Home » » Ritual Sex di Gunung Kemukus 9

Ritual Sex di Gunung Kemukus 9


Bandar Taruhan - Aku memeluk Lilis dengan bingung. Kubiarkan kakak iparku yang cantik menangis dalam pelukanku. Agar semua bebannya sedikit berkurang.
"A Budi, Jang....!" Lilis kembali menangis tidak bisa meneruskan perkataannya.
"Kenapa dengan A Budi, Lis?" tanyaku was was.
"A Budi ditangkep polisi di sebuah club malam di Jakarta. Club xxxxx itu tempat prostitusi terselubung kaum gay. Mereka sedang pesta sex dan narkoba Semalam Lilis ditelpon polisi." kata Lilis setelah bisa mengendalikan dirinya.
"Terus?" tanyaku kaget dan tidak tahu harus berkata apa.
"Sekarang A Budi sedang menjalani pemeriksaan. Kalau terbukti bersalah A Budi masuk penjara. Lilis takut Jang. Aduh maaf Jang. Kamu baru sampe belum duduk." kata Lilis setelah menyadari keadaanku yang baru sampai dan belum sempat duduk.
Ahirnya aku bisa duduk juga lega rasanya, apa lagi melihat istriku yang cantik keluar membawa kopi panas kesukaanku. Tanpa menunggu dingin aku meminum kopi sedikit. Segar sekali rasanya.

"Lis aku pinjem telpon buat nelpon Bi Narsih, siapa tau dia punya kenalan yang bisa bantuin buat nolong A Budi." kataku.
"Jangan Jang. Nanti Bi Narsih tau aib Lilis. Lilis malu Jang." kata Lilis mencegahku menelpon Bi Narsih.
"Terus kita harus bagaimana buat nolong Pak Budi?" tanyaku bingung.
"Biarin aja Jang. Yang penting jangan sampai kedengeran orang lain." kata Lilis sambil memeluk pinggangku.
Perempuan memang aneh tadi nangis. Sekarang bibirnya tersenyum bahagia. Sebenarnya apa yang dirasakan Lilis saat ini? Membingungkan.
"Eh Lilis lupa ada Ningsih." kata Lilis tertawa. "Maaf ya Ning." kata Lilis sambil pindah tempat duduk.
"Gak apa apa Teh." kata Ningsih.
Lilis berdiri menarik tangan Ningsih yang duduk agak jauh dariku diciumnya pipi Ningsih dengan penuh kasih sayang. Lalu dituntunnya tangan Ningsih agar duduk di sampingku.
"Suami baru dateng bukannya dipeluk." kata Lilis menggoda adiknya.

Aku melingkarkan tanganku di pundak istriku sambil kubelai rambutnya yang panjang dan halus. Kucium mesra pipinya yang halus. Pipinya terlihat semakin cuby saja. Bukan hanya Ningsih yang terlihat semakin gemuk, Lilis juga terlihat lebih gemuk mungkin karna kehamilan mereka.
"Aa mandi dulu sana terus istirahat. Pasti cape dari Gunung Kemukus ke sini kan jauh pasti A Ujang kurang tidur." kata Ningsih melihatku yang terlihat mengantuk.
"Iya Aa mandi dulu ya!" kataku beranjak bangun.
Selesai mandi dan ganti baju, Aku merebahkan tubuhku yang lelah si kasur empuk. Ningsih duduk di sampingku, bibirnya menatapku tersenyum. Diciumnya bibirku dengan mesra.
"Istirahat ya Sayang, Cintaku. Ningsih mau masak dulu." katanya sambil meningggalkanku sendiri.
Bangun jam 2 siang dengan tubuh segar, Ningsih dan Lilis langsung menyuruhku makan, mereka melayaniku dengan sangat baik, aku seperti raja yang dilayani oleh dua ratu.
Aku lupa seharusnya aku sudah lapor ke Bi Narsih tentang hasil penyelidikan tentang Codet ke Bi Narsih atau juga Mang Karta. Sekarang posisinya menjadi sulit, menelpon dari rumah ini pasti akan memancing kecurigaan Lilis dan Ningsih. Belom waktunya mereka tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Apa lagi aku juga harus merahasiakan pernikahanku dengan Anis. Harus tetap menjadi rahasia tidak ada yang boleh tahu. Kalau sekarang aku ke rumah Bi Narsih tentu juga akan menimbulkan kecurigaan. Masa baru pulang sudah mau jalan lagi. Belum lagi kios yang harus aku kelola dan menurut Ningsih sudah mulai buka sejak aku pergi. Ningsih menjaganya berdua dengan Lastri, hari ini Ningsih sengaja libur karna aku pulang. Aku juga belum menemui ibuku tercinta. Biarlah urusan laporan ke Bi Narsih dan Mang Karta aku lakukan besok.

Kadang menikahi Anis adalah keputusan yang sangat bodoh, dia orang yang meracun ayahku. Tapi menolak pernikahan itu juga bukan hal yang mudah. Aku sudah bisa merasakan kehebatan Pak Shomad. Kalau sampai menolak menikahi Anis, bukankah aku akan celaka saat itu juga. Bukan hanya menghadapi Pak Shomad, bisa jadi aku akan menghadapi banyak orang. Aku belum pernah bertarung di pertarungan yang sebenarnya apa lagi harus menghadapi lebih dari satu orang. Bukankah itu artinya mati konyol. Walau dari kecil aku berlatih silat Cimande yang asli dan tidak dipertarungkan di pertandingan resmi IPSI. Sejak pertama kali aku berlatih jurus, sudah langsung menghadapi lawan. Satu orang melancarkan pukulan dan yang lain akan menangkis lalu memukul. Selalu bergantian menangkis dan memukul. Dimulai dengan duduk sambil menangkis dan memukul. Lalu berdiri dengan kuda kuda, kemudian berlatih tendangan, barulah kami berlatih bantingan dll. Hanya ada 7 jurus yang aku ulang ulang selama belasan tahun. Tapi apakah ilmu silat yang aku pelajari bisa berguna menghadapi pertarungan sebenarnya? Pertarungan brutal dengan gaya yang berbeda. Tapi bukankah prinsip dasar ilmu bela diri di manapun ada 3?
1. Serangan, bisa berupa pukulan tangan maupun tendangan.
2. Menangkis serangan atau menghindari serangan.
3. Bantingan atau kuncian seperti yang diperagakan dalam ilmu gulat.

"Sayangku, cintaku. Kok Lilis perhatiin dari tadi kamu ngelamun ?" tanya Lilis memeluk leherku dari belakang. Diciumnya pipiku dengan mesra.
"Ujang lagi mikirin, apa ritual Ujang sudah benar benar sempurna apa belom." kataku sambil mengusap rambut Lilis yang panjang bergelombang. Di dalam rumah Lilis selalu melepas jilbabnya.
"Mudah mudahan sempurna A. " menjawab pertanyaan yang sebenarnya aku tujukan pada diriku sendiri.
"Mudah mudahan. Kamu makin gemuk aja Sih!" kataku sambil memperhatikan Ningsih yang baru duduk di depanku.
"Namanya juga orang hamil A. Pasti kegemukan. Teh Lilis aja kegemukan. Liat aja pipi Teh Lilis jadi tembem." kata Ningsih menunjuk Lilis yang berjalan dan kemudian duduk di sampingku.
"Biarpun Lilis jadi gemuk, tapi tetap cantik ya Jang.?" kata Lilis sambil melumat bibirku. Sementara tangannya meraba kontolku yang mulai bangkit.
"Ujang baru dicium aja kontolnya langsung bangun. Hihihi." kata Lilis menggodaku.
"Teteh yang punya aja belom megang." kata Ningsih cemberut.
"Iya adekku sayang. Tuch Jang. Ningsih minta jatah. Hihihi." kata Lilis sambil menghampiri Ningsih yang cemberut. Ditariknya tangan adiknya agar mendekat ke arahku.

Aku menarik tangan istriku hingga jatuh ke dalam pelukanku. Kulumat bibirnya yang mungil dengan mesra. Aku menumpahkan semua kerinduanku lewat kulumanku di bibirnya.
"Aa kangen !." bisikku lalu kucium belakang telinga Ningsih menggelitiknya membuat Ningsih tertawa geli.
"Geli Aa...hihihihi !" Ningsih menjauhkan kepalanya.
"Ngentotnya di kamar aja yuk A. Kalau di sini nanti Teh Lilis kepengen." kata Ningsih sambil melirik Lilis.
"Teh Lilis gak akan pengen. Paling juga suami Ningsih Teteh perkosa." kata Lilis menghampiri Ningsih lalu menggelitik perutnya.
Ninggsih menggelinjang kegelian di pangkuanku. Aku memegangnya erat agar tidak terjatuh.
"Sudah ah jangan becanda mulu. Emang badannya Ningsih enteng? Berat tau. Kita langsung maen bertiga aja biar gak saling iri." kataku sambil menarik tangan Lilis agar duduk di sampingku.

Kulumat bibir Lilis yang duduk di sampingku sambil memanggku istriku. Lilis membalas ciumanku dengan mesra, semua ingatannya terhadap suaminya hilang begitu saja. Kami saling berciuman mesra. Ningsih tidak mau kalah, dia menciumi kuping belakangku, lidahnya menjilat dengan lincah. Tiba tiba Ningsih turun dari pangkuanku, ditariknya celana panjang dan CD ku berbarengan, lepas lewat kakiku. Kontolku yang sudah mulai menegang, berdiri dengan gagahnya walau kekerasannya baru mencapai 80%. Melihat Ningsih membuka celanaku, Lilis ikut ikutan membuka bajuku. Ningsih mulai menjilati kantong pelerku hingga batang kontolku, lidahnya begitu lincah. Sedangkan Lilis menjilati dadaku dan menghisap hisap pentilnya. Aku benar benar dimanjakan oleh kakak beradik yang cantik. Mereka berlomba memberikanku kenikmatan surga dunia. Ningsih mengulum kontolku dengan lahap dan dia semakin ahli mempermainkan kontolku di mulutnya yang mungil, sehingga giginya tidak mengenai kontolku. Ningsih benar benar belajar cara memberiku kenikmatan. Sementara Lilis menciumi dadaku dan menghisap pentilnya dengan mesra menambah kenikmatanku semakin menjadi. Aku mengangkat wajah Lilis, lalu kulumat bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah. Kami berciuman dengan mesra menumpahkan kerinduan setelah hampir 2 minggu berpisah.

Aku merasakan kontolku sudah tidak disepong Ningsih. Pandanganku ke arah Ningsih terhalang wajah Lilis sehingga aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan istriku. Tiba tiba aku merasakan Ningsih naik ke pangkuannku. Kontolku di pegang dan menyentuh daging lunak yang lembab. Lalu kontolku memasuki lobang sempit yang hangat. Hmmm kontolku sudah masuk memek istriku.
"Aduh ahirnya memek Ningsih disodok kontol A Ujang lagi." kata Ningsih saat kontolku terbenam di memeknya yang sudah sangat basah.
"Ningsih udah ngeduluin aja!" kata Lilis sambil mencubit pelan pipi adiknya yang tembem.
"Biarin kontolnya A Ujang kan punya Ningsih." kata Ningsih tersenyum menggoda Lilis. Pinggulnya memompa kontolku dengan pelan dan berirama.
Perlahan aku meremas tetek istriku yang semakin membesar sejak kehamilannya. Ningsih mencium bibirku dengan penuh perasaan lidahnya menggelitik rongga mulutku.
"Ennnak A,...!" kata Ningsih sambil mempercepat goyangannya memacu kontolku.
Kulihat Lilis membuka pakaiannya hingga bugil, matanya nemandang cemburu melihat adiknya memacu kontolku.
"Ennnnak Ningsih. Kok memek kamu rasanya makin rapet aja..." kataku sambil memegang pantatnya yang bulat, aku membantu menggerakkan pantat istriku agar tidak terlalu capek karna kehamilan muda sangat berisiko.

Lama juga Ningsih memacu kontolku, dia bergerak begitu santai seakan ingin menggoda Lilis yang menyaksikan kami. Hingga akhirnya Ningsih tidak mampu menahan orgasmenya lagi. Dia mengeram kuat diiringi tubuhnya yang mengejang.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr ennnak...!" kata Ningsih sambil menghisap leherku. Ahirnya setelah badai orgasmenya reda, Ningsih turun dari pangkuanku.
Melihat kontolku yang basah oleh lendir memek Ningsih, Lilis segera berjongkok lalu menjilati kontolku dengan bernafsu. Tidak ada perasaan jijik menjilati lendir memek adiknya.
"Teh Lilis kontol Aa kan bekas memek Ningsih. Kok dijilat !" kata Ningsih melihat Lilis yang rakus menghisap kontolku.
"Biarin,...!" kata Lilis sambil bangun dan kemudia naik ke pangkuanku. Tangannya meraih kontolku, stelah pas pinggulnya bergerak turun menelan kontolku.
"Jang kontol kamu kok ennnak banget. Bikin Lilis ketagihan." kata Lilis sambil memacu kontolku. Nikmat sekali rasanya kontolku masuk di dua memek kakak beradik yang sama sama cantik.
"Lis terus goyang. Memek kamu ennnak..." kataku sambil meremas pantat Lilis yang sekal.
Semakin lama Lilis memompa kontolku dengan cepat tapi tetap lembut. Bibirnya mengulum bibirku dengan mesra tangannya memeluk leherku.

"Ennnnak A..... Lilis benar benar bahagia bisa selalu dekat dengan Ujang. " kata Lilis. Matanya yang sayu menatapku bahagia.
Setelah beberapa lama aku merasakan memek Lilis berkedut semakin kencang meremas kontolku. Matanya terpejam merasakan sensasi yang luar biasa.
"Jang Lilis kelllluarrrrr..... nikmat banget kontol kamu...." Lilis memelukku sangat erat dan saat yang sama kontolku menembakkan pejuh.
"Ujang jugaaaa Lissss ennnak...!" kami berpelukan erat menikmati orgasme yang dahsat.

"A bangun sudah jam 4, Aa mau ke pasar gak?" Ningsih membangunkan. Tangannya menggoyangkan tubuhku dengan pelan.
Aku menggeliat malas Ningsih duduk di pinggir ranjang dengan tubuh bugil menggoyang goyang tubuhku. Kulihat ke sampingku, Lilis masih terlelap dengan tubuh bungil. Semalam kami tidur bertiga atas permintaan Lilis. Aku bangun Ningsih mengajakku mandi bareng. Selesai mandi Ningsih membuatkanku kopi. Jam 4:30 aku berangkat ke pasar. Suasana jalan masih begitu sepi. Aku berlari lari kecil sambil menggerakkan tanganku ke samping. Sampai pinggir jalan raya tiba tiba dua orang menghampiriku dengan membawa pentungan kayu. Melihat gerak gerik mereka yang mencurigakan membuatku meningkatkan kewaspadaan.

Dan kecurigaanku terbukti, salah seorang tiba tiba menghantam kepalaku dengan pentungan kayu yang biasa digunakan untuk bermain kasti. Reflek aku menghindar ke samping, tapi belum lagi aku siap. Pria satunya menghantamkan pentungannya mengarah kepalaku. Sekali lagi aku bisa menghindar, mundur berusaha menjauhi ke dua orang itu. Tapi langkah mereka begitu ringan mengejar langkah mundurku. Mereka berdua sudah terbiasa dengan pertarungan jalanan, sehingga mereka bisa menduga apa yang akan aku lakukan. Kembali pentungan kayu itu mengarah kepala dan tulang igaku secara bersamaan, menutup semua gerakanku untuk menghindar. Benar benar serangan mematikan dan satu satunya cara menghindar yang paling mungkin aku lakukan adalah menangkis pentungan kayu yang mengarah ke tulang igaku dan membungkuk, sehingga pentungan yang mengarah kepalaku dapat kuhindari. Sementara aku membungkuk menghindari pentungan yang mengarah kepalaku, tulang kering tanganku beradu dengan pentungan kayu yang keras. Sakit sekali rasanya, tanganku seperti patah.

Tangan kiriku menangkis sambil menghindari serangan, sedangkan tangan kananku dengan sigap mengambil pentungan yang aku tangkis. Inilah jurus pertama yang aku pelajari, tangkisan yang dibarengi mengunci. Dan aku berhasil merebut pentungan bersamaan dengan serangan yang kembali mengarah ke kepalaku. Reflek aku menangkis dengan pentungan yang berhasil aku rebut. Dan orang yang pentungannya berhasil aku rebut tiba tiba melancarkan tendangan menyapu kakiku. Sapuan yang sia sia, kakiku sudah terlatih dengan kuda kuda cimande, tulang kering betisku sudah sangat keras karna bertahun tahun ditempa. Justru kakinya yang menyapu aku hantam dengan pentungan yang berhasil aku rebut membuat pria itu bergulingan menahan sakit.

Melihat temannya bergulingan menahan sakit, pria itu kembali menyerangku membabi buta membuatku kewalahan menahan serangannya, sehingga lupa prinsip dasar Cimande yang sudah aku latih bertahun tahun. Ketika menangkis, harus disusul dengan serangan. Aku terus mundur menghindari serangannya, hal yang tidak diajarkan dalam silat Cimande, karna dengan menghindar mundur, posisiku justru dalam bahaya. Dan ketika aku menyadarinya, aku jatuh tersandung batu. Melihatku terjatuh, pria yang menyerangku tidak memberiku kesempatan sama sekali. Kakinya menendang wajahku yang jatuh terduduk. Dalam keadaan terpepet kemampuanku yang sebenarnya kembali muncul. Aku merebahkan tubuhku ke belakang, kakiku menendang kaki kirinya membuat pria itu terjatuh. Pria itu berguling menjauhiku agar terhindar dari serangan susulanku. Aku tidak berani mendekatinya karna temannya sudah siap menghadapiku kalau.

Tiba tiba ada mobil berhenti dan ke dua orang itu masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa memandangi mobil itu berlari meninggalkanku. Siapa mereka? Apa mungkin anak buah Codet yang mau mencelakakanku? Lalu kenapa mereka meninggalkanku begitu saja, padahal di dalam mobil aku melihat beberapa orang. Kalau mereka mengerubutiku, bukankah aku benar benar celaka saat ini. Lalu kalau itu anak buah Codet, dari mana dia tahu tentang keberadaanku? Apakah Anis menghianatiku seperti dia menghianati ayahku? Tapi aku tidak menghianatinya seperti ayahku yang menghianatinya. Tadi dari kejadian ini aku sadar, kemampuan silatku masih belum teruji di pertarungan jalanan seperti tadi. Aku harus berlatih lagi dan harus meningkatkan kewaspadaanku. Terutama juga aku harus mulai memikirkan keselamatan keluargaku. Tapi bagaimana caranya melindungi keluargaku sedangkan aku tidak selamanya bersama mereka. Ingin rasanya aku kembali pulang ke rumah, tapi pasti akan menimbulkan kecurigaan. Dan kalau istriku dan Lilis tahu apa yang terjadi, tentu mereka akan sangat was was. Untuk sementara aku harus merahasiakannya.

Di pasar pikiranku tidak terlalu fokus menjaga tokoku. Bahkan beberapa kali aku salah mengambil permintaan pembeli, apa lagi aku belum hapal letak barang barang maupun harganya. Untungnya Lastri sudah hapal letak barang barang dan juga harganya. Aku berkali kali mengucapkan terimakasih dengan tulus ke Lastri. Tanpa dia, hari pertamaku berjualan akan berantakan.
"A sepertinya sedang banyak pikiran?" tanya Lastri saat tidak ada pembeli. Dia menatapku penuh selidik.
Aku menatap Lastri, berusaha mencari tahu apakah gadis ini bisa aku percaya dan bisa aku andalkan. Aku menarik nafas berusaha menarik kesimpulan walaupun mungkin kesimpulanku itu salah. Tapi aku tidak punya pilihan lain, selain bedusaha mempercayainya.

"Aku mau menceritakan sesuatu kepadamu. Tapi kamu harus berjanji untuk tidak menceritakannya lagi ke orang lain. Kamu harus bersumpah akan menjaga rahasia ini." kataku menatap Lastri berusaha menyakinkan diriku bahwa wanita ini bisa dipercaya.
"Lastri bersumpah akan menjaga rahasia A Ujang." kata Lastri mengucapkan sumpahnya.
Lalu aku mulai menceritakan semuanya kepada Lastri, dimulai dari terbunuhnya ayahku. Aku menceritakan semuanya hingga penyerangan tadi. Hanya pernikahanku dengan Anis yang tidak kuceritakan.
"A Ujang mulai sekarang harus hati hati. " kata Lastri dengan tatapan mata penuh kehawatiran.
Aku lega setelah menceritakan semuanya ke Lastri. Entah kenapa aku tiba tiba mempercayai gadis itu. Walau aku tahu dia tidak akan bisa membantuku. Satu satunya bantuan yang bisa diberikannya adalah urusan kios dan terbukti dia sangat terampil.

Jam 4 sore kios tutup, aku langsung ke rumah Bi Narsih untuk menceritakan kejadian yang menimpaku tadi pagi. Sampai rumah bi Narsih aku kaget bukan kepalang melihat dua orang pria yang menyerangku ada di ruang tamu sedang mengobrol dengan Mang Karta.
"Duduk Jang. Jangan takut, ke dua orang ini memang Mang Karta suruh untuk menyerang kamu tadi subuh. Biar kamu terbiasa dengan pertarungan jalanan dan juga mengasah kewaspadaan kamu." kata Mang Karta menjelaskan panjang lebar.
"Jadi, ?" tanyaku bingung.
"Selama ini Mang Karta maksa kamu belajar silat ke Abah Haji tujuannya biar kamu siap menghadapi semua kemungkinan. Bisa menjaga dirimu. Tapi sekarang kamu harus lebih siap lagi menghadapi pertarungan yang sebenarnya. Pertarungan yang liar. Makanya Mang Karta menyuruh Herman dan Jeger menguji kemampuan kamu. Mereka ini dulunya bekas anak buah kesayangan Ayahmu. Kamu juga masih kenal dengan orang ini kan?" tanya Mang Karta menunjuk seorang pria berumur 45 an yang dari tadi hanya duduk dan tidak sempat aku perhatikan.
"Mang Udin !" Ujarku kaget melihat kehadiran Mang Udin Tompel yang pernah bertemu denganku di Garut.

Aku menyalami ke 3 orang itu, para pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan Mang Karta. Walau usia mereka sudah berumur, aku yakin kemampuan bertarung mereka tidak diragukan. Terutama Herman dan Jeger, aku yakin kalau tadi mereka bersungguh sungguh tentu aku sudah celaka sekarang.
"Sudah dulu ngobrolnya, ini kopi dan pisang gorengnya dimakan." kata Bi Narsih keluar membawa kopi dan pisang goreng.
Kami meminum kopi dan makan pisang goreng yang dibawa Bi Narsih sambil menyusun rencana yang tidak sepenuhnya aku mengerti. Aku tidak tahu apa apa tentang dunia premanisme. Hidupku selama ini lurus dan cenderung monoton. Semuanya berubah setelah aku melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Jang si Herman ini jago taekwondo, dia megang pasar xxxx. Walaupun wilayahnya kecil, tapi preman preman besar segan sama dia. Dulu dia pernah bentrok dan dihianati oleh Codet sehingga mendekam di penjara selama 10 tahun. Baru bebas setahun yang lalu. Si Jeger dulu pernah jadi tangan kanan si Codet, tapi dalam sebuah transaksi Narkoba dia dihianati, sehingga mendekam di penjara 12 tahun. 6 bulan dia baru menghirup udara bebas. Kalau Mang Udin pasti kamu kenal. Adiknya dijerumuskan menjadi PSK oleh Codet. Kejadiannya 14 tahun yang lalu. Kamu jangan menganggap remeh kemampuan Mang Udin ini. Di antara anak buah ayahmu Yang paling tangguh adalah Mang Udin. Bahkan Mang Karta tidak bisa mengalahkan Mang Udin dalam pertarungan satu lawan satu. Dia menguasai Silat Sera yang sempurna." kata Mang Karta memperkenalkan teman temannya.

"Bagaimana dengan, Anis ?" tanya Bi Narsih kepadaku.
"Anis sudah mengakui bahwa dirinya yang mencampurkan racun." lalu aku menceritakan semua kejadiannya dengan detil, kecuali pernikahanku dengan Anis yang aku rahasiakan.
"Kamu harus hati hati terhadap Anis, bisa saja dia akan menikammu dari belakang." kata Bi Narsih mengingatkanku.
"Iya, bi!" kataku.
"Menghancurkan si Codet bukan hal mudah. Dia mempunyai jaringan yang kuat. Dia menguasai klub malam di beberapa tempat yang dijadikan sarang prostitusi dan peredaran Narkoba. Dia juga dilindungi orang orang penting di Jakarta. Selain orang penting, dia juga berhasil mengkordinasi sebagian besar preman di Jakarta. Dia sangat licik. Kita tidak bisa berhadapan langsung dengannya, kita bisa mati konyol." kata Mang Karta meneruskan.
"Tugas Ujang sekarang apa?" tanyaku bingung. Otakku tidak mampu berpikir. Aku terlalu naif untuk urusan seperti ini.
"Mang Karta sudah berhasil membongkar kedok Club xxx, salah satu club milik Codet. Ini akan membuat Codet marah dan bisa mengalihkan perhatian dia." kata Mang Karta tidak menjawab pertanyaanku.
Club xxx, bukankah itu club tempat Pak Budi diciduk polisi. Bahkan sampai sekarang Pak Budi masih belum keluar. Ternyata Club itu milik Codet.

7 hari setelah berkumpul di rumah Mang Karta.
Di kios aku lega melihat hasil kerja Lastri yang sangat bagus. Sejak 5 hari yang lalu semua urusan Kios aku serahkan ke Lastri, dari mulai menyusun pembukuan, keuangan dan keluar masuknya barang semua bisa dijalankan dengan baik. Aku juga menambah pekerja yang akan membantu semua pekerjaan Lastri. Sebenarnya ini cukup beresiko, bagaimana kalau ternyata Lastri tidak jujur dan menggelapkan keuangan? Kios ini akan bangkrut. Tapi semuanya sudah aku pikirkan. Ada rencana besar lainnya, yaitu balas dendam. Kata yang terdengar aneh buatku. Jujur, rencana balas dendam jauh dari pikiranku. Kalaupun Balas Dendam menjadi tujuanku, karna aku ingin membalas budi ke Mang Karta dan Bi Narsih. Hal yang yang paling aku takuti sekarang adalah mati muda. Bagaimana anak yang dikandung Ningsih kalau aku mati? Untung saja Mang Karta ada. Bi Narsih memberiku tungas ringan, yaitu mendekati anak si Codet. Aku melhat foto yang kupegang.

Namanya Sisca, anak pertama Codet dari istri pertamanya. Seorang Mahasiswi di salah satu Univ Swasta di Bogor. Cantik juga, walau masih lebih cantik istriku. Mendekati seorang gadis, terdengarnya mudah. Tapi menurutku itu hal yang sulit. Aku belum pernah mendekati seorang gadis apa lagi harus mengejarnya. Selama ini aku mendapatkan kemudahan lewat ritual Sex Gunung Kemukus. Tanpa basa basi dan proses yang berbelit.
"Jang kok dari tadi melamun terus?" tanya Lastri mengagetkanku.
"Gak apa apa Las. Nanti malam kamu kuliah gak?" tanyaku berbasa basi.
"Enggak kan malam minggu. Emangnya kenapa?" tanya Lastri tersenyum manis.
"Tutup kios kita jalan jalan yuk!" ajakku.
"Gak mau. Ke kontrakan Lastri aja. Mumpung suaminya Mbak Heny keluar kota." kata Lastri.
"Kan ada Mbak Heny." kataku.
"Gak apa apa lagi pula kamu ditungguin Mbak Heny." kata Lastri lagi.
"Mbak Heny ada perlu, apa?" tanyaku heran.
"Pengen dihamilin kamu." kata Lastri setengah berbisik membuatku kaget. Wah, aku bakalan 3some lagi, nich.

Setelah menutup kios aku mengantar Lastri pulang ke kontrakannya yang tidak jauh dari pasar. Ternyata Heny kakaknya Lastri sudah pulang lebih dahulu.
"Wah Ujang ke mana aja? Lupa ya sama Heny? Kan kamu udah janji mau ngehamilin Heny!" kata Heny tanpa basa basi lagi.
"Mbak Heny A Ujang baru sampe udah ditagih janji. " kata Lastri tertawa geli melihatku yang salah tingkah.
"Eh sibuk Mbak." kataku agak risih mendengar perkataanya yang tanpa tedeng alingnya.
Mbak Heny tidak menggubris ledekan Lastri, dia duduk di sampingku, sementara Lastri masuk dapur mau membuatkanku kopi.
"Jang kok kamu tegang amat? Santai aja kan mau dikasih enak. Mau dapet dua memek." kata Heny sambil meraba kontolku yang masih tidur dari luar celana.
Lastri yang membawa kopi hanya geleng geleng melihat kelakuan Mbaknya yang gak tahu malu.
"Mbak jaga image apa. Ketauan amat pengen ngentotnya." kata Lastri mengingatkan Heny sambil meletakkan kopi di meja.
"Namanya juga ngebet pengen hamil." Kata Heny cuek.

Melihat kelakuan Heny yang kegatelan membuatku horny, aku memeluk wanita bersuami itu. Kucium bibirnya dengan bernafsu. Tanganku menyusup masuk ke selangkangannya yang ternyata sudah tidak memakai celana dalam, sehingga tanganku menyentuh jembutnya yang lebat dan belahan memeknya yang ternyata sudah basah.
"Memek Mbak sudah basah ya?" tanyaku sambil jariku menusuk masuk memeknya.
"Iya liat kamu datang memekku langsung basah." kata Heny membiarkan jariku mengocok ngocok memeknya. Heny membuka tank topnya dengan cuek.
"Mbak pindah ke kamar inikan ruang tamu." kata Lastri memperingatkan.
Kali ini Heny mau mendengar perkataan Lastri. Dia menarik tanganku masuk kamarnya. Tidak ada ranjang, hanya kasur busa besar di atas lantai. Heny membuka roknya sehingga kini dia benar benar bugil mempertontonkan tubuhnya yang langsing menggoda. Ada yang membuka bajuku dari belakang ke atas dan melepaskannya lewat kepala. Aku yakin itu Lastri. Karna Heny sibuk melepaskan ikat pinggang dan kancing celanaku lalu meloloskannya lewat kaki.

Heny berjongkok di hadapan kontolku, dilahapnya kontolku dengan rakus sambil tangannya mengocok ngocok kontolku, wanita yang sangat berpengalaman memanjakan kontol cowok. Lastri tidak mau kalah, dia menciumi bibirku dengan sepenuh hati, berbeda dengan ciuman Heny yang penuh nafsu. Ciuman Lastri seperti ciuman Ningsih dan Lilis yang penuh cinta dan.perasaan.
"Udah Mbak aku nanti keburu keluar...!" kataku menahan kepala Heny yang sedang mengocok kontolku.
"Iya Jang. Kalau mau ngecrot di memek aja biar aku cepet hamil." kata Heny sambil tidur terlentang dengan paha mengangkang lebar.
Aku segera membungkuk se selangkangan Heny, mulutku nyosor ke memeknya yang agak membuka dan lubangnya terlihat basah berlendir. Tentu akan terasa nikmat kalau aku seruput cairannya yang gurih.

"Ennnak Jang memekku diemut kamu terussss....!" Heny menggelinjang nikmat saat lidahku bergerak liar di lobang memeknya dan itilnya.
Sengaja ku permainkan birahinya agar mencapai puncaknya sebelom kontolku mengocok memeknya. Dan benar saja setelah lidahku menggelitik memeknya, tidak sampai lima menit, Heny menjerit mendapatkan orgasmenya.
"Jang akkkku kelllluarrrrr.. Gila lidah kamu..!" Heny menjambak rambutku dan membenamkannya di memeknya. Tubuhnya mengejang nikmat. Jambakannya lepas saat orgasmenya reda.
Aku bangkit menoleh ke arah Lastri yang sudah bugil dan duduk memperhatikan kami. Kutarik tangan Lastri agar tiduran di samping Heny. Aku membuka pahanya agar mengangkang lebar. Saat aku membungkuk untuk menjilatinya, Lastri menutupi memeknya dengan telapak tangannya.
"Memek Lastri jangan dijilatin. Memek Lastri kotor, pernah dientot puluhan kontol. Memek Lastri pernah jadi pelacur. Langsung entot aja." kata Lastri melarangku menjilati memeknya.

Aku mengalah, merangkak di atas tubuh mungil Lastri yang menuntun kontolku di pintu masuk memeknya yang ternyata sudah basah. Terbukti kontolku dengan mudah menerobos masuk memeknya dengan mudah.
"Ennnnak kontol A Ujang sampe mentok memek Lastri." kata Lastri matanya terlihat sayu, tangannya merangkul leherku.
Perlahan aku memompa memeknya dengan lembut selembutnya agar Lastri tidak ingat penderitaannya saat menjadi PSK di Gunung Kemukus. Aku yakin, setiap pria yang dilayaninya akan memperlakukannya dengan kasar dan terburu buru.
"Ennak A ngentotnya....!" Lastri mencium bibirku, terlihat rona bahagia di wajahnya yang cantik.
Pinggulku terus memompa memeknya dengan berirama berusaha memberikan kenikmatan maksimal ke wanita yang sudah sangat membantuku mengelola kiosku. Hingga akhirnya Lastri berteriak lirih menyambut orgasme yang begitu dahsat. Pinggulnya terangkat menyambut hantaman kontolku.

"A Ujang Lastri kelllluarrrrr... Nikmat...!" memek Lastri berkontraksi meremas kontolku dengan lembut disertai rasa hangat menyelimuti batang kontolku. Tangannya memelukku sangat erat.
Lastri melepaskan pelukannya setelah badai orgasmenya reda, aku bangkit dari atas tubuhnya lalu pindah merangkak di atas tubuh Heny yang langsung mengangkang siap menerima hujaman kontolku di lobang memeknya. Dengan mudah kontolku menerobos masuk memeknya yang sudah sangat basah. Pelahan aku mulai memompa memek Heny yang sangat becek sehingga jepitannya tidak begitu terasa.
"Cepetin ngentotnya Jang biar enak." kata Heny sambil menggerakkan pinggulnya naik turun dengan cepat.
Aku memompa memeknya dengan cepat dan bertenaga menimbulkan bunyi keciplak yang merdu. Aku melirik kontolku yang keluar masuk memeknya terlihat berkilat dan lengket oleh cairan memek Heny berpadu dengan lendir memek Lastri.

"Gilaaa Jang. Kontol kamu sampe mentok memek gue..." kata Heny sambil memegang pinggulku membantunya agar bergerak semakin cepat mengocok memeknya yang sudah sangat licin.
"Jang gueee kelllluarrrrr lagiii..." Henya menarik pinggulku agar kontolku terbenam hingga dasar memeknya.
Seyelah badai orgasmenya reda, aku kembali memompa memeknya membabi buta agar secepatnya meraih orgasme. Agak lama aku memompa memeknya dengan cepat, hingga ahirnya aku merasa kontolku berkedut akan menembakkan pejuh disertai rasa nikmat yang membuat tubuhku mengejang tanpa dapat aku tahan.
"Mbak, akkkku kelllluarrrrr...." tubuhku mengejang nilmat. Dan tidak lama kemudian.
"Gueeeee jugaaa keeelllluarrrrr...." Heny mengejang dan tangannya memeluk pinggangku dengan keras.

Jam 8 aku sampai rumah, betapa kagetnya saat aku melihat Ningsih yang membuka pintu sambil menangis.
"Ada apa Ning?" tanyaku hawatir.
Ningsih tidak menjawab, memegang tanganku masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ternyata Lilis juga sedang menangis membuatku semakin hawatir, apa yang sebenarnya terjadi?
"Abah Haji meninggal Jang..!" kata Lilis sambil memelukku.
"Abah Haji siapa Lis?" tanyaku bingung. Setahuku mertuaku belum jadi Haji.
"Ayahnya A Budi A.. Kena serangan jantung." Ningsih menjawab pertanyaanku.
Aku kaget mendengar berita mendadak ini. Saat itu juga tanpa meminta persetujuan Lilis aku menelpon Mang Karta memberitahu kabar duka ini dan sekalian minta tolong dicarikan supir untuk mengantar kami ke Garut malam ini juga dengan menggunakan mobil Pak Budi. Untungnya Mang Udin masih ada di rumah Mang Karta dan dia biasa jadi supir. Jam 10 kami berangkat ke Garut. Alhamdulillah perjalanan lancar, jam 3 pagi kami sudah sampai di rumah orang tua Pak Budi.

Sampai rumah, Ambu ibunya Pak Budi langsung memeluk Lilis, ke dua wanita itu berpelukan sambil menangis. Setelah bisa menguasai diri, Ambu mengajak Lilis masuk kamarnya, cukup lama mereka di dalam kamar, sedangkan aku dan Mang Udin langsung mengaji Yassin di samping jenazah. Tiba tiba Ningsih memanggilku dan mengajakku masuk kamar yang biasa di tempati Lilis. Kulihat Lilis sedang memperhatikan beberapa lembar foto.
"Ada apa Lis?" tanyaku was was.
"Abah kena serangan jantung setelah melihat foto foto ini. Foto yang sama seperti yang Lilis terima sehari sebelum Ujang pulang dari Gunung Kemukus." kata Lilis sambil memperlihatkan foto foto Pak Budi sedang bermesraan dengan seorang pria tampan yang pernah aku temui di penginapan.
Aku termenung menatap photo photo Pak Budi yang tergeletak di kasur. Ningsih memeluk Lilis yang terisak menangis pelan. Entah Lilis menangis untuk siapa. Untuk kematian mertuanya atau untuk
kemalangan dirinya.

Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan penyebab Lilis menangis. Aku lebih tertarik siapa yang mengirim photo photo ini ke Lilis dan Abah Haji sehingga Abah Haji terkena serangan Jantung. Apa maksudnya mengirim photo photo ini. Hidupku menjadi semakin ruwet. Aku memutuskan kembali ke depan mengaji Yassin di dekat mayat Abah Haji. Kusuruh Ningsih menemani Lilis. Jam 10 siang mayat baru dikubur setelah Pak Budi datang dari Jakarta. Rupanya dia sudah dibebaskan karna tidak terbukti dia sedang dalam pengaruh Narkoba. Dia sedang sial saja kena ciduk saat pesta sex dengan sesama jenis. Ya, Pak Budi seorang homo. Setelah jenazah Abah haji dikubur semua pelayat kembali pulang ke rumah masing masing kecuali Pak Budi yang tetap di makam menangisi kepergian ayahnya. Aku dan Mang Udin duduk di teras depan bersama para tetangga yang berkumpul, tiba tiba kami dikejutkan dengan teriakan Lilis yang sangat kencang. Kami berlarian masuk ke dalam, ternyata Lilis di kamar Ambu Haji yang tergeletak lah mungkin pingsan karna shock dengan kepergian Abah Haji.

Di sini kesigapan Mang Udin aku ancungi jempol, dia menyuruh orang untuk mengangkat tubuh Ambu Haji ke mobil dan yang lainnya disuruh menjemput Pak Budi di makam. Semuanya bergerak dengan cepat secepak Pak Udin melarikan mobil ke RS terdekat dengan ditemani aku dan Lilis yang sepanjang jalan menangis. Serangan jantung, kata seorang Perawat yang mendorong ranjang setengah berlari memasuki ruang ICU. Kami bertiga terduduk lemas di ruang tunggu. Waktu terasa berjalan sangat lama. Aku menarik nafas sedikit lega melihat Pak Budi berlari menghampiri kami.
"Bagaimana keadaan Ambu Jang?" tanya Pak Budi mengguncang tubuhku dengan keras.
Aku terdiam sulit untuk memberitahukan keadaan Ambu karna jiwaku sendiri cukup terguncang menghadapi semua masalah yang tiba tiba datang silih berganti. Mang Udin memeluk pundak Pak Budi, berusaha menenangkan Pak Budi yang sangat terguncang menghadapi situasi seperti sekarang. Ayahnya belum ada 24 jam mebinggal dan sekarang Ibunya sedang menghadapi masa kritis.

"Keluarga Ibu Haji xxxx! " seorang perawat keluar memanggil.
Aku menoleh ke Pak Budi. Kulihat wajah pria itu pucat, bibirnya bergetar tanpa suara. Panggilan perawat wanita seperti sesuatu yang sangat mengerikan.
"Iya Suster. Kami keluarga Ibu Haji." Mang Udin menjawab tenang.
"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibu Haji." kata perawat itu terdengar dingin, seolah berita yang disampaikannya sebuah berita biasa yang tidak akan membawa pengaruh apa apa.
Mendengar berita kematian Ambu Haji, Pak Budi terhuyung ke belakang lalu kehilangan kesadarannya. Beruntung Mang Udin bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua adegan itu terlihat seperti adegan sinetron yang diperlambat sebelum akhirnya pelukan Lilis menyadarkanku dari berita kematian Ambu Haji yang mengagetkanku.

Mang Udin membatingkan Pak Budi di bangku panjang, berusaha menyadarkan Pak budi dengan pijitan lembut di telapak kakinya, sedangkan aku dan Lilis mengurus biaya administrasi dan biaya Ambulan untuk membawa mayat Ambu Haji. Tidak lupa aku menelpon rumah Ambu mengabarkan kematiannya. Ini seperti kematian Romeo and Juliet yang bersumpah sehidup dan semati. Kematian yang membuat hati kecilku ketakutan. Aku belum siap untuk mati apa lagi meninggalkan istriku yang sedang mengandung anakku. Hari itu juga jenazah Ambu dimakamkan satu liang lahat dengan Suaminya seperti permintaan Ambu dan Abah yang semasa hidupnya selalu berpesan ke orang orang di sekelilingnya terutama ke Pak Budi agar saat mereka mati dikubur dalam satu liang lahat. Setelah seminggu kematian Abah Haji dan Ambu, kami berlima, aku, Mang Udin, Pak Budi, Lilis dan Ningsih pulang ke Bogor.

"Jang Aa mau membicarakan sesuatu." kata Pak Budi saat aku baru tiba dari Pasar.
Sudah seminggu sejak kepulangan kami dari Garut, Pak Budi tidak pernah keluar rumah. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar.
"Iya A." aku duduk di hadapannya.
"Bukan di sini Jang. Kita pergi ke suatu tempat apa yang akan kita bicarakan ini hanya menjadi rahasia kita berdua tidak boleh ada yang tau." kta Pak Budi terdengar sangat mencurigakan.
Sebenarnya aku ingin menolak ajakan Pak Budi yang mencurigakan. Entah kenapa sejak tahu Pak Budi adalah seorang Gay, aku selalu merasa risih setiap kali dekat dengan Pak Budi. Apa lagi sekarang dia mengajakku pergi, aku ketakutan sendiri. Bagaimana kalau dia memaksaku melayani nafsunya? Pikiran yang membuat perutku menjadi mual. Tapi, kenapa aku harus takut. Bukankah aku punya silat Cimande yang sudah mulai terbukti kehebatannya dalam perkelahian. Kalau Pak Budi macem macem, bisa kuhantam dengan satu dua pukulan.
"Awas jangan macam macam sama A Ujang!" ancam Lilis saat kami akan pergi. Tatapan matanya terlihat penuh kecurigaan. Pak Budi hanya tersenyum tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Wajahnya terlihat jauh lebih tua.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, situasinya menjadi sangat rumit. Posisiku, Lilis dan Ningsih menjadi terjepit kalau sekarang Pak Budi menceraikan Lilis. Toch selama ini Pak Budi menikahi Lilis karna orang tuanya, setelah orang tuanya tidak ada, maka sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Kalau Lilis dan Pak Budi bercerai, apakah Pak Budi akan menghentikan semua bantuannya kepadaku, sedangkan kios yang aku kelola masih seumur jagung. Yang menjadi pikiranku kalau Lilis dan Pak Budi bercerai bagaimana dengan nasib Lilis? Aku tidak mungkin menikahinya, dia kakak iparku. Lalu bagaimana nasib anakku yang dikandung Lilis? Pikirannku semakin gelisah karena sepanjang perjalanan Pak Budi tidak bicara sepatah katapun. Entah ke mana tujuannya. Ternyata Pak Budi membawaku ke sebuah hotel yang dulu membongkar rahasianya. Kewaspadaanku meningkat dengan sendirinya.
"Jangan takut Jang. Kamu bukan tipeku." kata Pak Budi tersenyum menenangkanku. Kegelisahanku terbaca oleh Pak Budi.
Pak Budi mengetuk pintu kamar. Seorang wanita membuka pintu kamar. Tanpa dipersilahkan, Pak Budi masuk, aku mengikuti masuk. Pak Budi menyuruhku duduk di kursi yang menghadap ranjang, sedangkan dia duduk di kursi sebelahku. Ada meja kecil di tengah kursi yang kami duduki. Wanita itu duduk di ranjang menghadap kami.

"Ini Bu Dhea, patner bisnisku di dunia hitam. Aku punya beberapa Club malam yang menyediakan wanita wanita penghibur di Jakarta. Atau bahasa kasarnya Aku Seorang Mucikari Sekarang posisiku sedang terancam oleh seseorang yang mulai main kotor." Pak Budi tidak melanjutkan perkataannya. Dia beralih melihat Bu Dhea wanita berusia 40an yang berwajah cantik seperti artis film.
"Semua berkas yang aku pinta sudah kamu siapkan Bu Dhea?" tanya Pak Budi.
"Sudah Pak." Bu Dhea menyerahkan setumpuk berkas tebal ke Pak Budi yang langsung membukanya dan menelitinya satu persatu.
Aku tidak tahu apa berkas yang dibaca Pak Budi, aku lebih asik memperhatikan wajah Bu Dhea yang cantik dengan hidung mancung. Wajahnya mengingatkanku dengan wajah artis cantik Ayu Azhari. Kulitnya yang putih semakin mempercantik wajahnya. Merasa kuperhatikan, Bu Dhea membalas tatapanku. Bibirnya tersenyum membuatnya semakin cantik. Entah aku salah lihat, Bu Dhea mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Tangannya meraba dadanya yang terlihat menonjol dari balik baju yang dikenakannya.

"Jangan ngeledek, Ujang ini cowok normal. Dia adik iparku. Jangan main api dengan adik iparku, kamu bisa klepek klepek." kata Pak Budi yang melihat Bu Dhea sedang menggodaku.
"Jang berkas ini isinya surat surat berharga. Berkas berkas ini adalah aset resmiku. Kamu berikan ini ke Lilis. Simpan baik baik. Sekarang kamu pulang. Tolong jaga Lilis, bilang aku mencintainya walau aku tidak bisa jadi pria. Aku ada urusan yang harus aku selesaikan." kata Pak Budi lebih tenang dari pada biasanya. Mungkin dia sudah bisa merelakan kepergian orang tuanya.

Lilis yang membukakan pintu untukku. Matanya menatapku penuh selidik. Lilis melihatku dari atas ke bawah berulang ulang kali,.
"Aku gak disuruh masuk Lis?" tanyaku heran dengan kelakuan Lilis.
Tanpa menjawab Lilis menarik tanganku masuk, setelah menutup pintu Lilis mengajakku ke ruang keluarga. Ningsih berdiri menyambut kedatanganku. Diciumnya tanganku. Berbeda dengan Lilis, dia menciumi sekujur tubuhku mencari bau aneh yang bukan bau asliku. Setelah puas menciumi sekujur tubuhku dan tidak mendapatkan bau yang aneh, Lilis menarik nafas lega.
"Ujang gak diapa apai A Budi kan? Itu apa yang kamu bawa Jang? " tanya Lilis melihat map berisi berkas yang aku bawa.
"Ini dari Pak Budi supaya disimpan baik baik." kataku menyerahkan berkas berkas. Lilis membawa berkas ke kamar.
"Ningsih masuk kamar dulu ya A !" kata Ningsih sambil masuk kamar.

Sejak pulang dari Garut, Ningsih sering uring uringan kalau dekat denganku. Bahkan tidak mau tidur denganku. Kata ibuku itu bawaan bayi, dulu juga waktu ibuku hamil aku, ibuku gak mau tidur dan dekat dengan ayahku. Keadaan Ningsih berbanding terbalik dengan Lilis yang selalu curiga kalau aku pulang. Dia akan menciumi sekujur tubuhku mencari bau parfum wanita lain. Bahkan dia memintaku menyanyikan lagu NINA BOBO kalau mau tidur.
"Jang sini donk !" Lilis memanggilku dari dalam kamar.
"Iya ada apa?" tanyaku sambil masuk kamar yang pintunya terbuka.
Lilis berbaring dengan tubuh bugil. Bibirnya yang sensual tersenyum menyambut kedatanganku.
"Buka baju dulu Jang." kata Lilis saat aku akan naik ke atas ranjang.
Aku segera membuka bajuku hingga bugil, kontolku sudah tegang sejak pertama melihat Lilis bugil. Entah kenapa nafsuku semakin besar saja sejak pulang dari Gunung Kemukus. Jangankan melihat wanita bugil, melihat wanita berpakaian agak terbuka saja bisa membuat kontolku tegang sempurna.

"Ujang belum mandi Lis!" kataku sambil naik ke atas ranjang memeluk Lilis.
"Gak usah mandi jadi kalau kamu selingkuh pasti ketauan." kata Lilis membalas pelukanku. Bibirnya menyambambar bibirku dengan mesra. Kami berciuman cukup lama.
"Jang Lilis makin cinta dan sayang sama kamu. Kalau Lilis cerai dengan A Budi Ujang nikahin Lilis ya, gak apa apa Lilis jadi istri muda Ujang juga." kata Lilis sambil mendorong tubuhku agar terlentang.
Lilis menciumi leherku dengan mesra, lidahnya menjilati kulit leherku yang masih dipenuhi sisa sisa keringat dan debu. Tapi Lilis seperti tidak perduli dengan hal itu. Kadang Lilis menggigit pelan leherku. Perlahan ciumannya turun ke dadaku, dijilatinya setiap permukaan dadaku dengan segenap jiwanya. Lalu hinggap ke puting susuku yang semakin mengeras. Menghisapnya dan mengkombinasi dengan jilatan yang membuat sekujur tubuhku merinding oleh rasa nikmat yang aneh. Rasa nikmat yang semakin membangkitkan birahiku hingga batas maksimal.

Puas memnggelitik dadaku, ciuman Lilis merambat turun ke bawah lalu hinggap di batang kontolku yang sangat tegang hingga batas maksimal. Lilis menjilati batang kontolku, membuatku mendesah nikmat. Terlebih saat kepala kontolku masuk dalam mulut hangat Lilis. Hisapan Lilis begitu lembut dan lidahnya lincah menggelitik kepala kontolku.
"Aduh Lisss. Seponganmu enak banget." kataku sambil mengusap rambutnya yang tebal dan halus.
Kepala Lilis naik turun mengocok kontolku di dalam mulutnya yang mungil. Aku semakin menggeliat mendapatkan kenikmatan luar biasa. Hampir saja pejuhku muncrat, untung aku bisa mengendalikan diriku sehingga pejuhku tidak jadi muncrat di mulutnya.
"Udah, Lilis. Gantian Ujang jilatin memek Lilis." kataku sambil mendorong kepalanya menjauhi kontolku.
"Ujang malam ini gak boleh jilatin memek Lilis, malam ini Lilis yang akan melayani Ujang." kata Lilis memegang kontolku, lalu berjongkok di atas kontolku yang mengarah tepat di lobang memeknya.

Lilis menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku. Ternyata memek Lilis sudah sangat basah. Lilis mulai memompa kontolku dengan lembut dan berirama, wajahnya terlihat semakin cantik. Matanya berbinar bahagia memandangku dengan senyum termanis yang pernah aku lihat dari bibirnya.
"Lilis bahagia Jang. A Budi mau cerain Lilis. Jadi Lilis bisa nikah sama kamu. Lilis bisa jadi istri sah Ujang." kata Lilis terus memompa kontolku dengan pelan.
Aku terkejut mendengar Pak Budi akan menceraikan Lilis. Bagaimana mungkin aku menikahi Lilis, dia adalah kakak iparku. Nanti sajalah aku pikirkan, sekarang aku sedang menikmati gesekan memek Lilis yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.
"Jang enak banget kontol kamu." kata Lilis sambil terus bergerak memompa kontolku.
Melihat dadanya yang semakin besar bergerak indah, membuatku menjadi gemas. Aku meremasnya perlahan lahan agar tidak menyakitinya. Lilis membungkukkan tubuhnya sehingga dadanya mendekati mulutku. Aku menyambutnya, kuhisap putingnya yang mengeras dengan rakus. Ternyata ASInya belum keluar. Padahal aku berharap ASInya keluar seperti ASInya Marni yang mengucur deras.

"Jang Lilis keluarrrrrrr ennnnak banget kontol Ujang." kata Lilis menekan pinggulnya, sehingga kontolku terbenam makin dalam. Memek Lilis berdenyut meremas kontolku dengan lembut.
Serelah badai orgasmenya reda, Lilis kembali memompa kontolku dengan lebih cepat dari tadi. Kadang pinggulnya bergerak memutar lain dari pada biasanya.
"Lilis gak mau tuker posisi?" tanyaku heran.
"Kan udah Lilis bilang, malam ini biar Lilis yang melayani,Ujang." kata Lilis sambil terus memompa kontolku sambil mengedut ngedutkan memeknya meremas kontolku. Nikmat sekali rasanya.
Lilis menciumi bibirku dengan mesra. Kami berciuman sambil berpelukan, sementara pinggulnya bergerak memompa kontolku dengan cepat dan berirama menimbukan bunyi merdu akibat hujaman kontolku yang mengocok memeknya. Batas antara cinta dan nafsu sudah lebur menjadi satu. Aku tidak tahu persetubuhan ini apakah ungkapan rasa cinta Lilis ke diriku atau sekedar pemuasan birahi yang butuh pelampiasan. Tapi yang jelas, kami sama sama menikmati sepenuh hati.

"Jang Lilis keluar lagi.....! " kembali lilis mendapatkan orgasmenya sementara aku belum juga mendapatkan orgasme.
Lilis menindihku pinggulku memompa memeknya dari bawah berusaha mendapatkan kenikmatan yang belum aku dapatkan. Perlahan Lilis mengimbangi pinggulku yang bergerak memompa memeknya. Pinggulnya bergerak lebih cepat dari tadi. Kami kembali berciuman sambil saling menggerakkan pinggul. Gesekan kontolku dan memeknya semakin membuat kontolku semakin sensitif. Hingga ahirnya kontolku menyemburkan pejuh yang cukup banyak ke dasar memek Lilis.
"Jang Lilis kelllluarrrrr lagiiii." saking hebat orgasme yang dirasakannya, Lilis menggigit pundakku sehingga mengurangi rasa nikmat orgasmeku.

Jam 3 pagi kami dikejutkan suara ketukan pintu yang cukup keras. Kewaspadaanku langsung meningkat. Lilis terlibat ketakutan memelukku.
"Gak apa apa Lis. Lilis tunggu di sini, biar Ujang buka pintu." kataku sambil memakai baju. Sebelum ke depan, aku mengambil pentungan hansip yang tergantung di ruang keluarga.
Ketukan itu kembali terdengar keras, aku mengintip lewat horden. Ternyata dua orang polisi yang mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu.
"Apa ini rumahnya Pak Budi Natapraja?" tanya polisi itu.
"Benar Pak. Ada apa Pak?" tanyaku was was.
"Pak Budi mengalami kecelakaan, jasadnya ada di kamar mayat di RS xxx. Kami harap pihak keluarga datang ke RS untuk mengidentifikasi mayatnya." kata polisi itu membuatku shock dan kaget setengah mati sehingga tidak bisa bicara sepatah katapun.
"Apa A Budi meninggal?" suara Lilis terdengar kaget.

Aku menoleh berbalik ke belakang, ternyata Lilis dan Ningsih sudah ada di ruang tamu. Lilis terlihat shock mendengar kematian suaminya yang tiba tiba, kematian yang berurutan dalam tempo 2 minggu. Tragis, sungguh tragis. Akhirnya aku ikut Polisi ke RS untuk mengidentifikasi mayat Pak Budi, sedangkan Lilis aku larang ikut karna kehamilannya masih muda. Ternyata benar, mayat yang dimaksud adalah Pak Budi. Dari rumah sakit aku dibawa ke kantor Polisi untuk memberikan beberapa keterangan yang dilakukan, karna ini bukan sekedar kecelakaan. Kronologi yang sebenarnya adalah, Pak Budi membunuh pacar prianya di sebuah hotel, menikam pria yang photonya membuat orang tua Pak Budi shock dan kena serangan jantung. Lalu setelah membunuh kekasih prianya, Pak Budi bunuh diri dengan cara memotong lehernya sendiri. Kejadian itu di dengar resepsionis hotel saat pria yang dibunuh berteriak meminta tolong. Di kantor Polisi aku menjawab semua pertanyaan polisi selama 1 jam. Semua keterangan dicatat. Setelah semua pertanyaan dianggap selesai, aku kembali ke RS untuk mengurus jenazah Pak Budi.

Setelah jenazah diotopsi dan atas pertolongan pihak RS. Jenazah dimandikan dan dikafani pihak RS. Jadi saat mayat dibawa pulang, tetangga tidak akan ada yang tahu penyebab kematian yang sebenarnya. Orang hanya akan tahu penyebab kematian Pak Budi adalah kecelakaan, termasuk juga Lilis tidak boleh tahu. Siang hari jenazah sudah boleh dibawa pulang dan di sholatkan di masjid dekat rumah. Masjid yang dibangun dengan biaya dari almarhum tanpa bantuan donatur lainnya. Kemudian jenazah di makamkan. Keesokan harinya Ambu datang sendiri tidak bersama Abah. kata Ambu, Abah masih harus mengurus pembagian harta peninggalan almarhum abah Haji. Karna Pak Budi sebagai ahli waris tunggal telah mendermakan semua harta kekayaan Abah untuk masyarakat kampungnya. Kecuali rumah dan 1 hektare sawah yang tetap dipertahankan Pak Budi.

Seminggu setelah kematian Pak Budi, Lilis mulai membuka berkas berkas peninggalan Pak Budi. Ternyata semua kekayaan Pak Budi sudah atas nama Lilis, hanya sebagian yang masih dalam proses balik nama.
"A gak nyangka niat Pak Budi yang mau menceraikan Lilis setelah melahirkan ternyata sebuah firasat." kata Lilis sambil membaca berkas berkas peninggalan almarhum. Sudah seminggu ini Lilis memanggilku dengan sebutan Aa.
"Jang setelah Lilis melahirkan kamu harus menikahi Lilis. Ningsih sudah bilang ke Ambu memberi ijin kamu menikahi Lilis." kata Ambu begitu tiba tiba, sehingga membuatku tersedak air minum.
"Ambu juga sudah tau semuanya, bahwa Lilis hamil anak kamu. Ambu juga sudah tau almarhum Budi itu seorang homo, dia menikahi Lilis hanya untuk menutupi kekurangannya. Kenapa Lilis yang dipilih jadi istrinya? Karna Lilis anak penurut." kata Ambu.

Aku tidak berani menolak, karena akan menyakiti hati Lilis. Tetapi secara hukum aku tidak bisa menikahi Lilis karena dia adalah kakak kandung Ningsih. Haram hukumnya memadu dua orang kakak berdik, kecuali aku bercerai dengan Ningsih. Tapi aku tidak mungkin menceraikan Ningsih. Aku sudah jatuh cinta pada istriku terlebih dia sedang hamil anakku. Seperti mengerti apa yang aku pikirkan, Ambu melanjutkan perkataanya.
"Kamu gak perlu menceraikan Ningsih buat menikahi Lilis. Lilis itu anak adik Ambu yang meninggal waktu Lilis berusia 3 tahun. Ambu yang merawat Lilis seperti anak kandung ibu." kata Ambu menjelaskan.
Karma, itu yang pertama muncul di pikiranku. Dulu ayahku menghamili Bi Narsih yang ternyata bukan adik kandung ibuku. Sekarang aku menikahi Ningsih dan sekarang harus menikahi Lilis, juga. Ruwet.

"Ningsih ikhlas dimadu A. Yang jadi madu Ningsih kan Teh Lilis. " Ningsih meyakinkanku.
"A Ujang harus mau nikahin Lilis." kata Lilis menatapku dengan senyum terindah yang pernah aku lihat di wajah Lilis. Semua beban penderitaan yang selama ini membayang di wajahnya telah sirna.
Saat kami asik ngobrol, tiba tiba telpon berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon. Hanya sebentar, lalu telpon dirutup kembali.
"A Bu Dhea tadi nelpon. Aa disuruh ngambil berkas almarhum jam 5 sore di tempat Aa ketemu Bu Dhea kemarin." kata Lilis.
Kewaspadaanku langsung neningkat makzimal saat nama Dhea disebut. Bukankah sebelum Pak Budi meninggal, sore itu kami bertemu Bu Dhea? Malamnya Pak Budi ditemukan meninggal. Menurut polisi, Pak Budi membunuh teman prianya, setelah itu Pak Budi menggorok lehernya bunuh diri. Bisa kejadiannya bukan seperti itu. Teman pria Pak Budi dan Pak Budi dibunuh oleh orang yang sama. Bukankah Pak Budi sempat mengatakan bahwa ada seseorang yang menikamnya dari belakang untuk merebut bisnis kotornya.

Aku ingin mengutarakan keberatan dan kenggananku untuk datang. Tapi begitu melihat wajah Lilis. Keberanianku timbul. Kalau benar mereka berniat mencelakakanku untuk menghilangkan bukti, ini saat yang tepat untuk menangkap mereka.
"Lilis kenal dengan Bu Dhea?" tanyaku ke calon istriku yang cantik ini.
"Kenal A. Bu Dhea orang kepercayaan almarhum dalam mengurus bisnisnya di Jakarta." kata Lilis tanpa menoleh. Dia terlihat asik mempelajari buku pembukuan toko toko agen Pak Budi.
Telpon kembali berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon yang berada di sampingnya. Terjadi percakapan singkat, lalu Lilis menutupnya kembali.
"A kata Bu Dhea pertemuannya diundur jam.7 malam. Berkasnya belum lengkap semua." kata Lilis lagi.
Kecurigaanku semakin bertambah. Bu Dhea pasti berencana melenyapkanku agar semua petunjuk tentang kematian Pak Budi lenyap.

Lalu Lilis ke kamar Pak Budi, tidak lama kemudian Lilis kembali dengan membawa bungkusan yang tertata rapi. Ada tulisan : "Berikan buku ini ke Ujang kalau aku mati sebagai rasa terimakasihku sudah memberikan sedikit kebahagian untuk Abah dan Ambu. Harapan kepada Abah dan Ambu untuk mempunyai cucu". Lilis memberikan buku yang terbungkus itu kepadaku.
"Ini hadiah untuk A Ujang dari almarhum. Aa bacanya di kamar aja." kata Lilis.
Aku segera masuk kamar untuk membaca buku. Kok hadiahnya hanya sebuah buku. Untuk apa? Pikirku. Di lembar pertama tertulis :
Jang, aku menyerahkan semua bisnis club malamku untukmu. Di buku ini ada tata cara mengelola club malam. Kamu akan dibantu oleh Dhea, orang kepercayaanku yang selama ini berjasa mengelola club malam.
Sedang asik membaca cara cara mengelola Club malam yang diberikan Pak Budi, ku kebelet kencing. Setengah berlari aku ke kamar mandi belakang karna kamar mandi utama sedang rusak dan belum sempat diperbaiki. Menunggu masa berkabung selesai.
Tanpa mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup aku masuk. Ternyata ada Niat yang mau mandi. Tubuh bugilnya yang montok membuatku terangsang. Apalagi melihat perutnya yang mulai membuncit.

"A Ujang ngagetin aja. " kata Ningsih mencubit pinggangku pelan.
Aku hanya tersenyum, lalu mengeluarkan kontolku untk kencing. Ningsih malah memperhatikan air kencing yang keluar dari kontolku, apa lagi melihat kontolku yang mulai mengeras tegang.
"A Ujang liat Ningsih telanjang langsung ngaceng. Kaya gak pernah liat Ningsih telanjang aja. Sini A, Ningsih cebokin kontol A Ujang." kata Ningsih mengambil gayung air dari peganganku.
Ningsih berjongkok menghadap kontolku dan hal yang tidak terduga terjadi. Ningsih melahap kontolku yang belum dibersihkan dari sisa sisa air kencing.
"Ning kontol A Ujang belum dicuci..!" kataku kaget. Istriku sepertinya tidak merasa jijik sama sekali melahap kontolku yang masih bau pesing.
Lilis mengulum dan menghisap kontolku dengan bernafsu, kepalanya bergerak mengocok kontolku membuatku blingsatan oleh rasa nikmat.
"Ning, aduh ennnnak banget seponganmu." kataku sambil membelai rambutnya yang hitam legam. Ingin rasanya aku menjambak rambutnya dan menggerakkan kepalanya dengan cepat mengocok kontolku. Tapi dia wanita yang aku cintai. Tidak mungkin aku bermain kasar dengan istriku sendiri.

Setelah puas mengulum kontolku, Ningsih bangun memeluk leherku. Kami berciuman lama. Kuremas pantatnya yang bulat dan besar dengan lembut.
"A Ningsih dari kemaren pengen dientot di kamar mandi." kata Ningsih menatapku malu.
"Kok gak bilang sayang?" tanyaku mesra.
"Malu !" kata Ningsih tersenyum. Ningsih menungging, tangannya berpegangan bak kamar mandi.
"Entot Ningsih sekarang A!" kata Ningsih tidak sabar.
Aku mengarahkan kontolku di pintu masuk memek Ningsih yang sudah basah. Bles, dengan mudah kontolku menerobos masuk memek Ningsih yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.
Perlahan aku memompa memek istriku dengan lembut, gesekan yang ditimbukan dan sensasi yang aku rasakan semakin dahsat.
"A ennnak memek Ningsih dientot kontol gede A Ujang...." rintiha. Ningsih terdengar merdu.

Perlahan aku meremas pantat bohay istriku dengan gemas. Pantatnya terlihat semakin besar dan keras. Mungkin karna kehamilannya.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr ennnnak banget." kurasakan memek Ningsih berkedut lembut meremas kontolku disertai rasa hangat yang nikmat.
Kubiarkan kontolku terbenam di dasar memek istriku hingga badai orgasmenya reda. Kemudian aku kembali memompa memeknya dengan sedikit lebih cepat tapi tetap lembut.
"Ganti posisi A...!" kata Ningsih menahan perutku. Aku menuruti kemauannya. Aku mencabut kontolku dari memeknya.
Ningsih duduk di pinggir bak mandi. Satu kakinya diangkat ke pinggir bak mandi. Tangannya berpegangan pada leherku. Tanpa hambatan kontolku kembali menerobos masuk memeknya yang terlihat semakin basah saja.

Posisi seperti ini sebenarnya tidak begitu nyaman. Gerakan mengocokku terasa kaku berbeda dengan posisi yang biasa saja. Tapi sepertinya Ningsih lagi ngidam ngentot di kamar mandi. Jadi nikmati sajalah demi istriku tercinta. Kulihat Ningsih terlihat sangat menikmati sodokan kontolku yang lembut dan berirama. Saat sedang asik memompa memek Ningsih, tiba tiba pintu kamar mandi terbuka dan Ambu masuk. Kami sama sama kaget.
"Aduh kalian ini ngentot malah di kamar mandi. Ambu gak tahan pengen kencing" kata Ambu sambil menurunkan celana dalamnya sampai dengkul lalu mengangkat dasternya sampai perut sehingga aku bisa melihat pahanya yang besar dan memeknya yang tidak berbulu seperti memek Ningsih.
Ambu duduk di wastafel yang tepat berada di samping bak mandi, sehingga pemandangan indah terpampang jelas di depanku.

"Ambu gak malu memeknya kelihatan A Ujang?" protes Ningsih.
Terlanjur basah ditambah melihat memek Ambu yang tembem membuatku semakin terangsang. Aku kembali memompa memek istriku dengan cepat dan berirama, tidak kuperdulikan lagi kehadiran Ambu yang sudah selesai kencing dan matanya tertuju kontolku yang keluar masuk memek anaknya.
"Ambu jangan ngeliatin. Nanti Ambu pengen kontol Aa lagi." protes Ningsih melihat Ambu yang memperhatikan kontolku keluar masuk memek Ningsih.
"Gila Jang kontol kamu panjang dan gede amat! Coba liat Jang !" kata Ambu mendorong tubuhku hingga kontolku terlepas dari memek Ningsih.
"Edan Jang keras banget." kata Ambu menggenggam kontolku yang berlumuran cairan memek Ningsih.
"Ambu Ningsih udah mau keluar kontol A Ujang malah dipegang." kata Ningsih jengkel.
Ambu mengarahkan kontolku ke lobang memek Ningsih, aku langsung memompa memek istriku dengan bernafsu. Sementara Ambu keluar kamar mandi. Ahirnya aku tidak mampu lagi bertahan, kubenamkan kontolku ke dasar memek Ningsih, tubuhku mengejang dan kontolku menyemburkan pejuh ke dasar memek Ningsih.
"Aa Ningsih kelllluarrrrr lagiii ennnak...!" Ningsih mendapatkan orgasmenya lagi.

Jam 5.30 aku berangkat ke tempat yang dijanjikan Bu Dhea. Kewaspadaanku sudah sampai pada level tertinggi. Akan kuhadapi apapun yang terjadi nanti. Anggaplah ini adalah latihan yang akan membuatku semakin kuat dan siap menghadapi si Codet. Aku hampir merasa yakin orang yang membunuh Pak Budi adalah Bu Dhea agar bisa merebut bisnis haram Pak Budi. Dan sekarang Bu Dhea merencanakan untuk melenyapkanku juga karna bisnis haram Pak Budi sudah diserahkan kepadaku. Surat surat kuasa dan balik nama Club malam milik Pak Budi sedang dalam proses. Bu Dhea yang sudah lama berkecimpung dan mengelola Club malam dan prostitusi bersama Pak Budi pasti tidak akan rela melepas semua jerih payahnya ke anak bau kencur seperti aku. Sampai kamar tempat pertemuan yang dijanjikan Bu Dhea, kewaspadaanku semakin meningkat. Mataku melirik setiap sudut yang kurasa mencurigakan. Setelah kurasa aman, aku mengetuk pintu.

Seorang pria bertubuh tinggi besar, badannya berotot membuka pintu. Rupanya pria ini yang akan menjadi algojo untuk megeksekusi aku. Reflek kakiku mundur satu langkah. Dengkulku agak menekuk memasang kuda kuda silat cimande. Kuda kuda yang tanggung. Aku sudah bersiaga penuh untuk memulai pertarungan, sedikit saja pria itu bergerak mencurigakan maka kepalan tanganku akan menghantamnya. Aku sudah mengukur bagian terlemah yang bisa membuatnya terjungkal dalam satu kali pukulan. Aku sudah belajar banyak dalam pertarungan dengan Pak Shomad dan Kang Herman serta Kang Jeger. Bertahan akan membuatku celaka. Pertahanan terbaik adalah menyerang. Melihatku dalam posisi siap, pria itu melangkah keluar dengan tenang tanpa takut. Hampir saja aku menyerang pria ini, kalau saja tidak terdengar suara merdu seorang wanita yang mempersilahkanku masuk kamar.

"Kang Ujang silahkan masuk !" kata Bu Dhea yang muncul dari belakang pria itu yang menyingkir melewatiku.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar melewati Bu Dhea, aroma parfumnya tercium lembut dan sensual. Mataku melihat sekeliling kamar mencari tanda tanda mencurigakan. Tidak ada tanda tanda yang mencurigakan atau mungkin belum terlihat olehku.
"Duduk Kang tenang saja. Tidak ada yang akan mencelakai Kang Ujang." kata Bu Dhea tersenyum simpul melihat kecurigaanku yang dianggapnya berlebihan. Kecurigaan khas seorang pemuda culun sepertiku.
Aku duduk di meja yang pernah aku duduki bersama Pak Budi, bedanya sekarang yang menduduki kursi di sebelahku adalah Bu Dhea yang memegang berkas tebal yang tidak aku mengerti apa isinya.
"Ini berkas berisi surat surat pelimpahan kepemilikan 3 buah club malam milik mendiang Pak Budi. Silahkan di baca dan ditanda tangani, Pak. Eh saya harus manggil apa enaknya?" tanya Bu Dhea sambil menyerahkan berkas berkas tersebut.
"Ujang saja Bu." kataku. Risih rasanya harus dipanggil bapak oleh wanita yang jauh lebih tua dariku.
"Ya udah saya panggil A Ujang saja." kata Bu Dhea dengan senyum menawan membuatku terpesona. Harus kuakui, Bu Dhea sangat cantik.

Perlahan aku membaca berkas berkas yang diberikan Bu Dhea, walau jujur aku tidak terlalu mengerti apa yang aku baca. Pendidikanku hanyalah sampai SMP dan tidak lulus. Dari usia 15 tahun aku sudah bekerja sebagai kuli bangunan. Di berkas yang aku baca dan aku mengerti garis besarnya bahwa kepemilikan saham 60% dari club menjadi milikku dan yang 40% adalah milik Bu Dhea yang akan tetap menjadi bertugas mengelola semua club peninggalan Pak Budi. Aku segera menanda tanganinya setelah membaca berkas tersebut. Bu Dhea mulai menerangkan tentang bisnis lendir yang selama ini dikelola Pak Budi. Bahkan penginapan ini juga ternyata Pak Budi mempunyai saham sebesar 30%. Pantas aku melihat ada beberapa wanita keluar masuk kamar penginapan di sini. Ternyata ada prostitusi terselubung di sini. Dan sekarang aku menjadi bos mucikari kelas atas. Predikat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cita cita terbesarku selama ini adalah menjadi bos mie ayam yang mempunyai banyak anak buah.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannku, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih masuk kamar. Pria itu tersenyum, mengangguk padaku. Lalu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.
"Saya Pak Handoko pemilik 70%saham penginapan ini, Pak !" kata Pak Handoko memperkenalkan diri. Setelah berbasa basi sebentar, Pak Handoko meninggalkan kami kembali berdua di kamar.
Bu Dhea membuka blazer warna hitamnya, sehingga payudaranya yang besar terlihat semakin menonjol dari balik kemeja putihnya, membuatku sedikit terangsang.
"Besok A Ujang harus datang ke kantor Club xxx untuk saya perkenalkan dengan para manager, staf dan para Mami. Mereka adalah tulang punggung yang menjalankan bisnis kita." kata Bu Dhea membuka 2 kancing atas kemeja yang dikenakannya sehingga aku bisa melihat sebagian payudaranya yang besar dan putih tersembunyi di balik BH yang juga berwarna putih.

Aku menelan air liur membasahi tenggoranku yang terasa kering. Sebuah tantangan terbuka dari Bu Dhea telah membangkitkan jiwa liarku. Ular yang tertidur di dalam celanaku menggeliat marah.
"Besok A Ujang juga harus bertemu dengan Codet, preman paling berpengaruh di Jakarta. Kita harus bernegosiasi agar tidak terjadi bentrokan dengan orang orang Codet. " kata Bu Dhea menghempaskanku dari awang awang yang tinggi. Birahiku yang sudah terpancing, musnah tidak berbekas. Aku sudah tidak tertarik lagi melihat kemolekan tubuh Bu Dhea yang sudah melepas kemejanya. Tubuhnya yang hanya tertutup BH dn celana dalam yang juga berwarna putih. Nama Codet sudah tidak membuatku berselera. Nama yang hanya aku dengar nama saja dan tidak pernah bertatap muka langsung. Nama yang selalu menghantuiku dan merubah tujuan hidupku.
"Saya harus pulang, Bu." kataku menolak saat Bu Dhea duduk di pangkuannku dan meraba dadaku.
"A Ujang gak minat sama Dhea!" kata Bu Dhea berbisik, lidahnya menggelitik kupingku.
"Saya harus pulang, istri saya sedang hamil." suaraku bergetar berusaha menyembunyikan ketakutanku mendengar nama Codet.

"Mang besok Ujang mau ketemu Codet." kata kepada Mang Karta yang saja membuka pintu.
"Masuk dulu Jang. Ceritain pelan pelan." kata Mang Karta yang terlihat terkejut mendengar berita dariku.
Aku menghempaskan tubuhku di kursi tamu yang empuk berusaha menghilangkan kegelisahanku.
"Narsih bikin kopi...!" Mang Karta memanggil Bi Narsih.
Hal yang tidak biasa dilakukannya. Biasanya Mang Karta tidak berteriak memanggil Narsih. Atau mungkin Mang Karta juga kaget mendengar berita dariku. Bi Narsih keluar menemui kami. Wajahnya terlihat kaget apa lagi melihatku yang duduk lunglai. Aku bangun dan mencium tangannya.
"Ada apa Jang?" tanya Bi Narsih menatapku penuh selidik.
"Jangan diajak ngobrol dulu, bikinin kopi biar Ujang tenang dulu." kata Mang Karta.
Tidak lama kemudian Bi Narsih membawa kopi.
"Coba cerita Jang !" kata Bi Narsih tegas.

Lalu aku mulai menceritakan semua kronologinya dari mulai Pak Budi mewariskan semua aset bisnis club malam dan prostitusinya hingga rencana pertemuanku yang sudah diatur oleh Bu Dhea dengan Codet.
"Kamu besok minta dikawal Mang Udin, kan Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Budi. Kamu gak usah takut, Codet gak akan gegabah. Yang penting kamu tenang. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu punya kekuatan. Mamang akan mengawasi kamu dari deket." kata Mang Karta menenangkanku.
Hampir saja aku lupa Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Pak Budi atau sekarang sudah menjadi milik Lilis. Tugas Mang Udin adalah menjaga keluargaku. Sehari hari dia membantu ibuku belanjan dan berjualan Mie Ayam. Aku merasa lega.
"Mang, Bi, ujang pulang dulu sudah malam." kataku berpamitan sambil mencium tangan mereka.

Jam 11 aku sampai rumah, Ambu membukakanku pintu. Aku mencium tangan wanita cantik yang wajahnya sangat mirip istriku. Di usia yang ke 50, wanita itu masih terlihat cantik dan manis. Aku yakin, para pria pasti masih tergila gila padanya.
"Kok malam amat pulangnya Jang?" tanya Ambu tersenyum lembut. Wajahnya begitu keibuan.
"Iya bu. Banyak berkas mesti diperiksa. Kok Ambu belum tidur?" tanyaku.
"Nungguin kamu pulang, Lilis kecapean dari jam 8 sudah tidur. Ningsih tidur jam 10, ngantuk katanya. " kata Ambu berjalan di sisiku ke ruang keluarga.
Kulihat tv masih nenyala menyiarkan acara Wayang Golek yang biasanya jadi kesukaanku. Tapi malam ini aku tidak berniat menontonnya. Aku ingin malam ini Ningsih mencumbuku dan memelukku dengan manja. Atau mungkin juga Lilis yang memanjakan tubuhku dengan jilatan jilatannya yang membuatku menggelinjang nikmat. Agar semua ketegangan hilang. Aku masuk kamarku, Ningsih tertidur dengan lelap. Wajahnya terlihat cantik dan polos. Perlahan aku mencium bibirnya dengan mesra. Aku tahu, Ningsih kalau sudah tidur susah bangun.

Lalu aku berpindah ke kamar Lilis. Wanita cantik itu tidur dengan nyenyaknya. Harus kuakui, Lilis lebih cantik dari pada istriku. Tubuhnya juga lebih indah dan proposional. Kata orang, body biola. Aku mencium bibir Lilis, berharap Lilis bangun dan memanjakan birahiku. Ternyata tidurnya benar benar nyenyak. Karna biasanya Lilis akan terbangun bila kucium bibirnya. Ahirnya aku keluar kamar, kulihat Ambu masih asik menonton Wayang Golek dengan dalang Asep Sunandar Sunarya. Menyadari kehadiranku, Ambu menoleh dan tersenyum melihatku yang seperti orang bingung.
"Kamu seperti orang bingung. Istri istri kamu sudah tidur, jadi gak ada yang ngelonin kamu, ya? Emang kamu belom puas ngentot di kamar mandi dengan Ningsih?" tanya Ambu menggodaku.
"Ich Ambu. Ujang cuma pengen liat Ningsih dan Lilis." kataku mengelak tuduhan Ambu yang benar.
Ambu pindah duduk ke sampingku. Pipiku dicubit pelan.
"Ambu ini sudah tua. Tahu gelagat lelaki yang lagi pengen. Mau Ambu bantuin ngeluarin pejuh kamu? Tua tua gini Ambu masih seksi." kata Ambu menggodaku. Tangannya meraba kontolku yang sudah tegang dari tadi sejak mau masuk rumah.
"Tuh, kontol kamu sudah ngaceng, !" kata Ambu yang tiba tiba mencium bibirku dengan bernafsu.

Aku kaget dengan kebinalan ibu mertuaku. Tak pernah aku membayangkan berbuat mesum dengannya. Tapi sekarang ibu mertuaku telah memulai perang membangkitkan nafsu sex ku yang besar. Aku membalas ciumannya. Tak perduli dia adalah ibu mertuaku. Karna nafsu tidak mengenal etika. Tanganku meremas payudara Ambu dengan gemas. Payudara yang pernah menjadi sumber makanan istriku tercinta. Biarpun payudara Ambu sudah kendur, tetapi kekenyalannya tetap terjaga. Sebagai wanita desa yang selalu sibuk mengerjakan berbagai macam pekerjaan, membuat tubuh Ambu walaupun gemuk, namum tetap kencang. Ambu membuka dasternya, ternyata Ambu tidak pakai BH dan celana dalam, tubuh bugilnya yang agak gemuk, tidak mengurangi keindahannya. Kulitnya yang putih tanpa cela. Memeknya yang tembem, mulus tanpa bulu. Ambu membuka bajuku dan juga celananku mengikuti jejaknya, bugil seperti bayi yang baru lahir. Ambu berjongkok, membelai kontolku yang sangat tegang.

"Ko bisa kontol kamu segede panjang dan sekeras ini sich Jang?”kata Ambu lidahnya mejilat pangkal kontolku sampai kepalanya. Begitu berulang ulang.
"Gak tau Mbu...!" kataku sambil menikmati jilatan Ambu yang sangat berpengalaman. Ada sensasi tersendiri karna yang melakukannya adalah ibu mertuaku. Ambu mengulum kontolku dengan bernafsu, menghisap dan menjilati kepala kontolku yang sensitif.
"Ampun Mbu... Gantian Ujang pengen jilatin memek Ambu yang tembem. " kataku sambil menarik tubuh mertuaku bangkit.
Aku berganti posisi dengan Ambu. Sekarang Ambu duduk dengan paha yang mengangkang lebar. Sementara aku berjongkok membuka belahan memeknya yang berwarna merah. Wangi memek Ambu yang alami sangat aku suka. Lidahku menerobos memek Ambu, membuat pinggulnya agak terangkat.
"Aduh ampun memek Ambu dijilat anak mantu sendiri." kata Ambu tangannya menekan kepalaku agar semakin terbenam di memeknya.

Lidahku dengan lincah bermain main di memek Ambu membuatnya menggeliat nikmat. Apalagi saat lidahku menggelitik itilnya yang tersembunyi di balik lipatan memeknya.
"Udah Jang. Entot Ambu...!" kata Ambu menarikku bangun. Ambu menuntun kontolku ke lobang memeknya yang sangat basah.
Perlahan aku menekan kontolku menembus memek mertuaku yang cantik. Sungguh sebuah sensasi yang tidak biasa membenamkan kontolku di memeknya. Perlahan aku mulai mengocok memek Ambu yang terasa masih sempit. Atau mungkin karna kontolku yang kegedean.
"Edan, kontol kamu kok gede gede amat.." kata Ambu menatap takjub memeknya yang tertembus kontolku.

Aku mengangkat dagu Ambu kucium bibirnya dengan bernafsu, lidahku menerobos mulutnya. Rasanya agak manis seperti permen. Pasti karna Ambu habis makan permen. Sementara kontolku memompa memek Ambu dengan cepat, gesekannya begitu terasa membuat tubuhku merinding karna wanita yang sedang aku entot adalah mertuaku sendiri.
"Ambuuu kelllluarrrrr Jang...!" Ambu berteriak pelan.
Badannya mengejang menyambut orgasmenya. Ternyata tidak perlu waktu lama membuat Ambu orgasme. Aku terus mengicok memek Ambu dengan irama yang terjaga. Tidak kuperdulikam Ambu yang sedang mendapatkan orgasme.
"Udah Jang. Gantian kamu duduk." kata Ambu mendorong dadaku. Aku segera mencabut kontolku dari memek Ambu.
Ambu segera bangkit, aku duduk di bekas tempat Ambu yang terasa hangat. Tidak membuang waktu Ambu segera berjongkok di pangkuanku. Ambu menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku. Aku meremas tetek Ambu yang terpampang di hadapan wajahku. Payudara Ambu harum seperti payudara istriku. Aku menghisap putingnya dengan lembut.

"Anak pinter udah gede kok masih nyusu?" kata Ambu sambil mengerakkan pinggulnya turun naik. Biarpun badannya agak gemuk, ternyata Ambu bisa bergerak lincah memompa kontolku.
"Memek Ambu ennnak amat..." kataku. Tanganku beralih meremas patatnya yang besar dan masih keras.
"Enak mana sama memek memek istri kamu Jang? Mantu Ambu yang kurang ajar. Memek mertua sendiri dientot." kata Ambu tersenyum menatap wajahku.
"Sama sama enaknya Mbu..." kataku sambil mencium bibirnya dengan mesra.
Semakin lama gerakkan Ambu semakin cepat mengocok kontolku, gerakannya mulai tidak beraturan. Memeknya berkedut kedut meremas kontolku. Rasanya seperti memek Bi Narsih yang bisa berkedut. Mungkin karna jam terbangnya yang sudah tinggi.
"Jang Ambu kelllluarrrrr lagiiii. Kamu pinterrr ngentot.." ambu membenamkan pantatnya di pangkuanku. Kontolku mentok sampai dasar memeknya.
Setelah badai orgasmenya reda, Ambu kembali menggerakkan pinggulnya memompa kontolku yang belum mengeluarkan pejuhnya. Tanganku membantu menggerakkan pinggul Ambu.

"Ambu gak capek?" tanyaku menatap wajah Ambu yang basah oleh keringat.
"Gak Jang. Ennnak banget ngentot sama mantu sendiri." kata Ambu sambil terus memompa kontolku. Kami kembali berciuman mesra.
Ahirnya aku merasa puncak orgasmeku semakin dekat. Ambu memompa kontolku semakin cepat saja.
"Ambu Ujang kelllluarrrrr..." tubuhku menegang menyemburkan pejuhku ke memek mertuaku. Dan saat yang bersamaan.
"Ambu jugaaaa kelllluarrrrr lagiiii....!" kami berpelukan dihempas oleh badai kenikmatan yang luar biasa.
Setelah badai orgasme reda, Ambu bangkit dan kembali memakai bajunya. Aku juga memakai bajuku.
"Jang makasih, belum pernah Ambu ngentot seenak ini." kata Ambu mencium pipiku lalu berjalan masuk kamar setelah mematikan TV.
Akupun masuk kamarku dan tertidur sambil memeluk tubuh istriku tercinta.

Dengan ditemani Mang Udin yang bertugas sebagai pengawal dan juga supir, aku berangkat ke Jakarta. Tujuanku adalah Club xxx yang sekarang sudah jadi milikku. Bu Dhea menyambut kedatanganku dan memperkenalkan ke staf manager dan para mami sebagai ujung tombak. Jam 8 malam, rombongan Codet masuk ruang VVIP. Hatiku bergetar mendengar namanya. Kami akan bertemu untuk membicarakan banyak hal. Aku berusaha mengumpulkan keberanianku. Toh pada akhirnya cepat atau lambat kami akan bertemu juga. Aku berjalan dengan didampimgi Bu Dhea dan Mang Udin, langkahku terasa ringan seperti tidak menapak. Membuka pintu ruang VVIP, ada 5 orang duduk di kursi panjang menghadap tv besar. Ada seorang pria dengan wajah yang sangat mengerikan. Mukanya dipenuhi bekas luka benda tajam dan yang paling panjang adalah sayan yang memanjang dari bawah mata kiri hingga samping bibir sebelah kanan. Benar benar wajah yang sangat mengerikan. Aku tidak mampu menahan lututku yang gemetar ketakutan. Aku menarik nafas panjang, menguatkan tekadku menghampiri pria itu yang sepertinya terkejut melihatku. Tentu dia mengenal wajahku yang sangat mirip dengan wajah ayahku. Seperti pinang dibelah dua. Codet berdiri lalu berjalan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Waspada dengan segala kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi.

"Apakah kamu anak si Kokom?" tanya Codet, suaranya jelas terdengar bergetar.
Pria ini mengenal ibuku? Paikirku heran. Mataku tidak berani menatap wajahnya yang sangat buruk. Perlahan aku mengangguk. Codet bergerak ke arahku dengan cepat saat, kedua tangannya membentang lebar. Aku tidak sempat untuk menghindar.

Agen Bola - Bandar Taruhan - Bandar Bola - Taruhan Bola - Judi Bola - Agen Sbobet - Agen Maxbet - Agen 368bet - Agen Cbo855 - Agen Sabung Ayam
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Join Us on Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. hotceritasex - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger