?" tanyaku.
"Tadi saya nelpon Pak Karta, kita disuruh ke Bogor sekarang. Ada tempat untuk menyembunyikan anak anaknya Codet." kata Pak Supir.

Jam 5 sore kami berangkat ke Bogor. Perjalanan yang memakan waktu 4 jam. Sampai gerbang Tol Bogor jam 9 malam. Supir mengarahkan mobil ke alamat yang diberikan lewat telpon. Tentu saja Pak supir lebih tahu alamat yang dituju. Kami memasuki perkarangan rumah yang besar. Disamping rumah ada jalan dan pintu pagar tinggi sehingga tidak terlihat dari luar. Seseorang berlari membuka pintu sehingga mobil bisa masuk ke dalamnya. Ternyata di dalamnya ada rumah petakan berjajar saling berhadapan. Ada 10 rumah di setiap sisinya. Totalnya 20 rumah. Tanpa kusadari, hatiku gentar melihat beberapa orang berwajah sangar duduk duduk di teras. Mereka menatap kami seperti melihat sesuatu yang aneh. Rani dan Rini memegang tanganku kencang. Terlihat wajah mereka yang ketakutan. Tubuh mereka memeluk tanganku meminta perlindungan. Ternyata Mang Karta mempunyai tempat seperti ini yang seperti sebuah markas dengan penjagaan berlapis. Pak Supir mengajakku masuk salah satu rumah yang berada di tengah.

"Kang Karta nyuruh tunggu di sini. Besok Kang Karta ke sini." kata seorang pria berwajah sangar sambil memberikanku kunci rumah.
Rumah yang aku masuki mempunyai dua kamar tidur yang berdampingan. Perabotannya juga terbilang komplit, di ruang tamu ada kursi dan meja serta tv 21in.
"Kalian istirahat saja di kamar. Kalian aman di sini." kataku. Kata aman sebenarnya aku tujukan untuk diriku sendiri.
"Takut Kang." kata Rani. Tangannya memegang tanganku dengan erat.
"Kalian aman di sini." kataku berusaha meyakinkan mereka walau sebenarnya aku tidak yakin. Karena aku tidak bicara langsung dengan Mang Karta lewat telepon. Tapi lewat Pak Supir.

"Temenin tidurnya Kang." kata Rini gadis berusia 17 tahun yang sempat kuelus memeknya. Kalau saja Pak supir tidak mengetuk pintu, keperawanan dua gadis cantik ini pasti sudah hilang.
"Takut kenapa?" tanyaku heran. Toch rumah ini sudah terkunci. Tapi koncikan bisa didobrak. Entah siapa yang sebenarnya ketakutan. Mereka atau aku.
"Takut diperkosa Kang. Kang Ujang liatkan, tadi di luar semuanya cowok" kata Rani gelisah.
"Kalau kalian tidurnya aku temenin, nanti malah aku yang merkosa kalian." kataku berusaha mencairkan ketegangan.
"Gak apa apa kalau yang merkosa Kang Ujang kan tadi juga Kang Ujang udah ditawarin." kata Rini menunduk malu.
"Kang Ujang kebanyakan ngomong. Emang mau merkosa Rani apa Rini?" tanya Rani menjadi lebih berani.
"Rani dan Rini." kataku sambil menarik tangan ke dua gadis itu masuk kamar.

Aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang, berusaha menghilangkan rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Aku berusaha mengabaikan pikiran buruk terhadap tempat ini. Mataku terpejam merasakan tubuhku sedikit rilleks dan otot otot ditubuhku mulai mengendur. Kubiarkan ke dua gadis anak Codet dengan pikiran mereka. Spring bed terasa bergoyang ketika Rani dan Rini naik ke ranjang dan tidur di samping kiri dan kananku. Hampir saja aku tertidur kalau saja tidak kurasakan salah satu diantara gadis itu meraba kontolku yang masih bersembunyi di balik celana. Reflek tanganku meraih tangan yang meraba kontolku dan menoleh ke arah pemilik tangan. Ternyata Rini yang sudah dalam keadaan bugil berbaring di sisi kiriku. Di sisi kananku Rani juga sudah berbaring dalam keadaan bugil. Sebenarnya aku yang mau merkosa mereka atau mereka yang akan merkosa aku.
"Kok kalian pada telanjang?" tanyaku heran.
"Katanya Kang Ujang mau merkosa kami !" kata Rini agresif.
Gadis ini lebih agresif dari kakaknya. Rini membuka bajuku dan juga celanaku hingga bugil. Matanya terbelalak melihat kontolku yang masih setengah tegang.
"Ich, gede amat." teriaknya kaget.
"Ich, pasti sakit kalau masuk memek." kata Rani menutup mulutnya.
"Kaya kontol di film bokep." kata Rini memberanikan diri memegang kontolku yang semakin tegang melihat tubuh ke duanya yang bugil.
"Makin gede aja!" kata Rani ikutan memegang kontolku.
Kubiarkan saja ke gadis itu takjub dengan ukuran kontolku yang sudah berhasil menaklukan banyak wanita.

Kulihat Rini membungkuk mencium kontolku dengan bibirnya yang tebal, lidahnya terjulur menjilat, terlihat kaku dan canggung. Mungkin dia ingin praktekan pengetahuannya dari film film porno yang dilihatnya.
"Rini kok kamu jilatin gitu?" kata Rani yang terlihat risih melihat adiknya yang begitu nekat.
Aku menarik Rani ke pelukanku. Kucium bibirnya dengan bernafsu dan tanganku meremas payudaranya yang besar dan kenyal. Entah sejak kapan Rini berjongkok dan memegang kontolku yang digesek gesekan di belahan memeknya yang mulai basah.
"Aduhhh sakitttt.!" Rini merintih tertahan saat kontolku merobek selaput daranya. Aku melihat kontolku sudah terbenam di memeknya. Bukan aku yang merkosa tapi aku yang sedang diperkosa gadis belia itu.
"Rini gila kamu...!" kata Rani menoleh ke arah adiknya melihat kontolku sudah terbenam di memek Rini.
"Bukan aku yang merkosa adikmu. Tapi adikmu yang merkosa aku." bisikku di telinga Rani yang menunduk malu melihat kelakuan adiknya yang binal.

Rani mulai terpancing oleh kebinalan adiknya, dia menyodorkan payudaranya ke mulutku yang menyambutnya dengan bernafsu. Payudara terbesar ke dua setelah payudara Marni yang mengeluarkan ASI. Aku biarkan Rini memacu tubuhku karena aku begitu asik dengan payudara jumbo Rani yang sangat menggiurkan. Tanganku meraba memek Rani yang mulai basah karena terangsang dan akan memudahkan kontolku merobek selaput daranya.
"Kak Rani memekku sakit tapi enak...!" kata Rini yang semakin asik memacu tubuhku.
"Mau aku jilatin gak memek kamu?" tanyaku ke Rani.
Wajahnya langsung merah karena malu. Tapi dia mengikuti perintahku berjongkok di atas wajahku dan aku melahap hidangan yang tersaji dihadapanku dengan rakus. Tiba tiba Rini menekan pinggulnya semakin keras di iringi geliat tubuhnya menggapai puncak orgasme pertamanya. Hingga pada akhirnya gadis belia itu terkapar di sampingku. Nafasnya mulai kembali normal.

"Ayo Ran. Sekarang kamu masukin kontolku ke memekmu seperti Rini." kataku menyuruh Rani.
"Aku di bawah aja Kang." kata Rani berusaha menolak mengikuti jejak Rini memperkosa aku.
"Kan kamu yang minta diperawanin...!" kataku.
"Gak apa apa Kak. Sakitnya cuma waktu masuknya aja. Setelah itu enak banget." kata Rini memprovokasi kakaknya.
Akhirnya Rani mengalah, dia berjongkok dan memegang kontolku terus digesek gesekan ke belahan memeknya yang sudah basah karena jilatanku. Perlahan kontolku mengoyak selaput daranya yang lebih tipis dari milik adiknya.
"Aduh sakittt..!" Rani meringis merasakan benda asing masuk bagian tubuh terdalamnya.
Gadis itu terdiam, takjub dengan benda asing yang berada di dalam bagian terdalam tubuhnya. Matanya menatapku sayup. Perlahan Rani bergerak memacu tubuhku, seperti seorang joki yang belajar menunggang kuda. Gerakannya kaku dan canggung.

Rini agresif mencium bibirku, walau canggung dan kaku. Tapi ciuman seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya terasa nikmat. Aku telah menjelma menjadi seorang Pangeran yang sedang dilayani hasrat seksualnya oleh dua dayang pilihan. Rani berpacu dengan teratur dan lembut. Kebalikan dari adiknya yang binal dengan sisi liarnya yang mulai muncul. Hingga akhirnya aku menyerah, tubuhku terhempas oleh badai kenikmatan yang membawaku ke langit ke 7. Tubuhku menyemburkan beribu benih kehidupan ke dalam tubuh Rani yang menyambutnya dengan rintihan panjang. Ya pada saat bersamaan Rani terhempas oleh orgasme pertama dan terindahnya. Kami berpelukan menggapai kenikmatan yang hanya sesaat. Kenikmatan yang membuat kami mencapai puncak nirwana.

Pagi pagi ada orang yang menggedor pintu membangunkan kami yang sedang tertidur nyenyak setelah semalaman mengayuh birahi. Entah berapa kali aku menyemburkan benih benih kehidupan ke dalam tubuh Rani dan Rini secara bergantian sehingga aku kehabisan tenaga dan tidur dalam pelukan dua gadis cantik. Aku bangun begitu juga Rani dan Rini. Kami segera berpakaian. Aku menyuruh ke dua gadis itu tetap berada di kamar. Ternyata seseorang membawakan kami sarapan dan kopi. Mereka berpesan agar setelah sarapan aku ke halaman belakang karena akan ada yang harus dibicarakan. Setelah sarapan akupun pergi ke halaman belakang sendiri. Aku berpesan ke Rani dan Rini untuk tetap di dalam rumah. Di halaman belakang sudah berkumpul beberapa orang. Kuperkirakan ada dua puluh orang dan mereka semua memakai baju pangsi yang biasanya dipakai untuk berlatih silat. Beberapa orang di antara mereka sedang berlatih dengan temannya. Tempat ini seperti sebuah perguruan silat. Cuma anggotanya semuanya sudah berumur 30-50 tahun. Berarti aku yang paling muda dibandingkan semua yang hadir. Begitu melihat kehadiranku, mereka semua berhenti berlatih. Mereka menatapku. Mata mereka terlihat waspada melihat kehadiranku. Kewaspadaanku meningkat hingga ke level tertinggi.
"Ini anaknya Kang Gobang! Apa dia juga sehebat Kang Gobang?" tanya seseorang yang memandangku remeh.
Aku tersinggung mendengar orang itu begitu meremehkanku. Tapi aku juga tidak bisa sembrono memancing pertarungan terbuka apa lagi harus menghadapi orang banyak yang ahli bela diri.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger